Nationalgeographic.grid.id—Pada tahun 1896, Justus van Maurik sedang dalam kereta menuju perdesaan permai di Buitenzorg (kini Bogor) untuk menjemput undangan temannya, seorang landheer (tuan tanah) baru yang tinggal sementara di sana.
Undangan itu kabarnya akan ada gelaran sedekah topeng sebagai sambutan selamat datang kepada sang landheer baru, pengelola lahan seluas 25.000 hektar di perdesaan Srogol, Tjigombong, Buitenzorg.
Justus van Maurik tiba juga di stasiun Tjigombong, dan sebuah bendi yang membawa temannya, Jhr. van den Bosch, seorang landheer telah menjemputnya. Dalam perjalanan menuju rumah landheer, van Maurik begitu menikmati derap bendi menariknya.
Ia melihat keramahan penduduk asli Sunda yang membungkuk tiap kali melihat tuan Eropa melintas. Begitu pula pakaian mereka yang lebih segar dan berwarna ketimbang penduduk Batavia.
Roda bendi terus menggelinding menggilas bebatuan dengan terjahannya, semakin memasuki kawasan perkampungan. Setelah sampai di rumahnya, van Maurik dipersilakan untuk dijamu di rumahnya, dan van den Bosch melanjutkan diri untuk menyaksikan persiapan gelaran.
Ketika van den Bosch tengah sibuk mengawasi persiapan, anak-anaknya mulai menggelayuti kakinya, sedang seorang baboe terus mengikuti para sinyonya itu. Seorang djongos langsung membawakan minum, menjamu van Maurik yang duduk-duduk di sitje.
*
Menjelang malam, suara gong mulai terdengar nyaring. Di sana, telah duduk di atas tanah para penduduk asli yang sedari tadi sedia menunggu gelaran sedekah topeng. Namun, mereka tak ada yang berisik, bergeming, hanya menunggu dengan khidmat.
Beberapa penduduk asli yang belum sampai dalam pegelaran, terlihat titik-titik obor mengular dari kejauhan menerangi malam, menuju ke lokasi gelaran. Begitu cantik. Menandingi indahnya gemerlap bintang-bintang yang berpendaran di langit.
Begitu sampai, mereka memadamkan obor yang mereka gunakan untuk penerangan jalan lalu membentuk lingkaran besar di depan rumah landheer. Dari tiga sumbu obor di tengah lingkaran yang menyala temaram, dapat disaksikan wajah-wajah ceria.
Mereka kebanyakan berbusana setengah telanjang. Para pria hanya bercelana dan para wanita desa masih berkemban.
Baca Juga: Pyrrhic, Tarian Perang yang Diajarkan ke Anak Laki-Laki Bangsa Sparta
Dalam tunggu, dapat dilihat para penari ronggeng mulai duduk bersila di tengah lingkaran besar dengan gaun berwarna hijau zamrud dan bersulam emas, serta manik-manik berwarna cerah dan payet emas yang menghiasi kepalanya berbentuk mahkota.
Lalu, terdengar satu pukulan gong yang keras dan panjang menandakan dimulainya pertunjukan. Para ronggeng telah bangkit, tampak wajah-wajahnya nampak ayu dibalur dengan rias yang menutup wajah asli mereka. Hampir seluruh tubuhnya dibalur bubuk putih.
Para penari wanita itu memegang slendang berwarna di tangannya yang terangkat dengan anggun, melangkah maju beberapa kali, perlahan, menyeret, dengan gerakan berirama. Van Maurik begitu terpana.
Dengan ayunan cepat penari itu melempar slendang ke atas dan melewati bahunya sambil berjongkok sejenak, dia menempelkan kedua tangannya yang terlipat seperti sedang berdoa ke dahinya.
Oh bukan berdoa, itu sembâhnya, salam hormat yang disampaikan kepada para penonton. Sebagai tanda dimulainya unjuk tari.
Setelah memberi hormat, penari ronggeng mulai bangkit lagi, bergoyang anggun dengan pinggulnya maju mundur, memutar lengan dan tangannya yang indah dalam berbagai macam gerak.
Jari-jarinya yang hanya memegang slendang dengan ringan, melebar menyerupai bentuk kipas dan ditekuk ke belakang, sementara kakinya melangkah kecil-kecil ke depan dan ke belakang.
Musik menjadi lebih hidup, bunyi lonceng terdengar jelas di antara suara sengau biola dan lengkingan seruling. Gendang ditabuh dengan tempo lebih cepat dan gong dengan lembut membunyikan nada dasar dengan pukulan yang lebih pendek.
Dengan putaran yang lebih cepat, dia memutar tubuh bagian atasnya maju mundur dan langkah yang diambilnya menjadi lebih besar dan lebih panjang. Ia bergerak mengitari obor dalam lingkaran yang makin melebar.
Seketika musik tiba-tiba berhenti sejenak, dan penari ronggeng telah berdiri di depan tempat landheer dan nyonyanya duduk bersama tamu-tamu mereka, termasuk van Maurik untuk memberi hormat.
Musik dimulai lagi, sambil membungkuk sedikit, sang penari mengambil sesuatu dari keranjang, diambilnya topeng putih, rona topengnya teduh dengan mata tenang.
Baca Juga: Lengking 'Ka Mate! Ka Ora!' Suku Maori dalam Tarian Perang Haka
Tampak musik mulai mengalun pelan dan ragu. Dengan malu-malu dan jinjit, ronggeng melangkah maju, tangannya bergerak anggun dan perlahan dengan kekuatan terkendali. Menyiratkan diri yang tenang dan santun. Lebih pada sikap penuh malu yang tampil.
"GONGGG!"
Bunyi keras sebuah gong mengagetkan penonton. Seketika itu juga penari itu merobek topeng putihnya. Dengan cepat, diambilnya topeng berwarna hijau dengan pupil dan putih mata yang tampak jelas.
Gamelan mulai bertabuh kencang, memainkan irama-irama liar. Kini penari itu menyibakkan selendangnya, hingga terlihat jelas kemolekan tubuhnya tergambar. Pinggulnya bergeol-geol erotis dan musik terus berderu semakin liar.
Sang penari pun semakin mengekspresikan gairahnya melalui gerakan-gerakan, tangan dan kaki yang bergerak maju mundur dalam lilitan seperti ular. Kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah tanpa henti, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan sentakan sesuai irama.
Setelahnya musik berhenti, ia mengganti topengnya. Sekarang warnanya merah dengan mata kuning tajam dan bersinar terang, di bawah alis hitam yang melengkung. Suara penari menjadi lebih kuat, lebih tajam, dan lebih tajam membelah udara.
Dia bangkit dengan sikap memerintah. Sikapnya menjadi anggun. Kepalanya menengadah ke arah gerbang, tangan kanannya terentang memberi komando, tangan kirinya ditekuk anggun di pinggulnya.
Dengan topeng itu, sang penari telah menyiratkan bahwa dirinya seorang Raden Ayu yang berkuasa dan memerintah. Melepas bebannya yang sebenarnya penyanyi ronggeng yang tak memiliki daya apa pun selain berpesan lewat gerak tubuhnya.
Kemudian segera setekah selesai menggerak-gerakkan tubuh bagian atasnya, penari kembali berjongkok dan menundukkan kepalanya, mulai mengangkat sembâh dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dahinya. Tarian sudah selesai.
Menyenangkan!
Tepuk tangan para tamu bergema keras dan bergema sepanjang malam. Pesta-pesta ini barangkali umum di tanah Preangan (Sunda) dan tarian ronggeng adalah yang terbaik yang dapat dinikmati oleh para Eropa dan penduduk aslinya.
***
Tulisan ini disadur dari buku gubahan Justus van Maurik berjudul Indrukken van een 'Tòtòk' yang terbit pada tahun 1897 dari halaman 259 pada bab In de Préanger.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR