Sebagian besar aspek identitas seseorang bukanlah sesuatu yang mereka miliki sejak lahir. Menurut Adams, seseorang harus menjalankan identitas sepanjang hidupnya. Pengalaman hidup tersebut, termasuk perilaku seperti memegang busur dan anak panah atau berlutut untuk menggiling gandum yang sering kali dikaitkan dengan jenis kelamin, dapat meninggalkan bekas pada kernagka kuno yang dapat mengaburkan masalah, terutama karena tidak dapat memahami budaya masa lalu secara sempurna.
Kompleksitas seks dan gender berarti bahwa terkadang interpretasi arkeolog salah. Contohnya, di Pompeii, analisis DNA mengungkapkan bahwa sekumpulan kerangka yang diasumsikan sebagai seorang ibu dan anak kandungnya sebenarnya adalah seorang laki-laki dan anak yang tidak ada hubungannya.
Contoh lainnya, pada tahun 2019, sebuah pemakaman Viking yang lengkap dengan senjata ditemukan secara kromosom berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki.
Meskipun analisis DNA dapat secara dramatis meningkatkan keakuratan penetapan jenis kelamin kromosom, hal itu tidak serta-merta berarti para arkeolog telah memecahkan masalah perkiraan jenis kelamin dari sisa-sisa manusia purba.
Masalah lainnya adalah bahwa para arkeolog masih kekurangan informasi tentang kondisi interseks karena belum banyak penelitian tentang kemungkinan 1 dari 50 orang yang mengalaminya.
Best mengatakan kemajuan ilmiah telah mempermudah penentuan aspek-aspek terbatas dari jenis kelamin dari kerangka purba, tetapi mencari tahu identitas seseorang dari kerangkanya sebenarnya jauh lebih rumit daripada yang pernah kita duga.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR