“Gagasan bahwa nitisinone mungkin berguna dalam memerangi penyakit yang ditularkan nyamuk adalah hal yang sama sekali baru,” Ungkap Bloomberg. Yang juga menarik adalah bahwa efek sampingnya tampaknya lebih sedikit daripada yang terlihat pada ivermectin. Ivermectin adalah obat yang juga dapat digunakan untuk mencegah penularan malaria, dan kemanjurannya lebih besar.
Tentu saja, Dimopoulos juga menunjukkan beberapa kekurangan.
“Malaria adalah penyakit kemiskinan,” kata Dimopoulos. “Apa pun yang mahal atau memiliki biaya besar tidak akan berhasil. Terutama untuk metode intervensi seperti ini, di mana Anda tidak benar-benar melindungi individu dari malaria, tetapi Anda melindungi populasi.”
Kelangkaan penyakit yang diobati dengan nitisinone berarti obat tersebut masih terlalu mahal untuk digunakan secara luas. Namun, dengan minat penelitian yang lebih besar, Acosta Serrano berharap biaya nitisinone dapat dikurangi hingga 80 persen.
Sifat pencegahan yang tidak langsung juga dapat menjadi hambatan. “Selalu sulit untuk meyakinkan orang untuk mengonsumsi obat yang tidak melindungi mereka,” kata Dimopoulos.
Namun, mungkin saja di masa mendatang pengobatan nitisinone dapat dikombinasikan dengan obat anti-malaria, katanya. Demikian pula, pengobatan dapat dibuat lebih efektif dengan menerapkannya pada ternak di sekitar. Jadi, pada dasarnya bekerja seperti umpan nyamuk.
Nyamuk juga bergantung pada nektar sebagai sumber makanan. Jadi, ilmuwan juga bereksperimen dengan membuat kantong nektar yang dicampur dengan insektisida. Kantong itu dapat menargetkan nyamuk tanpa memaparkan racun tersebut pada penyerbuk lain.
“Jadi secara teori, Anda juga dapat menggunakan obat ini untuk memaparkan nyamuk melalui teknologi tersebut,” kata Dimopoulos. “Anda tidak perlu memberikannya kepada manusia.”
Resistensi juga menjadi kekhawatiran pada metode pengendalian nyamuk apa pun. Namun, hanya waktu yang akan membuktikan apakah makhluk tersebut dapat berevolusi untuk menoleransi racun tersebut.
Apa pun peran nitisinone nanti, Acosta Serrano dan Dimopoulos sepakat bahwa obat tersebut efektif sebagai bagian dari pendekatan multifaset yang disesuaikan dengan setiap populasi.
“Di beberapa tempat, obat yang dikombinasikan dengan vaksin dapat bekerja lebih baik. Di tempat lain, penyemprotan insektisida dan teknologi baru, seperti nyamuk yang direkayasa secara genetik, dapat memiliki kemanjuran yang lebih besar,” kata Dimopoulos. “Ini sedikit mirip dengan pengobatan yang dipersonalisasi.”
“Tidak ada obat mujarab untuk malaria,” katanya. “Dan saya rasa tidak akan pernah ada obat mujarab untuk malaria.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR