Nationalgeographic.co.id—Meskipun menyediakan layanan yang krusial bagi manusia serta ekosistem, lebih dari 50% hutan mangrove di seluruh dunia telah lenyap, sebagian besar akibat kegiatan pertanian, pembangunan pesisir, dan eksploitasi yang berlebihan.
Melindungi dan memulihkan ekosistem vital ini merupakan strategi yang sangat hemat biaya untuk meningkatkan ketahanan iklim di wilayah pesisir sekaligus berkontribusi signifikan terhadap penyerapan karbon global.
Tersebar di 128 negara, hutan mangrove kini mendominasi hampir 15% dari total garis pantai global, dengan lebih dari 30% konsentrasinya berada di kawasan Asia Tenggara.
Ekosistem ini termasuk dalam kategori "tiga besar" ekosistem karbon biru (blue carbon) pesisir yang sangat penting, bersanding dengan rawa asin dan padang lamun; area yang kaya akan karbon ini menyimpan lebih dari 50% karbon dalam sedimen lautnya dan menyediakan habitat penting bagi ribuan spesies, selain kemampuannya yang luar biasa dalam meredam kecepatan dan kekuatan gelombang badai.
Kemunduran Ekosistem Mangrove
Sebagai salah satu habitat yang paling terancam di dunia, mangrove menghadapi tekanan hebat dari berbagai aktivitas manusia. Akuakultur, deforestasi, pembangunan pesisir, dan penebangan kayu telah berkontribusi pada hilangnya hampir 50% hutan mangrove secara global dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.
Secara khusus, akuakultur, terutama budidaya udang, muncul sebagai pendorong tunggal terbesar hilangnya mangrove, menyumbang 26% dari total penurunan global antara tahun 2000 dan 2020.
Kegiatan budidaya udang ini, seperti dilansir Earth.org, memerlukan pembukaan lahan hingga ribuan hektar untuk pembuatan kolam buatan, yang umumnya hanya beroperasi selama dua hingga lima tahun, memberikan pekerjaan sementara dengan upah rendah bagi masyarakat lokal, dan pada akhirnya meninggalkan lanskap yang tercemar, terdegradasi, serta tidak subur yang tidak lagi mampu mendukung jenis pertanian apa pun.
Selain itu, hutan mangrove juga ditebang demi memberi ruang bagi tanaman pertanian yang dianggap lebih menguntungkan, seperti padi dan kelapa sawit.
Indonesia, negara yang menjadi rumah bagi lebih dari 20% mangrove dunia, ironisnya juga memimpin secara global dalam deforestasi mangrove, di mana sekitar 1.739 kilometer persegi area mangrove hilang antara tahun 1996 dan 2020 untuk memberi ruang bagi perkebunan kelapa sawit dan pembangunan pesisir di berbagai wilayahnya.
Pembukaan mangrove untuk budidaya padi juga semakin meluas di Asia Tenggara dan diperkirakan menyumbang 13% dari total kerugian global pada tahun 2024. Secara global, lebih dari 50% area mangrove yang tersisa saat ini dianggap terancam oleh dampak aktivitas manusia dan sangat rentan terhadap dampak terkait perubahan iklim, termasuk badai yang semakin sering dan intens serta kenaikan permukaan air laut.
Baca Juga: Kemitraan dan Pendanaan Berkelanjutan: Kunci Sinergi Konservasi dalam Mangrove Breakthrough
Pusat Penyimpanan Karbon yang Andal
Diakui sebagai salah satu sumber daya alam paling efisien dalam menangkap dan menyimpan karbon, mangrove memiliki kemampuan unik ini berkat proses pertumbuhan tahunannya yang sangat cepat.
Selama fotosintesis, mangrove menyerap sejumlah besar karbon dioksida dari atmosfer dan air untuk menghasilkan glukosa, yang mendukung perkembangan daun, batang, dan akar; sebagian besar karbon yang terserap kemudian tersimpan secara efektif di dalam tanah yang terendam air, sebuah lingkungan yang kekurangan oksigen.
Tanpa kehadiran oksigen yang memadai, materi tumbuhan terurai jauh lebih lambat, memungkinkan karbon untuk tersimpan dalam materi tumbuhan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun.
Diperkirakan lebih dari 6,4 miliar ton karbon tersimpan di hutan mangrove, jumlah yang setara dengan 4,5 kali emisi karbon tahunan dari seluruh perekonomian Amerika Serikat.
Benteng Pertahanan Pesisir
Berfungsi sebagai pelindung alami yang tangguh dari berbagai bahaya alam, termasuk badai, tsunami, dan erosi, mangrove memiliki sistem perakaran yang padat dan saling terkait. Akar-akar ini sangat efektif dalam mengurangi kecepatan dan tinggi gelombang, sehingga secara signifikan mengurangi kerusakan dan dampak banjir yang diakibatkan oleh gelombang badai.
