Nationalgeographic.co.id—"Jujur ya, saya pribadi ada ketakutan suatu waktu kami tidak bisa tinggal lagi di pinggir pantai kan kami tidak tahu kami harus kemana," ungkap Mama Jubina. "Saya lihat itu dulu tidak terlalu berhubungan, tidak melebar. Kok dari tahun ke tahun ini melebar. Dulu kami masih bisa nyebrang, tapi sekarang susah. Makanya karena itu, saya takut."
Mama Jubina Wila, salah satu warga yang aktif dalam kegiatan penanaman mangrove, mengungkapkan ketakutannya akan dampak abrasi yang semakin parah. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Abrasi telah menggerus daratan dan bahkan mengancam infrastruktur penting seperti gereja. Masyarakat pun merasakan dampaknya pada mata pencaharian, di mana hasil tangkapan ikan semakin sulit didapatkan di dekat pantai.
Abrasi merupakan ancaman besar bagi masyarakat kepulauan. Di Pulau Sabu, misalnya, pasang surut air laut terus menggerogoti daratan. Penyebabnya, banyak pohon mangrove lenyap akibat alih guna lahan. Padahal, bagi masyarakat pesisir, hutan mangrove seharusnya menjadi lumbung pangan dan benteng pelindung kehidupan.
Sayangnya, aktivitas tambang pasir ilegal telah merusak lahan pesisir Wuihebo di Pulau Sabu yang banyak menjadi tumpuan dan harapan. Akibatnya, nelayan makin sulit mencari ikan. Gelombang air laut yang tak terbendung mangrove pun kian dekat mengoyak-ngoyak area gereja dan permukiman.
Untuk mencegah tidak terjadinya kerusakan yang lebih besar, kelompok Jemaat Immanuel Wuihebo di Pulau Sabu berinisiatif bersama-sama menanam bibit mangrove di pesisir Wuihebo. Acara ini digelar pada Selasa, 22 April 2025, bertepatan dengan momen perayaan Hari Bumi. Aksi rehabilitasi dan penanaman mangrove ini diikuti oleh para ibu, para bapak, hingga anak-anak.
Semangat kolaborasi penanaman mangrove antara kelompok Jemaat Immanuel Wuihebo dengan GEF SGP Indonesia dan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Sabu Raijua merupakan secercah harapan bagi masa depan pesisir yang lebih aman dan lestari. Makin besar upaya kita untuk melindungi Bumi, akan makin besar pula kekuatan Bumi untuk melindungi kehidupan kita dan anak cucu kita.
Semangat Hari Bumi 2025 bertema "Our Power, Our Planet" diwujudkan melalui aksi nyata di Pantai Wuihebo, Kabupaten Sabu Raijua. Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sabu Raijua dan masyarakat setempat menggelar penanaman mangrove sebagai upaya menjaga kelestarian pesisir.
Kepala Bidang Pencegahan Pencemaran dan Pengendalian Pengolahan Sampah DLH Sabu Raijua, Dedi Syamhadi, mengungkapkan bahwa meskipun data statistik pencemaran pesisir belum tersedia, dampak abrasi sudah terlihat jelas di beberapa wilayah. Penambangan pasir menjadi salah satu kendala utama, di mana aktivitas tersebut seringkali dilakukan di pinggir pantai.
"Untuk Sabu Raijua ini, pencemarannya sendiri belum terlalu banyak karena sumber-sumber pabrik masih kurang. Tapi yang paling sering kita hadapi itu penambang-penambang liar ini. Kebanyakan mereka menambang di sekitar pinggiran pantai," jelas Dedi.
DLH Sabu Raijua menyambut baik kolaborasi dengan LSM dan bantuan dana hibah seperti GEF SGP Indonesia dalam upaya pengendalian pencemaran dan pelestarian pesisir. Harapannya ke depan adalah terjalin kerjasama berkelanjutan, termasuk dalam penyediaan bibit mangrove dari DLH untuk ditanam bersama masyarakat.
"Saya dari Dinas Lingkungan Hidup pertama mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan LSM yang sudah membantu dalam usaha untuk pengendalian pencemaran sama untuk daerah pesisir kita ini. Untuk harapan ke depan mungkin sama kayak kita di Dinas Lingkungan Hidup, kita juga ada pengadaan untuk anakan-anakan. Nanti mungkin kita dengan LSM bisa kerjasama ambil anakannya dari kami untuk kita tanam bersama," ujar Dedi.
Baca Juga: Kemitraan dan Pendanaan Berkelanjutan: Kunci Sinergi Konservasi dalam Mangrove Breakthrough
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR