Nationalgeographic.co.id—Arogansi kekuasaan kembali mencoreng citra publik figur.
Belum lama ini, jagat maya dihebohkan oleh video viral yang memperlihatkan seorang wanita, yang diduga kuat merupakan anggota DPRD Sumatera Utara berinisial MZ, melakukan tindakan kekerasan yang tak terpuji: mencekik seorang pramugari di dalam kabin pesawat.
Insiden bermula dari persoalan penempatan bagasi, namun eskalasinya dengan cepat memperlihatkan betapa seorang individu yang memiliki kedudukan dapat merasa berhak untuk melampaui batas, mengabaikan prosedur standar, bahkan melakukan penyerangan fisik terhadap petugas yang menjalankan tugasnya.
Peristiwa memilukan ini memicu pertanyaan mendasar tentang akar dari perilaku semacam itu.
Lebih dari sekadar temperamen buruk atau respons emosional sesaat, kejadian ini membuka jendela lebar untuk mengamati sebuah fenomena psikologis yang lebih dalam, sebuah kondisi di mana kekuasaan dan kesuksesan yang diraih perlahan-lahan mengikis rasa hormat terhadap orang lain dan menumbuhkan keyakinan yang keliru akan superioritas diri.
Inilah ranah gelap yang dikenal sebagai sindrom hubris, sebuah kondisi psikologis yang dapat menjangkiti siapa saja yang menduduki posisi puncak, membutakan mereka terhadap realitas dan mendorong pada tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Lantas, bagaimana sindrom hubris ini bekerja? Apa saja ciri-ciri yang membedakannya dari sekadar keangkuhan biasa? Dan yang terpenting, bagaimana kita dapat mengenali dan mencegah bahayanya, terutama ketika menjangkiti para pemimpin yang memiliki kendali atas banyak aspek kehidupan?
Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena sindrom hubris, menelusuri jejaknya dalam berbagai konteks, dan merenungkan implikasinya bagi tatanan sosial dan kepemimpinan yang sehat.
Melampaui Batas Kegelapan: Mengenal Sindrom Hubris
Menurut Susan Krauss Whitbourne di laman Psychology Today, individu dengan kepribadian Dark Triad yang manipulatif sering dianggap sebagai representasi puncak dari ketoksikan, dan anggapan ini semakin kuat dengan penambahan sifat sadisme yang membentuk Dark Tetrad.
Baca Juga: Post-Vacation Blues, Sindrom yang Sering Muncul usai Liburan Idulfitri
Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh Jean-Paul Selten dari Universitas Maastricht pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa kegelapan kepribadian dapat meluas lebih jauh lagi, mencakup "kebanggaan berlebihan, penghinaan terhadap orang lain, dan penurunan rasa realitas," yang pada akhirnya mengarah pada kondisi yang dikenal sebagai hubris.
Istilah ini mungkin sudah familiar melalui kisah-kisah mitologi Yunani seperti tragedi Icarus, serta berbagai karakter literatur ikonik seperti Jay Gatsby, Macbeth, dan Scarlett O'Hara.
Bahkan karakter-karakter Disney seperti Jafar dalam "Aladdin" dan Ursula dalam "The Little Mermaid" pun menunjukkan ciri-ciri hubris.
Sayangnya, fenomena ini tidak hanya terbatas pada dunia fiksi, dan mungkin saja kita menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari, seperti contoh seorang sepupu yang transformasinya menjadi sosok menuntut seiring dengan kesuksesan bisnisnya.
Selten mengusulkan perlunya diagnosis "sindrom hubris" mengingat potensi bahayanya, terutama ketika dialami oleh individu yang menduduki posisi kekuasaan tertinggi.
Memahami Perbedaan Esensial Antara Kebanggaan dan Hubris
Penting untuk dipahami bahwa hubris adalah kualitas yang cenderung berkembang pada individu yang telah mencapai posisi yang signifikan. Kondisi ini melampaui gangguan kepribadian yang umumnya terkait dengan narsisme ekstrem atau kecenderungan antisosial.
Keberhasilan dapat memicu apresiasi yang wajar atas pencapaian, namun dalam kasus hubris, keberhasilan justru mengubah individu menjadi sosok dengan hasrat kekuasaan yang tampak tidak terbatas.
Peristiwa kehidupan memang dapat memicu perubahan kepribadian, tetapi dalam konteks hubris, peristiwa tersebut haruslah memberikan kendali yang kemudian disalahgunakan.
Seseorang yang sebelumnya mungkin hanya arogan dan menyebalkan bagi rekan kerjanya dapat berbelok ke arah hubris dengan menambahkan disinhibisi ke dalam perilakunya.
Mereka menjadi sembrono, tidak bertanggung jawab, dan impulsif, mengambil risiko yang tidak hanya berdampak pada diri mereka sendiri tetapi juga pada kehidupan orang lain akibat keputusan yang tidak dipikirkan matang.
Baca Juga: Sindrom Kessler Bisa Paksa Kita Hidup Tanpa Internet pada Masa Depan?
Tujuh Indikator Utama Sindrom Hubris Menurut Selten (2023)
Apabila hubris diakui sebagai sebuah sindrom, menurut peneliti asal Belanda tersebut, maka harus memenuhi kriteria validasi tertentu.
Selten menawarkan tujuh deskriptor yang sebagian besar merupakan pengembangan dari karya sebelumnya oleh Owen & Davidson pada tahun 2009 yang diterapkan pada tokoh politik Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, deskriptor ini dapat diterjemahkan menjadi tujuh kriteria sebagai berikut:
(1) Individu menunjukkan perubahan perilaku yang berlangsung setidaknya selama tiga bulan.
(2) Sindrom ini berkembang saat individu telah dewasa.
(3) Perubahan terjadi setelah individu meraih kesuksesan luar biasa atau kekuasaan yang substansial.
(4) Disosialitas (kurangnya kepedulian terhadap orang lain) dan disinhibisi (impulsivitas) meningkat seiring waktu.
(5) Individu menunjukkan keagungan ekstrem dalam bentuk merasa berhak, egosentrisme, dan merendahkan orang lain.
(6) Disinhibisi terwujud dalam bentuk ketidakbertanggungjawaban ekstrem dan ketidakmampuan membuat rencana rasional.
(7) Tidak ada kondisi kesehatan lain, termasuk kerusakan otak atau penyakit fisik, yang dapat menjelaskan munculnya ciri-ciri ini.
Baca Juga: Sindrom Kessler, Bencana Luar Angkasa yang Sudah Mulai Berlangsung
Selain itu, indikasi lain yang mungkin muncul adalah penggunaan "kami" yang megah atau merujuk diri sendiri dengan kata ganti orang ketiga.
Mencegah Dampak Negatif Hubris Melalui Kesadaran dan Kewaspadaan
Selten berpendapat bahwa memasukkan hubris sebagai sindrom dapat membantu profesional kesehatan mental dalam mencegah kerusakan yang disebabkan oleh para pemimpin yang tidak terkendali, yang ia sebut sebagai "bahaya bagi umat manusia."
Meskipun kerabat kita mungkin tidak termasuk dalam kategori tersebut, mereka tetap berpotensi memberikan dampak negatif pada kehidupan orang-orang di sekitarnya, seperti karyawan mereka.
Dengan memahami konsep hubris, kita dapat lebih cermat mengamati tindakan dan perkataan orang-orang di sekitar kita, baik yang kita kenal secara pribadi maupun yang kita amati dari jauh.
Bagi individu yang telah mencapai kesuksesan, sekecil apa pun lingkupnya, penting untuk menjaga batasan internal diri.
Jika kita melihat teman atau kerabat menunjukkan tanda-tanda hubris, mencoba memberikan sedikit sentuhan realitas dapat membantu mengoreksi arah sebelum terlambat.
Kesadaran akan potensi bahaya hubris dapat menjadi langkah awal dalam mencegah dampaknya yang merugikan.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
KOMENTAR