Nationalgeographic.co.id—Saat beranjak dewasa, ada kalanya seseorang kembali pada ingatan masa lalu untuk sekadar melakukan kilas balik tentang peristiwa-peristiwa menyenangkan yang terjadi pada masa lalunya.
Sayangnya, memori masa lalu itu biasanya hanya dapat diingat hingga masa kanak-kanak. Lantas, hal itu menimbulkan pertanyaan, ke manakah memori masa bayi itu pergi?
Meskipun banyak orang mengingat masa lalu mereka sejak masa kanak-kanak, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perjalanan menyusuri lorong memori biasanya terhenti setelah Anda mencapai masa kanak-kanak.
Padahal kalau dipikir-pikir, tahun-tahun pertama kehidupan bayi adalah saat mereka mempelajari konsep-konsep psikologis dasar, menjalin hubungan dengan orang terdekat, dan memperoleh rasa percaya diri.
Para ahli telah lama mengaitkan "amnesia bayi" ini dengan garis waktu perkembangan hipokampus, yakni wilayah otak yang bertanggung jawab untuk menyimpan ingatan.
Namun menurut bukti baru dari tim di Universitas Yale, penjelasan untuk hambatan memori dini mungkin sedikit lebih rumit. Manusia menghasilkan ingatan selama bulan-bulan pertama kehidupan mereka, tetapi ke mana perginya ingatan tersebut?
Dalam sebuah penelitian ilmiah yang diterbitkan di jurnal Science, para ilmuwan meneliti hal ini dengan memperlihatkan serangkaian gambar baru kepada bayi dan kemudian mengujinya untuk melihat apakah mereka mengingatnya.
Mengenali gambar dari masa lalu adalah contoh dari memori episodik. Sebagai orang dewasa, memori ini dapat berupa mengingat peristiwa tertentu, seperti menonton pertandingan olahraga atau berlibur.
Namun, menilai kemampuan memori episodik lebih sulit ketika ada hambatan komunikasi yang cukup jelas antara orang dewasa dan sekelompok bayi.
Nick Turk-Browne, seorang profesor psikologi, direktur Institut Wu Tsai Yale, dan penulis utama studi, mengatakan ciri khas (ingatan episodik) adalah Anda dapat menggambarkannya kepada orang lain, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan ketika Anda berhadapan dengan bayi yang belum bisa berbicara.
Alih-alih mencoba mempelajari bahasa bayi, tim tersebut merekam aktivitas hipokampus selama kedua fase pengujian menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI).
Baca Juga: Mengapa Jumlah Bayi Kembar Meningkat Meski Angka Kelahiran Turun?
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR