Mengukur keyakinan pada sains dan keyakinan pada agama
Dalam penelitian ini, para partisipan diminta untuk mengisi survei daring yang dirancang khusus untuk mengukur keyakinan mereka pada sains dan keyakinan agama sebagai konsep yang berdiri sendiri. Keyakinan pada sains diukur dengan menilai tingkat persetujuan partisipan terhadap pernyataan yang menekankan keandalan dan kelengkapan sains sebagai cara untuk memahami realitas, tanpa perbandingan eksplisit dengan agama.
Sejalan dengan itu, keyakinan agama diukur melalui tingkat religiusitas yang dilaporkan sendiri oleh partisipan, dengan fokus pada keyakinan pribadi dan praktik spiritual mereka, tanpa merujuk pada sains.
Untuk mengukur persepsi tentang kompatibilitas antara sains dan agama, partisipan diminta untuk menilai sejauh mana mereka melihat keduanya sebagai harmonis atau bertentangan, terutama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan ontologis mendasar, seperti asal usul kehidupan dan alam semesta.
Hasil penelitian menunjukkan pola yang konsisten di ketiga negara. Partisipan yang memiliki keyakinan agama yang lebih kuat cenderung melihat sains dan agama sebagai hal yang kompatibel.
Temuan ini tetap berlaku terlepas dari tingkat keyakinan partisipan pada sains, yang menunjukkan bahwa individu yang religius seringkali berhasil mengintegrasikan prinsip-prinsip ilmiah ke dalam pandangan dunia mereka tanpa merasa bahwa hal itu mengancam keyakinan agama mereka.
Sebaliknya, keyakinan yang lebih kuat pada sains justru terkait dengan persepsi adanya konflik antara sains dan agama. Partisipan yang sangat mengandalkan sains sebagai cara utama untuk memperoleh pengetahuan cenderung melihat keyakinan agama sebagai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Cerminan nyata adanya perbedaan mendasar
Temuan ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam landasan epistemologis kedua sistem ini: sains yang berlandaskan pada bukti empiris dan hukum alam, sementara agama seringkali memasukkan penjelasan supranatural.
Zarzeczna mengomentari temuan ini, "Orang-orang yang religius tampaknya mampu menggabungkan berbagai sumber makna dan memanfaatkan baik sains maupun agama untuk menemukan makna dalam hidup mereka. Sementara itu, mereka yang sangat percaya pada sains tampaknya cenderung hanya mengandalkan sains, dan mungkin mencari sumber makna tambahan di luar ranah agama."
Sebuah pengamatan menarik muncul dari perbandingan antar negara. Hubungan antara keyakinan pada sains dan persepsi konflik lebih kuat di negara-negara yang lebih sekuler seperti Inggris dan Belanda. Sebaliknya, hubungan antara keyakinan agama dan persepsi kompatibilitas sangat menonjol di Kazakhstan yang mayoritas Muslim.
Baca Juga: Geger Samin: Saat Penganut 'Agama Adam' Tolak Bayar Pajak pada Era Kolonial
KOMENTAR