Sebuah laporan penting yang dirilis pada tahun 2014 oleh The Nature Conservancy dan Cambridge University menemukan bahwa bahkan hutan mangrove yang masih muda dan berukuran kecil pun sudah mampu memberikan manfaat pertahanan pesisir yang signifikan.
Secara spesifik, studi tersebut menyimpulkan bahwa hanya 100 meter lebar hutan mangrove dapat mengurangi tinggi gelombang sebesar 13-66%, sementara ratusan meter dibutuhkan untuk mengurangi kedalaman banjir tsunami sebesar 5-30%, dan ribuan meter diperlukan untuk mengurangi dampak banjir secara lebih efektif.
Tak perlu diragukan lagi, berkurangnya dampak badai ini sangat menguntungkan populasi yang tinggal di wilayah pesisir.
Sebuah studi pada tahun 2020 bahkan menemukan bahwa mangrove secara global memberikan manfaat perlindungan banjir senilai lebih dari AS$65 miliar per tahun, dan studi yang sama juga memperkirakan bahwa tambahan 15 juta orang di seluruh dunia akan mengalami banjir setiap tahun jika hutan mangrove hilang sepenuhnya.
Baca Juga: Blue Carbon: Gara-gara Mikroplastik, 'Keperkasaan' Mangrove Bakal Terganggu
Wilayah tenggara Amerika Serikat menjadi salah satu penerima manfaat terbesar dari pertahanan pesisir alami ini, mengingat tingginya frekuensi badai dan kepadatan populasi pesisirnya yang signifikan.
Sebuah analisis pada tahun 2019 mengenai kerusakan properti dan kerugian ekonomi terkait badai di Florida dalam skenario "dengan mangrove" dan "tanpa mangrove" menemukan bahwa properti yang berada di belakang hutan mangrove mengalami kerusakan akibat banjir 25,5% lebih sedikit dibandingkan properti yang tidak terlindungi.
Properti yang terlindungi oleh mangrove selama Badai Irma yang dahsyat pada tahun 2017 berhasil menghindari kerugian akibat banjir gelombang badai senilai AS$1,5 miliar.
Habitat Vital bagi Flora dan Fauna
Lebih dari 1.500 spesies tumbuhan dan hewan sangat bergantung pada ekosistem mangrove untuk mendapatkan habitat, sumber makanan, dan perlindungan dari predator. Angka ini termasuk lebih dari 200 spesies yang saat ini berstatus terancam punah, seperti bekantan yang terancam punah dan Finch Mangrove yang statusnya sangat terancam punah.
Finch Mangrove, salah satu spesies burung finch yang terkenal dipelajari oleh Charles Darwin, memiliki total populasi hanya sekitar 100 individu; seluruh populasi Finch Mangrove yang tersisa di dunia saat ini hanya ditemukan di hutan mangrove di satu pulau tertentu di Kepulauan Galapagos.
Upaya Konservasi
Aksi global untuk melestarikan dan memulihkan hutan mangrove semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, yang diadopsi oleh 196 negara pada tahun 2022, mencakup janji penting untuk memastikan bahwa minimal 30% dari area ekosistem pesisir yang terdegradasi berada di bawah restorasi yang efektif pada tahun 2030.
Laporan Penilaian terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara tegas mencantumkan perlindungan dan restorasi ekosistem karbon biru, termasuk mangrove, sebagai tindakan penting untuk meningkatkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
Selain itu, Global Mangrove Alliance, sebuah aliansi yang terdiri dari organisasi nirlaba lingkungan utama, telah menyerukan target ambisius untuk menggandakan jumlah hutan mangrove yang dilindungi, dari 40% menjadi 80% dari total area yang tersisa, pada tahun 2030.
World Wildlife Fund meluncurkan inisiatif "Mangroves for Community and Climate" pada tahun 2018 dengan tujuan melindungi, memulihkan, dan memperkuat pengelolaan seluas 2,47 juta hektar hutan mangrove di empat negara: Meksiko, Madagaskar, Fiji, dan Kolombia. Proyek berskala besar ini bertujuan untuk mengamankan penyimpanan 2 miliar ton karbon dan melindungi 300.000 orang dari dampak badai dan erosi pesisir.
Upaya restorasi mangrove juga telah berhasil diselesaikan dengan fokus pada tingkat lokal. Antara tahun 2021 dan 2023, Komisi Margasatwa dan Perikanan Florida, Departemen Perlindungan Lingkungan Florida, dan pemerintah kota Marco Island menyelesaikan proyek restorasi mangrove terbesar dalam sejarah Florida.
Proyek ini berhasil memulihkan 200 hektar hutan mangrove dan membuka kembali lahan basah yang sangat penting bagi ikan dan satwa liar di Cagar Alam Estuari Nasional Rookery Bay.
Baca Juga: Krill, Makhluk Mini yang Sanggup Simpan Karbon Sebanyak Lamun dan Mangrove
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR