Nationalgeographic.co.id—Apakah sesuatu yang Anda bayangkan atau impikan bisa terwujud menjadi kenyataan? Jutaan orang saat ini percaya bahwa mereka bisa mewujudkannya.
Hal ini terjadi berkat meroketnya popularitas manifestasi. Manifestasi merupakan praktik pengembangan diri yang menjanjikan untuk mengubah keinginan menjadi kenyataan melalui niat yang terfokus.
Namun, ide ini ternyata bukanlah hal baru. Jauh sebelum tren TikTok, peradaban kuno dari India hingga Mesir membangun seluruh sistem kepercayaan di sekitar kekuatan pikiran.
Bagaimana ide-ide kuno itu berkembang dan mengapa manifestasi kembali populer saat ini?
Asal-usul kuno manifestasi
Ide bahwa pikiran dapat membentuk realitas berakar dalam tradisi spiritual kuno. Hinduisme dibangun di atas konsep karma. “Hindu mengajarkan kepercayaan bahwa tindakan dan niat memengaruhi hasil di masa depan,” tulis Kimberley Dadds di laman National Geographic. Selain itu juga, ada ajaran tentang hukum tarik-menarik yang mencerminkan ide-ide manifestasi modern.
Menurut Christopher Key Chapple, profesor teologi India dan komparatif di Loyola Marymount University, “hukum tarik-menarik adalah teori karma yang diulang-ulang.”
Referensi terhadap prinsip-prinsip seperti manifestasi muncul sejak Rigveda, teks Sansekerta berusia 3.500 tahun. Teks tersebut berisi himne yang menyatakan bahwa pikiran dan tindakan memengaruhi takdir pribadi.
Chapple menambahkan bahwa dalam tradisi Hindu selanjutnya, idenya adalah bahwa jika Anda menginginkan uang, Anda memikirkan Lakshmi, dewi kekayaan. Jika Anda ingin meningkatkan kesejahteraan dan keberuntungan Anda secara keseluruhan, Anda berpartisipasi dalam Ganesh Puja. Ganesh Puja adalah upacara doa Hindu yang dilakukan untuk keberuntungan dan menghilangkan rintangan.
Pada periode Weda, pengurbanan dilakukan untuk keuntungan diri sendiri. Seperti manifestasi modern, yang dilakukan terutama untuk keuntungan diri sendiri.
Namun, tradisi-tradisi selanjutnya, yang dimulai dengan Dharma-shastra sekitar 500 SM. Dharma-shastra menekankan tujuan yang lebih besar, yaitu pelayanan kepada masyarakat melalui pelaksanaan Dharma dan pencarian kebebasan spiritual.
Baca Juga: TikTok Hasilkan Jejak Karbon Tahunan yang Lebih Besar dari Yunani
Konsep manifestasi di luar India
Di luar India, Yunani dan Mesir kuno juga menganut konsep-konsep seperti manifestasi. Kepercayaan Yunani dan Mesir kuno juga menggemakan gagasan manifestasi masa kini. George Lizos, penulis Ancient Manifestation Secrets, menunjukkan tiga konsep yang merujuk langsung pada manifestasi dari Yunani dan Mesir kuno. Konsep tersebut adalah Hermetisisme, Papirus Magis Yunani, dan teologi.
“Alasan Hermetisisme dikaitkan dengan manifestasi adalah karena para hermetis berbicara tentang tujuh hukum universal penciptaan”, kata Lizos.
Salah satunya mencakup hukum getaran, yang sekarang dikenal luas sebagai hukum tarik-menarik. “Kita dapat melihat bahwa tujuh hukum alam semesta sangat terkait erat dengan manifestasi. Mereka hanya tidak menyebutnya manifestasi,” jelasnya.
Papirus Magis Yunani, yang berasal dari tahun 100 SM hingga 400 M, adalah nama yang diberikan untuk kumpulan papirus dari Mesir Yunani-Romawi.
“Papirus-papirus itu digunakan oleh para penyihir, pendeta, dan mistikus untuk tujuan langsung memengaruhi realitas. Karenanya, mereka berhasil mewujudkan sesuatu,” kata Lizos.
“Papirus-papirus itu mencakup segala hal mulai dari mewujudkan cinta, hingga kemakmuran, kesuksesan, perlindungan, dan komunikasi ilahi.”
Himne Orfik Yunani Kuno juga menyertakan seruan, seperti doa untuk perwujudan, di akhir setiap himne. Sementara keinginan tertulis pada lempengan timah—yang dikubur untuk mewujudkan keinginan—mencerminkan papan visi masa kini.
Demikian pula, teologi dalam agama Yunani dan Neoplatonisme melibatkan ritual untuk memanggil kekuatan ilahi guna mendapatkan bimbingan dan dukungan. “Pada dasarnya, itu adalah bentuk perwujudan kuno dengan bekerja secara khusus dengan para dewa dan dewi,” kata Lizos.
Gerakan abad ke-19 yang membentuk perwujudan modern
Konsep perwujudan modern dapat ditelusuri kembali ke New Thought Movement pada akhir abad ke-19. Gerakan spiritual ini muncul di Amerika Serikat tetapi mendapat pengaruh langsung dari filsafat Hindu.
“Versi asli Science and Health karya Mary Baker Eddy, salah satu pendiri ew Thought Movement, mengutip Upanishad (teks Sansekerta kuno) secara bebas,” kata Chapple. Ia menambahkan bahwa kaum Transendentalis juga mempelajari dan mengutip Bhagavad Gita dan teks-teks Hindu lainnya.
Filsafat New Thought mempromosikan kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan melalui kekuatan berpikir positif. Gerakan tersebut memudar dalam hal keunggulan, konsep intinya tetap bertahan, muncul kembali dalam berbagai tradisi swadaya dan spiritual.
Peningkatan pesat manifestasi modern
Manifestasi mengalami kebangkitan besar pada awal tahun 2000-an, sebagian besar didorong oleh buku terlaris karya Rhonda Byrne tahun 2006, The Secret. Buku tersebut terjual lebih dari 30 juta kopi. Dukungan dari selebritas—dari tokoh-tokoh seperti Oprah Winfrey, membantu memperkuat daya tarik utamanya.
Namun, dalam 5 tahun terakhir, manifestasi benar-benar mendapatkan kembali popularitasnya. Pandemi COVID-19 memicu minat baru dalam pengembangan diri. Orang-orang beralih ke pemikiran positif untuk mendapatkan kembali kendali atas hidup mereka. Faktanya, pencarian Google untuk kata “manifesting” meningkat lebih dari 600 persen selama beberapa bulan pertama tahun 2020.
Media sosial juga berdampak, khususnya di kalangan generasi muda. Saat ini, TikTok sendiri menampung lebih dari 110 juta posting tentang topik tersebut. Dan pada tahun 2024, Cambridge Dictionary menobatkan “manifesting” sebagai Kata Tahun Ini.
Pakar dan penulis Manifest, Roxie Nafousi, berpendapat bahwa peningkatan minat yang baru ini banyak berkaitan dengan dunia pascapandemi. Selain itu, juga karena keinginan kita yang terus berkembang untuk lebih menjaga diri sendiri.
“Saya pikir pascapandemi, dan di masa ketidakpastian ekonomi dan politik, manifestasi memberi orang rasa harapan. Juga kendali atas hidup mereka,” katanya. “Saya pikir kita juga berada di masa di mana orang jauh lebih terbuka terhadap pengembangan diri dan kesejahteraan.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR