Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda masuk ke sebuah ruangan dan tiba-tiba lupa alasan Anda berada di sana, atau hendak berbicara tetapi mendadak lupa apa yang ingin dikatakan?
Otak manusia sebenarnya terus-menerus menyeimbangkan berbagai masukan, pikiran, dan tindakan secara bersamaan. Namun, ada kalanya otak seolah mengalami korsleting atau short-circuit yang menyebabkan kita kehilangan jejak pikiran sesaat.
Fenomena lupa secara tiba-tiba ini sering membuat banyak orang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di dalam otak saat momen tersebut terjadi? Rasa bingung yang muncul seketika itu kerap dianggap sebagai hal sepele, tetapi sebenarnya berkaitan erat dengan cara kerja otak dalam mengolah berbagai informasi sekaligus.
Untuk memahami penyebab terjadinya momen lupa tersebut, kita perlu terlebih dahulu mengetahui bagaimana cara kerja memori manusia. Selain itu, penting juga untuk meluruskan berbagai mitos yang selama ini berkembang tentang ingatan agar kita dapat lebih memahami proses yang terjadi dalam otak saat fenomena tersebut muncul.
Alasan kita lupa
Memahami alasan kita lupa, pertama-tama membutuhkan pemahaman tentang cara kerja memori kita — sekaligus menghilangkan beberapa mitos tentang memori.
"Memori bukanlah satu hal tunggal," kata Susanne Jaeggi, profesor psikologi di Northeastern University kepada Live Science. "Ada berbagai komponen dalam memori, dan masing-masing juga berkaitan dengan proses kognitif yang berbeda."
Dalam hal ini, penting untuk mengenal dua jenis memori: memori jangka panjang dan memori kerja. Memori jangka panjang mencakup kategori luas dari pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang tersimpan di otak dalam jangka waktu lama — dari hitungan jam hingga seumur hidup. Di sisi lain, pikiran dalam memori kerja hanya melintas di benak selama beberapa detik atau menit.
Memori kerja diibaratkan sebagai "papan sketsa dari pikiran sadar," jelas Earl K. Miller, profesor ilmu saraf di MIT, kepada Live Science. Setiap informasi baru, dialog batin, dan input sensorik melewati memori kerja, dan karakteristik tertentu dari memori kerja inilah yang kemungkinan besar menjelaskan mengapa kita bisa melupakan pikiran-pikiran tersebut.
Pertama, kapasitas memori kerja manusia sangat terbatas. Meski masih ada perdebatan mengenai seberapa besar batasannya dan bagaimana cara mengukurnya, para psikolog memperkirakan bahwa manusia hanya mampu menampung sekitar empat hingga tujuh "unit" informasi dalam memori kerja pada satu waktu. Unit informasi ini bisa berupa huruf, angka, kata, atau frasa.
Hal menarik, otak kita sebenarnya tidak menyadari semua unit tersebut secara bersamaan. Alih-alih terfokus pada seluruhnya, otak justru cenderung melompat-lompat dari satu ide ke ide lainnya. Pola kerja seperti ini membuat salah satu unit informasi yang sedang diproses mudah terlewat atau hilang begitu saja, jelas Miller.
Baca Juga: Menyingkap secara Ilmiah Keberadaan Danau Tertua dan Terdalam di Bumi
Kedua, otak akan cepat menghapus hal-hal yang dianggap tidak penting dari memori kerja untuk memberi ruang bagi informasi baru. Jadi, kecuali memori jangka pendek ini dipindahkan ke memori jangka panjang (proses yang disebut konsolidasi), maka pikiran itu akan segera hilang dari kesadaran.
Karena otak sebenarnya tidak mampu melakukan multitasking, kata Miller, otak harus "melempar dan menangkap" berbagai pikiran saat memori kerja berpindah dari satu ide ke ide lain.
Proses ini membutuhkan upaya dan perhatian sadar yang dikendalikan oleh korteks prefrontal otak, area yang terlibat dalam pembelajaran kompleks, pengambilan keputusan, dan penalaran. Jika perhatian hanya terfokus pada satu pikiran atau teralihkan ke hal lain, maka otak akan kehilangan jejak pikiran sebelumnya.
"Otak akan menjatuhkan salah satu 'bola', dan itulah alasan kita lupa," ujar Miller.
Otak juga cenderung lebih sering "menjatuhkan bola" dari memori kerja ketika sedang mengantuk atau terpengaruh alkohol maupun obat-obatan. Usia juga menjadi faktor; Miller mengatakan bahwa fungsi memori kerja mencapai puncaknya di usia 20-an dan mulai menurun saat memasuki usia paruh baya.
Namun, bagi mereka yang sering mengalami pikiran tiba-tiba hilang dari ingatan, Jaeggi dan Miller memberikan beberapa saran berbasis penelitian. Untuk mencegah terlalu banyak hal terlupakan sejak awal, Miller menyarankan untuk menghindari multitasking.
"Ketika kamu merasa sedang multitasking, sebenarnya yang kamu lakukan adalah juggling (melempar-tangkap pikiran)," ujarnya, dan juggling justru meningkatkan kemungkinan lupa.
Jaeggi memberikan saran ketika kita mengalami momen kehilangan jejak pikiran. "Mengulang kembali konteksnya bisa membantu," katanya. Misalnya, kembali ke ruangan asal atau menelusuri ulang alur pikiran yang tadi terlintas di kepala.
Petunjuk-petunjuk konteks semacam ini mampu memberi sinyal tambahan bagi otak untuk menelusuri kembali memori kerja, menarik kembali potongan pikiran yang nyaris hilang.
Pada akhirnya, momen lupa yang sering kita anggap sepele justru menjadi pengingat betapa rumit dan menakjubkannya cara kerja otak manusia. Di balik setiap detik yang terlewat, ada proses rumit yang terus berlangsung untuk menyaring mana yang layak diingat dan mana yang harus dilepaskan.
Maka lain kali ketika kita berdiri bingung di tengah ruangan atau kehilangan kata di ujung lidah, anggaplah itu sebagai jeda kecil dari otak yang sedang bekerja keras menjaga kewarasan kita di tengah derasnya arus informasi.
Source | : | Live Science,National Library of Medicine |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR