Nationalgeographic.co.id—Udara lembap terasa menyelubungi kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta, pada Sabtu (19/4/20205) sekitar pukul 7 pagi. Cuaca yang gamang antara hujan atau panas sepertinya menjadi penyebabnya.
Beruntung, rasa gamang tidak sedikit pun terlihat pada wajah 20-an orang yang sedang berkumpul di Sana Studio pagi itu. Para peserta Sana Kenal Kota itu terlihat begitu bersemangat menyambut kisah demi kisah menarik yang akan dinarasikan oleh Abimantra Pradhana.
Pria berlatar belakang arsitek dan pendesain kota itu juga sudah begitu siap berbagi cerita tentang kawasan Pondok Indah dengan teman-teman yang disebutnya sebagai “klub pertemanan jalan kaki” itu.
Tepat pukul 7:45, sesuai namanya, para peserta mulai berjalan kaki dari Studio Sana menuju Stasiun MRT Blok M. Di sela-sela perjalanan sejauh 1 kilometer itu, Abi sempat mengajak peserta berhenti sejenak.
"Terminal Blok M muncul pada tahun 1970-an," Abi mulai kembali bercerita. Kehadiran para pengguna transportasi publik kemudian mendorong riuhnya aktivitas di kawasan ini, termasuk tumbuhnya Aldiron Plaza.
Pondok Indah yang mulai muncul pada periode yang sama sempat bersinggungan dengan kawasan ini. "Pembangunan Pondok Indah mendorong peningkatan penggunaan kendaraan pribadi," kenang Abi yang kemudian menjelaskan bagaimana kondisi tersebut sempat melahirkan fenomena "Lintas Melawai".
Hanya saja, Pondok Indah yang semakin berkembang, termasuk dengan kehadiran pusat perbelanjaannya, pada akhirnya membuat Blok M mulai ditinggalkan.
Kisah kota satelit pertama
“Tidak banyak yang menceritakan tentang Pondok Indah,” papar Abi, membuka narasi tidak lama setelah tim turun dari Stasiun MRT Haji Nawi sekitar pukul setengah sembilan pagi.
Baca Juga: Di Jakarta Picu 'Demam', di Papua Picu Pembantaian, Ini Lika-liku Emas dalam Sejarah Manusia
Kawasan kota satelit pertama yang dirancang oleh pemerintah ini, menurut Abi, mulai berkembang pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Terpisah 20 tahun setelah kota satelit pertama di Jakarta, yaitu Kebayoran, dibangun oleh Belanda.
Perkembangan Pondok Indah, yang dianggap "formal", tanpa banyak kita sadari, turut memengaruhi permukiman sekitarnya yang tumbuh secara informal. "Mereka terpapar dampak sosial, ekonomi, dan budaya dari Pondok Indah."
Paparan yang menurut pria kelahiran Jakarta, 42 tahun silam tersebut justru memperlihatkan resiliensi atau kemampuan adaptasi warga Jakarta. Terlebih ketika para pendatang mulai berbaur dengan warga Betawi yang, dengan beragam alasan, mulai melepas kepemilikan tanah di kawasan tersebut.
"Inilah yang memicu interaksi antara warga betawi dengan pendatang-pendatang yang lahir pada 1980-an," ungkap Abi.
Kondisi ini juga turut memicu bentuk resiliensi lain dalam wujud bangunan yang tidak terbatas pada fungsi sebagai hunian. Rumah-rumah itu memiliki banyak fungsi seperti lantai satu yang dijadikan sebagai tempat komersial. Sementara fungsi hunian terdapat di lantai atas.
Luas bangunan turut mengejawantahkan proses resiliensi warga Jakarta. Tanpa sentuhan pemerintah, mereka membangun persepsi sendiri tentang hunian yang nyaman. Salah satunya bisa terlihat dari "rumah 35 ribu milimeter" milik Abi yang kami kunjungi beberapa menit kemudian.
Secara luas, bagi sebagian orang, rumah yang memiliki lebar hanya 3,5 meter tersebut mungkin terasa sempit. Namun, lokasinya yang hanya berjarak 500 meter dari stasiun MRT Haji Nawi dan 5 menit berjalan kaki ke Pondok Indah Mall 1 memberikan definisi lain tentang tempat tinggal ideal dan nyaman di tengah kota.
Menariknya, dalam pandangan Abi yang tinggal di rumah tersebut sejak 2018, perubahan-perubahan positif mulai terlihat di lingkungan sekitar rumahnya. Dalam 5 tahun terakhir misalnya, Abi melihat bagaimana sanitasi dan pencahayaan di lingkungannya mulai diperbaiki. Kebutuhan akan ruang-ruang untuk para warga pun mulai terakomodasi.
Perspektif baru
Sana Kenal Kota, menurut Abi, memiliki tujuan untuk "Memberikan perspektif baru lewat bagaimana Jakarta itu berkembang, secara tata kota, arsitektur yang berkembang di dalamnya, dan termasuk bagaimana bangunan yang sehari-hari kita lewati tetapi tanpa sadar ada cerita di baliknya."
Baca Juga: sonic/panic Jakarta: Kolaborasi Musik dan Aksi Nyata untuk Selamatkan Lingkungan
Seperti saat Pondok Indah terpilih sebagai rute kegiatan yang sudah dimulai sejak 2021 tersebut. Melalui rute ini, Abi berharap para peserta mulai menyadari satu perspektif tentang ruang di Jakarta, yaitu "Bagaimana satu ruang harus bisa memiliki beragam fungsi agar pada akhirnya mampu memecahkan masalah-masalah lainnya."
Pondok Indah Mall 1 sendiri menjadi titik akhir dari rute jalan kaki Sana Kenal Kota kali ini. Tepat pukul 9:30 para peserta mulai memasuki National Geographic Apparel Stores yang berada di mall tersebut.
Sambil beristirahat dan menikmati kudapan yang tersedia, para peserta mulai membuat sarung botol minum. Menggunakan kain-kain berbentuk tali yang terbuat dari pakain bekas, para peserta membuat sarung tersebut dengan dipandu oleh rekan-rekan dari Setali Indonesia.
Kegiatan membuat sarung botol minum ini sendiri, menurut Brand Marketing Specialist National Geographic Apparel Indonesia Shafira Maharani, menjadi salah satu agenda perayaan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April.
"Harapannya agar kita semua lebih sadar saat akan berbelanja. Kita harus sudah memikirkan dua-tiga langkah ke depan saat membeli sesuatu," ungkap Shafira.
Masih dalam rangka Hari Bumi, National Geographic Apparel Stores juga menempatkan satu dropbox agar siapa pun dapat menaruh pakaian bekasnya untuk kemudian akan didaur ulang oleh rekan-rekan dari Setali Indonesia.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!
KOMENTAR