Nationalgeographic.co.id—Northern Kenya Rangelands Carbon Project atau Proyek Karbon Padang Rumput Kenya Utara (NKRCP), yang disebut sebagai "proyek carbon offset tanah terbesar di dunia," membentang ribuan kilometer di padang rumput Kenya yang luas.
Proyek ini telah mendapatkan pengakuan di KTT Iklim PBB, dukungan dari Komisi Uni Eropa, serta investasi dari perusahaan teknologi seperti Meta dan Netflix, bank, dan pemodal pertambangan.
NKRCP berjanji untuk mengubah lanskap dan mata pencaharian dengan mengurangi penggembalaan berlebihan. Idenya adalah bahwa lebih banyak rumput yang tumbuh akan menyerap lebih banyak CO2 dari atmosfer, membantu perusahaan-perusahaan seperti raksasa kosmetik Jerman Beiersdorf untuk mengimbangi emisi karbon mereka dengan membayar proyek ini.
Namun, proyek ini juga menghadapi masalah hukum dan penolakan dari masyarakat lokal. Pengadilan Tinggi Kenya baru-baru ini memutuskan bahwa salah satu kawasan konservasi utama yang terlibat dalam NKRCP tidak memiliki dasar hukum.
Selain itu, bagi penggembala adat yang bergantung pada padang rumput Kenya utara, aturan penggembalaan yang ketat yang diterapkan proyek ini menjadi ancaman. Warga mengeluhkan pagar, patroli bersenjata, dan kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan, merasa terasingkan dari tanah leluhur mereka.
"Kini, sebuah putusan pengadilan baru menemukan bahwa inisiator proyek karbon tersebut—Northern Rangelands Trust (NRT) yang berbasis di Kenya—beroperasi secara ilegal, mendirikan 'konservasi' tanpa partisipasi publik yang semestinya," jelas Daniel Plafker di laman DW.
Apa isi gugatan tersebut?
Pada tahun 2021, sebanyak 165 warga komunitas di Kabupaten Isiolo, Kenya utara, mengajukan gugatan terhadap Northern Rangelands Trust (NRT). Mereka menuduh NRT telah mendirikan kawasan konservasi di tanah komunitas tanpa persetujuan mereka.
Warga juga mengklaim bahwa NRT menggunakan penjaga bersenjata sebagai "tentara pribadi" untuk menindas pihak yang menentang keberadaan kawasan konservasi tersebut.
Dalam gugatan tersebut, warga menyoroti terjadinya kasus pembunuhan dan penghilangan paksa sejak kawasan konservasi didirikan. Mereka juga berpendapat bahwa keberadaan penjaga bersenjata justru memicu peningkatan kepemilikan senjata api ilegal di kalangan masyarakat yang merasa perlu membela diri, memperburuk konflik etnis yang sudah ada di wilayah tersebut.
Pada putusan bulan lalu, Pengadilan Tinggi Kenya memutuskan bahwa pendirian dua kawasan konservasi oleh NRT di tanah komunitas adalah tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Pengadilan memerintahkan NRT untuk segera menghentikan seluruh operasionalnya di wilayah sengketa.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Tumbuhan Kini Tak Lagi Berselera pada Karbon
Innocent Makaka, pengacara utama warga, menyambut baik putusan tersebut sebagai "luas dan beralasan," menekankan bahwa warga sebagai pemilik tanah seharusnya diajak berkonsultasi terlebih dahulu.
Saat ini, NRT telah mengajukan penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan sambil menunggu proses banding. Jika permintaan penangguhan ini ditolak, proyek karbon andalan NRT yang mencakup seperlima dari total 4,7 juta hektar lahan mereka terancam gagal. Bahkan, jika putusan ini dijadikan preseden untuk kasus serupa di kawasan konservasi lain, sebagian besar proyek carbon offset di Kenya bisa dibatalkan.
"Pengacara NRT menggambarkan organisasi tersebut sebagai 'tidak puas dengan seluruh putusan,' dan mengklaim bahwa perintah pengadilan telah 'menghentikan upaya konservasi sah yang sedang berlangsung'," tutur Plafker.
Isu-isu hak asasi manusia dalam sektor kompensasi karbon
Kekhawatiran mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek carbon offset berbasis alam skala besar di negara berkembang semakin meningkat, dan mulai memengaruhi perilaku investor.
Laporan terbaru dari Ecosystem Marketplace menunjukkan penurunan tajam sebesar 61% nilai pasar karbon sukarela tahunan, yang sebagian disebabkan oleh sorotan media terhadap tata kelola proyek karbon.
Sejumlah kasus memperkuat kekhawatiran ini. Tahun lalu, Human Rights Watch melaporkan proyek anti-deforestasi di Kamboja yang menyebabkan penggusuran paksa dan hilangnya mata pencaharian bagi masyarakat adat Chong
Di Zimbabwe, investigasi mengungkap kecurangan perhitungan dan distribusi manfaat yang mencurigakan dalam Proyek Kariba berbasis kehutanan. Lebih jauh lagi, Proyek Koridor Kasigau di Kenya, yang meliputi 200.000 hektar hutan lahan kering kaya satwa liar, tengah diselidiki atas tuduhan pelecehan seksual dan eksploitasi oleh pengelola proyek.
Caroline Pearce dari Survival International menegaskan bahwa masalah di Proyek Kasigau bukanlah kasus terisolasi. Ia menyatakan bahwa banyak skema carbon offset mengikuti model konservasi 'benteng' tradisional, yang mengklaim 'melindungi' lahan sambil melanggar hak-hak masyarakat adat demi keuntungan besar.
Siapa yang mengawasi para pengawas?
Verra, sebuah verifikator kredit karbon sukarela terkemuka di dunia, memvalidasi berbagai proyek lingkungan. Pada tahun 2023, validasi kredit proyek NKRCP sempat ditangguhkan oleh Verra setelah adanya laporan awal mengenai kurangnya partisipasi publik dalam pendiriannya.
Penangguhan ini kemudian dicabut setelah investigasi selama 8 bulan, di mana Verra menegaskan bahwa program mereka memiliki "perlindungan yang kuat" dan proses peninjauan jika persyaratan tidak dipenuhi.
Namun, proses peninjauan Verra sendiri menuai kritik. Survival International menyebut peninjauan Verra terhadap NKRCP pada tahun 2023 sebagai "pembersihan yang mengejutkan". Kritik ini muncul di tengah sorotan yang lebih luas terhadap efektivitas kredit karbon hutan hujan yang divalidasi Verra.
Investigasi selama sembilan bulan oleh media Jerman dan Inggris mengungkap bahwa lebih dari 90% kredit offset hutan hujan dari organisasi ini tidak mencerminkan pengurangan CO2 atmosfer yang sebenarnya.
Sebagai respons terhadap temuan ini, Verra berjanji untuk mengganti seluruh metodologinya dalam menilai program perlindungan hutan hujan. Aturan baru ini diperkirakan akan berlaku pada bulan Juli.
Meski demikian, banyak pihak tetap mempertanyakan apakah Verra, di tengah kontroversi ini, masih merupakan pengelola yang paling tepat untuk sektor carbon offset global yang pada tahun 2021 bernilai hampir €2 miliar (atau setara Rp34 triliun).
KOMENTAR