Nationalgeographic.grid.id—Langkahnya terlihat semakin gopoh di siang terik Kota Sala, ke sana kemari menjadi punggung bagi keluarganya yang hidup susah sebagai buruh tani. Namun, 1918 menjadi keberuntungan bagi seorang gadis desa bernama Moeinah.
Seorang gadis desa yang lahir di kalangan keluarga petani miskin tak bertanah, di Djenkiloeng, Soemberlawang (Kecamatan di Sragen), Karesidenan Soerakarta. Ia menjajal peruntungan seperti orang desa kebanyakan: ke Sala untuk mencari penghidupan.
Tibalah dia di rumah seorang meneer bernama Däniel Baay yang tinggal dalam kompleks vila mewah dan paling prestis di Kota Sala, Villa Park. Hunian di mana hanya diperuntukan bagi Eropa-Eropa kaya raya.
Dijumpainya istri seorang Eropa itu sebangsa dengannya, hanya saja berasal dari keluarga yang lebih terhormat ketimbang nasibnya, Pariyem. Istri Däniel ini berasal dari keluarga priyayi Sala. Dari sana, Pariyem menyambut gadis desa yang masih muda itu untuk jadi seorang baboe.
Namun, setelah menjadi pelayan rumah meneer, baru diketahui oleh Moeinah, bahwa tuannya Pariyem bukanlah istri sah, melainkan seorang gundik yang beruntung sebab diambil hartawan Belanda yang punya kekayaan luar biasa.
Dari pergundikan Pariyem-Däniel Baay, lahirlah seorang anak bernama Louis Henri Adriaan Baay pada 11 Februari 1899 silam. Saat Moeinah mulai bekerja menjadi baboenya, Louis telah beranjak menjadi seorang remaja.
Rumah tangga Pariyem berlangsung bahagia, dan Louis Baay sendiri tumbuh menjadi remaja tampan yang cerdas dan cekatan. Ia dalami segenap pengajaran kehidupan Eropa yang membawanya pada pengetahuan Barat mumpuni.
Sampai pada usia remaja, Moeinah yang masih berusia muda, telah memercik gejolak dalam dada Louis Baay. Ia kerap kali memperhatikan setiap gerak-gerik pelayan ayahnya itu.
Ya, sejak menginjak usia 19, Louis mulai memberi perhatian lebih pada Moeinah yang saat itu masih berusia sangat muda, 17 tahun. Dijumpainya beberapa kali untuk merayu dan menggoda Moeinah, si gadis desa.
Tekadnya kemudian disampaikan kepada ayahnya, Däniel Baay bahwa ia hendak mengawini Moeinah. Bukan, bukan dengan perkawinan sah. Meski saat itu, Moeinah belum lagi lama bekerja sebagai baboe ayah-ibu Louis.
Däniel Baay mengizinkan anaknya untuk mengambil baboenya sebagai gundik, dan memberi satu vila lain yang dimilikinya di kompleks Villa Park Soerakarta.
Baca Juga: Bagaimana Pandangan Orang-orang Tentang Fenomena Pergundikan?
Terhitung setelah diizinkan oleh Däniel Baay, tuan yang kemudian jadi mertuanya sendiri, menjadi salah satu keberuntungan bagi seorang baboe yang semula hidup miskin, kini seakan jadi seorang permaisuri dari tuan muda yang tumbuh semakin tampan.
Perasaan bahagia ini menyengatnya, membayangkan dirinya seakan jadi sejajar kedudukannya seperti Pariyem. Hari ke hari, bertambah terus kebahagiaan pada diri gadis desa yang tak mengetahui arah takdirnya kemudian.
Betapa bahagianya hidup berdua di bawah atap vila mewah, menjadi pelayan dari seorang remaja peranakan, kini telah menjadi suaminya, meski tak pernah dinikahkan secara sah. Ia lupa, bahwa ia sedang menjalani hidup sebagai seorang gundik.
Dari pergundikannya itu, Louis remaja yang mulai mengerti hasratnya, memperlakukan Moeinah selayaknya orang dewasa. 'Pergaulan' berlaku. Sampai tibalah waktu yang membahagiakan, yang sangat ditunggu Moeinah: ia mengandung seorang anak dari Louis.
Hari ke hari, Louis tenggelam pada kesibukannya, kegemarannya mendalami dunia pertanian, sedangkan Moeinah menanti-nantikan kelahiran seorang anak dari perutnya yang perlahan membesar dan menua usia kandungannya.
Dari samenleving—hidup bersama tanpa ikatan perkawinan sah, kumpul kebo—ini, akhirnya terlahir kehidupan baru. Kehidupan indis di tanah Hindia, di Villa Park, Banjarsari, Sala. Seorang anak pergundikan lahir ke dunia, bernama: Pieter Jacobus.
Betapa Moeinah muda kini telah menjadi seorang ibu dari seorang indo (Louis merupakan peranakan Jawa-Eropa). Barangkali dia sudah melupakan status dirinya yang lalu sebagai baboe, kini dia sudah jadi ibu.
Kehidupannya dijalani sebagai seorang ibu muda dari hari ke hari, sampai setelahnya, Moeinah menghadapi hari-hari getir dalam hidupnya. Ia dipanggil Landraad—pengadilan pribumi—untuk menghadap pada kenyataan berikutnya.
Dadanya berdesir seraya kebingungan menjalar di kepala membayangkan takdir apa yang kelak menjadi nasibnya. Dan persidangan dimulai, Moeinah terlibat dalam perasaan yang tak pernah hinggap di dadanya sebelumnya.
Pertama-tama, sebuah laporan dikirimkan kepada pengadilan dari Emile Klein, seorang ambtenaar pencatatan sipil Kota Soerakarta yang melaporkan adanya kelahiran seorang anak dari samenleven di Villa Park pada 11 September 1919.
Baca Juga: Marcia, Gundik yang Diam-diam Racuni Commodus Kekaisaran Romawi
Kedua, dihadirkan pula Louis Baay untuk dimintai keterangan dan memberi pengakuan bahwa seorang anak yang dinamai Pieter Jacobus adalah anaknya dari hasil pergundikannya dengan seorang baboe.
Ketiga, dan yang paling membuat dada Moeinah semakin sesak, keputusan pengadilan kota untuk mengusirnya, meninggalkan anak dan suaminya, dan menyingkir dari kawasan Villa Park.
Anjuran pengadilan ini merupakan ultimatum kepada seorang pribumi rendahan, untuk kembali ke kampung asalnya di Djenkiloeng dan tidak menampakkan diri lagi di kawasan sekitar Banjarsari atau Villa Park.
Maka, putusan ini menjadi kenyataan pahit yang harus ditelannya secara paksa, menanggalkan diri sebagai seorang ibu dari anak yang baru saja dilahirkannya ke dunia.
Terhitung sejak Oktober 1926 saat putusan ini dikeluarkan pengadilan, Moeinah dengan langkah gopoh harus merelakan anak yang dikandungnya selama ini.
Ia kembali ke kampung halamannya dengan upaya melupakan semua kenangan indahnya, pengalaman singkatnya menjadi seorang ibu. Melepas diri dari seorang anak yang masih membutuhkan belaian lembut ibunya.
Tanpa diperkenankan membawa kekayaan milik suaminya—karena tak pernah menikah secara sah—dan tanpa membawa anak yang dikasihinya, Moeinah kembali menjadi seorang wanita melarat. Bukan lagi soal ekonomi, tapi perasaannya.
Dipaksa melupakan anaknya!
Walaupun kenyataannya, ingatan tentang anaknya tak akan pernah hilang. Barangkali untuk selamanya.
Hanya yang baru diketahui oleh seorang gadis desa itu tentang kehidupan kota dan alam kolonial yang berkelindan di antaranya, ada pergundikan dan perampasan paksa kebahagiaan seseorang dari hidupnya.
***
Narasi ini disadur dari tulisan Reggie Baay, seorang jurnalis Belanda, menulis artikel bertajuk Toespraak Reggie Baay terbit pada tahun 2010 dalam edisi Athenaeum-Polak & Van Gennep, yang diterbitkan di Amsterdam.
Source | : | Toespraak Reggie Baay |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR