Nationalgeographic.co.id—Kisah epik tentang negara fiktif Afrika, Wakanda, merupakan awal yang sempurna untuk sebuah film tentang sekelompok prajurit wanita Afrika di dunia nyata. Kehebatan para prajurit wanita itu dahsyat dan mengejutkan semua orang yang mereka temui.
Namun, memberi label “Amazon” kepada prajurit wanita Kerajaan Dahomey di Afrika Barat ini bukanlah hal yang tepat. Hal tersebut diungkap oleh sejarawan Pamela Toler.
Toler mengatakan penting untuk mengetahui kisah lengkap tentang resimen prajurit wanita tersebut. Mereka telah ada sejak akhir tahun 1600-an hingga awal tahun 1900-an. Bahkan, pemeriksaan asal-usul dan masyarakat tempat mereka muncul memberikan gambaran yang lebih multidimensi tentang para prajurit wanita ini. Serta tentang warisan yang mereka tinggalkan.
Bangkitnya Kerajaan Dahomey
Hingga beberapa dekade terakhir, sebagian besar penggambaran budaya populer tentang Afrika mencirikan benua tersebut sebagai lingkungan agraris yang tidak beradab.
Sebaliknya, peradaban kuno yang kuat berkembang pesat di seluruh benua. Termasuk Tanah Punt prasejarah dan kerajaan Aksum dan Nubia di Afrika timur laut; kekaisaran Afrika Barat Ashanti, Mali, dan Songhai; dan Kerajaan Zimbabwe.
Di Afrika Barat, Dahomey mengukir warisan yang sangat kuat. Kerajaan tersebut membentuk pemerintahan yang terorganisasi dengan baik di mana raja dianggap sebagai setengah dewa. Raja memiliki kendali mutlak atas urusan ekonomi, politik, dan sosial. Sang raja didukung oleh dewan pejabat yang dipilih dari kelas rakyat jelata karena kesetiaan dan komitmen terhadap bangsa.
Akses geografisnya ke laut, dan kecakapan strategis para pemimpinnya, memungkinkan Dahomey menaklukkan kerajaan pesisir lainnya. Seperti Allada dan Whyda. Namun, kemunculan dan perluasan perdagangan budak transatlantik pada akhirnya membantu mengukuhkan dominasinya.
Diperkirakan bahwa dari tahun 1720-an hingga 1852 penguasa Dahomey menjual ratusan ribu orang dari suku dan negara tetangga kepada Inggris, Prancis, Portugis, dan lainnya. Selama periode itu, Inggris memberlakukan blokade laut.
Selain perdagangan budak, Dahomey berjuang untuk memperoleh tanah yang subur untuk pertanian dan untuk meningkatkan perdagangan minyak kelapa sawitnya. Pajak dan bea yang dikumpulkan dari kedua usaha tersebut membantu Dahomey membangun kehadiran militer yang mengesankan.
Akhirnya, serangan terus-menerus terhadap komunitas tetangga secara signifikan mengurangi jumlah laki-laki. Hal ini pun membuka jalan bagi perempuan untuk berperan sebagai wali dan pelindung keluarga.
Baca Juga: Akritai, Kisah Prajurit Penjaga Perbatasan di Kekaisaran Bizantium
Asal-usul prajurit wanita Dahomey
Salah satu catatan tentang asal-usul prajurit wanita Dahomey menyatakan bahwa mereka adalah pemburu gajah. Para pemburu gajah itu bertugas di bawah Raja Houegbadja, raja ketiga Dahomey, dari sekitar tahun 1645 hingga 1685. Dikenal sebagai Gbeto dalam bahasa Fon, prajurit wanita itu memburu semua jenis hewan buruan. Termasuk gajah, hewan yang paling berharga dan sulit dibunuh.
Gajah hampir sepenuhnya punah dari daerah tersebut pada pertengahan abad ke-19. Gbeto kemudian diintegrasikan ke dalam pasukan prajurit wanita. Mereka mengenakan blus cokelat dan celana pendek selutut berwarna cokelat dan biru.
Para pejuang wanita ini juga dikenal dengan nama-nama lain dalam bahasa Fon, termasuk Agojie, Agoji, Mino, atau Minon. Kisah asal-usul yang umum tentang para pejuang wanita Dahomey adalah bahwa kelompok tersebut dibentuk atas perintah Ratu Hangbe. Ia adalah putri Houegbadja, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah saudara kembarnya Akaba meninggal dalam keadaan misterius pada awal tahun 1700-an.
Hangbe mengumpulkan satu skuadron wanita yang bersedia mati untuk melindunginya dan kerajaan. Hal ini merupakan prestasi yang mengesankan dalam masyarakat Dahomey yang sangat patriarkal.
Para pejuang wanita ini bukanlah selir atau pelayan yang wajib tunduk pada keinginan pria mana pun. Dan mereka tidak muncul begitu saja. Para sejarawan telah lama mencatat keunggulan wanita di beberapa masyarakat Afrika. Dalam buku Continent of Mothers, Continent of Hope: Understanding and Promoting Development in Africa Today, penulis Torild Skard menulis tentang para prajurit Dahomey:
“Mereka terkenal karena semangat dan keganasannya. Yang paling menakutkan dipersenjatai dengan senapan. Ada juga pemanah, pemburu, dan mata-mata. Prajurit wanita itu berolahraga secara teratur agar bugar secara fisik dan mental untuk bertempur. Mereka bernyanyi, ‘Pria, pria tetaplah di sini! Semoga para pria tetap di sini! Semoga mereka menanam jagung dan menanam pohon palem … Kita berperang.’”
Ketika tidak berperang, mereka menjaga istana kerajaan di Abomen dan menanam buah serta sayuran. Mereka juga bisa pergi dan menangkap tawanan untuk dijual sebagai budak.
Realitas di balik mitos
Seperti apa penampilan para prajurit wanita Dahomey? Anda mungkin membayangkan para prajurit wanita Dahomey yang ramping dan sangat glamor. Seperti yang digambarkan dalam Black Panther. Namun sejarawan Toler mengatakan kenyataannya sangat berbeda.
“Pada tahun 1800-an, catatan kontemporer tentang mereka menyebutkan bahwa seragam mereka sangat mirip dengan seragam pria. Karena itu, musuh tidak menyadari bahwa mereka adalah wanita sampai mereka berhadapan langsung dalam pertarungan jarak dekat,” kata Toler.
“Mereka kemungkinan besar mengenakan celana pendek panjang, tunik, dan topi. Dan bukan pakaian yang terkesan seksual seperti yang Anda lihat dalam penggambaran prajurit wanita zaman modern.”
Kisah tentang eksploitasi mereka membuat banyak penjelajah dan pedagang budak Eropa tercengang. Para pejuang wanita di wilayah tersebut membantu meningkatkan reputasi Dahomey sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan.
“Menurut semua catatan, mereka adalah penembak jitu yang hebat dan menakutkan,” kata Toler. “Mereka terampil dalam pertarungan jarak dekat, menggunakan senjata yang sangat mirip parang. Dan sama sekali tidak ada seorang pun di sana yang memberi tahu mereka bahwa mereka tidak boleh terlibat dalam pertempuran. Atau bahwa mereka tidak memiliki kekuatan tubuh bagian atas seperti yang Anda dengar dalam sejarah Eropa dan Amerika Utara hingga saat ini.”
Sebagian besar catatan peperangan Dahomey melibatkan pertempuran dengan kerajaan tetangga. Tujuannya adalah untuk menguasai kota-kota pesisir. Pergeseran kemudian dimulai pada akhir tahun 1870-an setelah kerajaan setuju untuk membiarkan Prancis mengeklaim kota Cotonou sebagai protektorat. Pada tahun 1883, Porto-Novo di dekatnya, salah satu pesaing Dahomey, ditetapkan dengan cara yang sama.
Namun pada tahun 1889, seorang raja baru berkuasa. Raja Behanzin menolak campur tangan Eropa. Ia akhirnya memerintahkan penyerbuan budak dan permusuhan lainnya terhadap protektorat Prancis tersebut. Hal ini menyebabkan Perang Prancis-Dahomey Kedua. Perang itu berlangsung dari tahun 1892 hingga 1894. Dan oleh beberapa sejarawan, perang tersebut dianggap sebagai akhir dari peran dominan para prajurit wanita Dahomey.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR