Nationalgeographic.grid.id—Soebang (baca: Subang) yang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat ini, menyimpan tradisi yang panjang. Bahkan, di zaman kolonial pun, orang-orang Eropa menikmati tradisi demi tradisinya.
Seperti halnya catatan penulis bernama Jan ten Brink berjudul Drie reisschetsen yang terbit pada 1894, mengisahkan tentang tradisi masyarakat Soebang yang notabene merupakan masyarakat agraris.
"Di Soebang, untuk memeriahkan hari raya pertanian, dipersiapkan pesta panen raya bergaya Sunda, yang mengundang semua kepala suku dan pengurus negeri Pamanoekan dan Tjassemlanden (P en T)," imbuh ten Brink.
Pesta Panen atau yang akrab dengan istilah sedekah-boemi merupakan salah satu hari raya tertinggi masyarakat Sunda di bidang pertanian. Tak ayal, mesti dirayakan dengan kemegahan luar biasa.
Penguasa tanah perkebunan telah lama ingin memberikan jamuan yang menyenangkan kepada pejabat daerahnya, untuk menunjukkan kerja sama dan solidaritas. Maka dari itu, setiap kali mencuat kabar akan diadakannya sedekah-boemi, kegembiraan meluap di seantero Preangan.
Begitu pula yang terjadi di Soebang, berbagai persiapan dilakukan dengan optimal demi merayakan hari raya yang semakin dekat dengan mengedepankan kemegahan yang luar biasa.
Pada dini hari menjelang hari perayaan itu, banyak orang memandang dengan cemas ke langit kelabu dan berawan, karena dari segala penjuru banyak tamu yang mengalir menuju Soebang untuk merayakannya.
Jauh sebelum fajar, banyak kepala desa dan banyak hakim dari distrik utara telah bersiap untuk tiba di Soebang tepat waktu. Namun, awan mendung sempat menimbulkan harapan kecewa.
Di sebelah timur terdapat gumpalan awan hitam merapat, hampir seluruh langit tertutup mendung tebal. Cahaya matahari terbit terhalang oleh kabut yang mengancam. Diduga hari berbahagia sedekah-boemi akan dirusak oleh hujan dan petir menggelegar.
Namun, sekitar pukul delapan, sedikit harapan lebih baik mulai muncul. Angin kencang membuat tirai kabut menyingkir dan mulai tampak langit biru jernih nun cerah. Sampai menjelang dimulainya, pukul sepukuh pagi, matahari memancarkan teriknya.
Acara segera dimulai!
Baca Juga: Polemik Penentuan Awal Ramadan di Zaman Kolonial Hindia Belanda
Mula-mula seekor kuda tunggang dipimpin dengan kekangnya oleh dua orang pengantin pria Sunda. Barangkali para pengantin pria itu melambangkan Demang dari Tjiherang—distrik di mana Soebang merupakan kota utamanya.
Setelahnya, mengikut kuda di belakangnya ditunggangi oleh dua orang Cina mengenakan kostum konvensional. Keduanya mengenakan pakaian sama, hanya yang satu mengenakan topeng putih kapur dengan hidung aneh—mengingatkan pada Pierrot dan Gavarni.
Di belakang orang Tionghoa diikuti oleh marching band. Gong tembaga dan gendang, kaleng logam, disusun menurut tangga nada asli, dibawa di depan para virtuoso dengan kuli di atas tiang bambu.
Setelah marching band, diikuti barisan panjang loerah atau kepala desa dan hakim senior yang muncul dengan spanduk berwarna cerah dilibatkan pada bambu runcing.
Semua bambu runcing tersebut diberi tali pada ketinggian tertentu, yang membentang dari satu loerah ke loerah lainnya, sehingga menyerupai telegraf mini, yang tiang-tiangnya dibawa pada jarak yang sama dan dihiasi dengan panji-panji.
Selepas melintasnya para loerah, diikuti para pemuka agama dan dilanjutkan dengan belasan penari. Para penari itu membawa kain berwarna-warni dengan ikat perut bertahtakan emas.
Tuan PW Hofland mengundang tamu-tamu kehormatan dari bangsa Eropa yang datang dengan arak-arakan cukup besar. Selain itu, diarak pula pejabat-pejabat negeri Pamanoekan dan Tjasemlanden yang berkedudukan di Soebang.
Diketahui terdapat delapan bupati Sunda yang diundang. Selain bupati, beberapa pejabat daerah juga dapat dikenali, seperti Demang Segala-Herang yang baik hati: Maas Ardja di Cusoema atau Demang Tjisalak: Raden Madia Kesoema turut dalam arak-arakan.
Arak-arakan parade berakhir di aula perjamuan yang merupakan sebuah lumbung luas yang terletak tepat di sekitar pabrik gula. Setelah melalui jalan setapak, para iring-iringan diarahkan ke sebuah ruangan di mana sejumlah besar pelayan wanita tengah menyiapkan pesta besar.
"Tentu, orang Eropa sepertiku akan menyaksikan pemandangan pesta yang luar biasa. Di sepanjang kedua dinding terdapat beberapa api unggun, yang di atasnya segala macam hidangan disiapkan," terus ten Brink.
Ia melanjutkan," di sini sekelompok wanita sibuk memasak nasi dalam jumlah besar; di sana ayam dan unggas lainnya dipanggang dalam jumlah yang sangat banyak, di tempat lain puluhan tangan sibuk mengumpulkan banyak bumbu harum yang membuat hidangan nasi asli menjadi kelezatan yang menarik."
Tuan rumah dari Soebang, PW. Hofland muncul dari sisi lain bersama rombongan wanita. Muncul memimpin arak-arakan untuk masuk menuju aula perjamuan yang sangat luas. Sebuah ruangan yang dapat menampung sekitar lima ratus tamu, menjadi tempat yang ideal untuk perayaan sedekah-boemi.
Atap yang tinggi ditopang oleh dua baris ganda pilar kayu persegi bercat putih cerah, yang semuanya dihiasi dari atas ke bawah dengan untaian bunga hijau waring.
Pagar spanduk telah ditempatkan di sekeliling gudang, dengan bendera-bendera yang dicat dengan warna paling cerah berkibar. Warna bendera Belanda digunakan di mana-mana pada tirai dan terutama di pintu masuk ruang perjamuan.
Orkes gamelan mengumumkan bahwa arak-arakan pesta telah masuk ke dalam ruang perjamuan. Bangunan itu mulai dipenuhi sesak tamu dari semua sisi. Acara dipimpin oleh Tuan Tanah, PW Hofland yang membuka pidatonya dengan Melayu.
Tuan Hofland mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pejabat daerah, pendeta, hingga seluruh loerah atas pelayanan yang baik yang diberikan untuk Tanah Pamanoekan dan Tjassem.
Bahkan, dari beberapa pidato yang dicatat ten Brink, Hofland menyebut bahwa kebahagiaan rakyat jelata Soebang merupakan satu-satunya syarat agar suatu wilayah dapat maju dan sejahtera.
Gemuruh sorak-sorai dan tepuk tangan meriah terdengar dari ratusan orang di akhir pidato. Setelahnya, penampilan kebudayaan khas Soebang dan Sunda ditampilkan dalam ruang perjamuan untuk memeriahkan pesta rakyat sedekah-boemi.
Source | : | Digitale Bibliotheek voor de Nederlandse Letteren (DNBL) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR