Nationalgeographic.grid.id—Jauh di puncak Bromo, di mana pohon kelapa tak lagi tumbuh, di mana matahari tak lagi hangat dan angin bernyanyi sendu di antara daun-daun pohon cemara yang runcing, di sana sebuah kisah melegenda.
Sebuah legenda jauh sebelum desa Ngadiwònò berdiri di tempat itu, berdirilah sebuah gubuk kecil, rumah Kiai Koesoemo dan istrinya yang bernama Nyai Oemah. Mereka adalah penghuni pertama pegunungan itu.
Nyai Oemah merupakan wanita rupawan dan menawan bagaikan bunga di lembah Bromo yang anggun diterpa angin lembut, sedangkan Kiai Koesoemo muda, kuat dan tangguh laiknya batang pohon yang kukuh menjulang.
Mereka hidup saling mencinta, meski hidupnya tak kunjung dihinggapi kebahagiaan. Ada sebuah lubang mengaga, melompong dalam hidupnya: mereka belum kunjung memiliki keturunan. Tak terdengar dari gubuknya suara-suara gelak tawa seorang anak yang dirindukan.
Tak bisa tidak dipungkiri jika nyai Oemah kerap kali berduka jika mengingat-ingat kekosongan dalam hidup rumah tangganya. Tatapan matanya sayu dan Kiai Koesoemo menjadi sosok pria yang murung dan pemarah.
Kesedihan yang mewarnai biduk rumah tangga Nyai Oemah sebab lidah Kiai Koesoemo terasa pahit tiap kali berbicara kepada istrinya. Begitu melukakan hati.
Pada satu waktu, mereka memutuskan untuk merobohkan gubuk mereka, tinggal lebih dekat dengan puncak di bibir kawah Bromo. Pada kali itu pula, saat rumah gubuk telah berhasil dibangun, Kiai Koesoemo mengangkat tangannya seraya berdoa:
"Semoga diberkahi rahimmu, wahai Njai Oemah! karena udara di sini menyehatkan, anginnya bertiup kencang, dan tempat kami tinggal subur."
Namun, dalam kehidupannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, urung jua mereka dikaruniai seorang anak. Tampaknya sang dewa-dewi Bromo tak kunjung mendengar doa Kiai Koesoemo.
Kiai Koesoemo memulai pengembaraannya, meninggalkan Nyai Oemah sendirian dalam rumahnya. Ia menyusuri bibir-bibir kawah sembari merenungi seluruh kesedihannya. Merenungi kebalauan hatinya yang tak jua dikaruniai keturunan.
Baca Juga: Polemik Penentuan Awal Ramadan di Zaman Kolonial Hindia Belanda
Sampai pada satu perlangkahannya, dia terhenti. Langkahnya benar-benar lelah. Dalam batinnya ia bergumam: "untuk apa aku hidup lagi, dan ia berdoa kepada Bromo agar ia melahapnya, menghanguskannya dengan api, seperti banyak pendahulunya."
Sebab kelelahannya itu, ia jatuh tersungkur dan tertidur.
Pada saat itu pula, sosok yang berkuasa atas Bromo menampakkan wujudnya. Maka terjadilah dialog di antara mereka:
"Kiai Koesoema, mataku telah melihat penderitaanmu dan air mata istrimu menetes di hatiku. Bersumpah! bahwa engkau akan melakukan sesuai dengan perkataanku, dan rumahmu tidak akan sunyi lagi. Dalam rahimnya, Nyai Oemah akan diberkati sebanyak dua puluh lima kali."
"Apa yang harus aku sumpahi?" tanya Kiai Koesoemo.
"Bahwa kau akan mengorbankan anak-anakmu kepadaku segera setelah mereka semua dewasa!"
Kiai Koesoemo masih menderai tanya, "bagaimana? dengan cara apa?"
"Dengan melemparkan mereka ke kawahku, sehingga aku dapat melahap mereka hidup-hidup!"
Kiai Koesoemo menelan ludah, mempertimbangkan. Henyak.
Namun, betapa pun, demi seorang anak turun yang telah dirindukannya dan Nyai Oemah sejak lama, jalan apa pun akan ditempuhnya. Maka, sumpah dilakukan.
Tak lama kemudian Nyai Oemah melahirkan seorang putra dan ia menamainya Tenggèr. Maka seterusnya, sebanyak dua puluh lima kali Nyai Oemah diliputi kebahagiaan dengan kelahiran putra-putrinya.
Baca Juga: Rasisme Ilmiah, Pseudosains Budaya Kolonialisme dan Perbudakan Eropa
Anak-anaknya terlahir sebagai anak-anak rupawan. Anak laki-lakinya terlihat tampan dan kuat seperti ayahnya. Dan yang perempuan terlahir cantik seperti ibunya, indah bak bunga-bunga cantik di lembah Bromo.
Kebahagiaan itu mulai menghiasi rumah gubuk mereka yang tak lagi sunyi menyengat hati. Berganti menjadi riuh rendah karena kehadiran anak turunnya. Namun, saat anak-anak itu beranjak dewasa, kegetiran harus dihadapi.
Kiai Koesoemo mengumpulkan anak-anaknya di bibir kawah dan memberitakan tentang nazarnya kepada penguasa Bromo. Sosok ruh penjaga alam Bromo yang telah berjasa membantu rumah tangganya untuk melahirkan anak-anak yang telah lama dirindui.
Ada harga yang harus dibayar atas kebahagiaan ini semua. Kiai Koesoemo berterus terang pada anak-anaknya yang telah tumbuh dewasa.
Nyai Oemah seperti kehilangan dirinya, memukul-mukul dadanya dan melolong dalam tangisnya. Siapalah ibu yang tak bersedih kehilangan semua anak-anak yang begitu dirindukannya dulu? Kini saat mereka dewasa, harus menanggung kehilangan.
Sampai akhirnya, seorang putra bungsu yang dipanggil 'Bunga' maju untuk memberikan sumpah.
"Ambillah aku, si anak bungsu, sebagai persembahan... bunuhlah aku pada tanggal dua puluh lima!"
'Bunga' meneruskan: "Bromo akan senang bila menerima satu persembahan, dan seterusnya pada tahun-tahun berikutnya sebagai peringatan atas kematianku, yang telah memberikan kehidupan kepada saudara-saudariku. Para saudara-saudariku akan memperingati hari peringatan kematianku dengan melemparkan persembahan pada kawahnya"
Dan tiba-tiba Bromo mengeluarkan kepulan asap yang menderu, sebagai tanda ia menerima lamaran itu, ia menerima pertukaran itu. Sang 'bunga' meninggal mendahului para saudara-saudarinya.
Maka daripadanya, saudara tertuanya, Tenggèr hidup lebih lama. Ia melahirkan banyak anak turunnya yang hidup bestari di alam Bromo. Menjadi moyang 'Orang Tenggèr' modern, yang masih mendiami pegunungan tersebut hingga hari ini.
Setiap tahun pada tanggal satu, bulan Kesòdo keturunan Kiai Koesoemo dan Nyai Oemah bersatu di Laut Pasir, melakukan pengorbanan di kaki Bromo. Dan sejak saat itu, ribuan pria dan wanita masih melakukan ziarah khidmat ke Bromo setiap tahunnya.
Semua janji yang diucapkan selama setahun terakhir kemudian terpenuhi, para pendeta menaikkan doa mereka ke surga dengan asap harum dari ambar yang terbakar, dan setelah berdoa semua memanjat bibir kawah dan melemparkan persembahan mereka ke dalam jurang yang gelap, berasap, dan mendidih.
Maka, lahirlah festival pengorbanan Bromo.
***
Kisah ini disadur dari buku gubahan Justus van Maurik dengan judul Indrukken van een 'Tòtòk' yang diterbitkan pada tahun 1897 dari halaman 417 pada bab De Bromo-Sage.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Source | : | Digitale Bibliotheek voor de Nederlandse Letteren (DNBL) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR