Kisah tentang eksploitasi mereka membuat banyak penjelajah dan pedagang budak Eropa tercengang. Para pejuang wanita di wilayah tersebut membantu meningkatkan reputasi Dahomey sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan.
“Menurut semua catatan, mereka adalah penembak jitu yang hebat dan menakutkan,” kata Toler. “Mereka terampil dalam pertarungan jarak dekat, menggunakan senjata yang sangat mirip parang. Dan sama sekali tidak ada seorang pun di sana yang memberi tahu mereka bahwa mereka tidak boleh terlibat dalam pertempuran. Atau bahwa mereka tidak memiliki kekuatan tubuh bagian atas seperti yang Anda dengar dalam sejarah Eropa dan Amerika Utara hingga saat ini.”
Sebagian besar catatan peperangan Dahomey melibatkan pertempuran dengan kerajaan tetangga. Tujuannya adalah untuk menguasai kota-kota pesisir. Pergeseran kemudian dimulai pada akhir tahun 1870-an setelah kerajaan setuju untuk membiarkan Prancis mengeklaim kota Cotonou sebagai protektorat. Pada tahun 1883, Porto-Novo di dekatnya, salah satu pesaing Dahomey, ditetapkan dengan cara yang sama.
Namun pada tahun 1889, seorang raja baru berkuasa. Raja Behanzin menolak campur tangan Eropa. Ia akhirnya memerintahkan penyerbuan budak dan permusuhan lainnya terhadap protektorat Prancis tersebut. Hal ini menyebabkan Perang Prancis-Dahomey Kedua. Perang itu berlangsung dari tahun 1892 hingga 1894. Dan oleh beberapa sejarawan, perang tersebut dianggap sebagai akhir dari peran dominan para prajurit wanita Dahomey.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR