Panggilan keluhan juga menunjukkan bahwa kota seperti Oakland, Buffalo, Chicago, Boston, Kansas City, dan Cincinnati mengalami peningkatan populasi tikus, meskipun tidak sekuat lima kota teratas.
Selain faktor perubahan iklim, para peneliti menemukan bahwa urbanisasi dan pertumbuhan populasi manusia juga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tikus. Studi ini turut meneliti apakah kekayaan suatu wilayah atau suhu minimum mempengaruhi populasi tikus, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik.
Menariknya, tiga kota dalam studi ini justru menunjukkan penurunan populasi tikus dari tahun ke tahun: New Orleans, Louisville (Kentucky), dan Tokyo.
New Orleans menjadi kota satu-satunya dalam daftar yang beriklim sub-tropis. Namun, Richardson mengatakan bahwa penurunan jumlah tikus di kota tersebut kemungkinan besar bukan karena faktor suhu, melainkan pendekatan aktif kota terhadap pengelolaan hama.
“Mereka punya tim pengendali tikus yang cukup besar dan fokus pada kampanye edukasi untuk memberi tahu warga bagaimana membuat lingkungan rumah mereka kurang menarik bagi tikus,” ujarnya.
Sementara itu, keberhasilan Tokyo diyakini berkaitan dengan faktor budaya.
“Standar sanitasi mereka sangat tinggi, dan menurut rekan penulis kami, Yasushi Kiyokawa, masyarakat di sana cenderung langsung melaporkan jika melihat tikus atau tikus kecil di tempat usaha makanan—biasanya lewat media sosial,” kata Richardson.
Koeksistensi dengan Tikus
“Coyote lebih banyak memakan tikus di wilayah yang memiliki banyak restoran,” ujar Tali Caspi, ahli ekologi perkotaan dari University of California, Davis. “Kami memang cenderung menemukan lebih banyak tikus di area yang dipenuhi restoran karena limbah makanan di sana sangat melimpah.”
Menariknya, hanya berjarak jalan kaki dari wilayah tersebut, coyote lainnya justru bertahan hidup dari sumber makanan manusia langsung—menunjukkan bahwa ekosistem kota sangat beragam dan sulit disederhanakan dalam satu kesimpulan umum.
Caspi mengapresiasi metode para peneliti dalam memanfaatkan data panggilan masyarakat saat observasi langsung terhadap tikus sulit dilakukan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa banyak faktor lain dapat memengaruhi siapa yang melaporkan keberadaan tikus dan seberapa sering laporan itu muncul—termasuk ketimpangan sosial ekonomi dan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Meski begitu, Caspi menekankan pentingnya upaya ilmiah dalam mengurai kerumitan lingkungan perkotaan, terutama untuk memahami interaksi antara predator dan mangsa jika kita ingin hidup berdampingan dengan satwa kota secara aman.
“Saya rasa penting untuk selalu diingat bahwa tikus adalah spesies yang sangat tangguh—mereka mampu menyebar ke seluruh dunia dan bertahan hidup luar biasa baik di tengah kehidupan manusia,” ujar Richardson. “Kita sedang berhadapan dengan spesies yang benar-benar lawan yang sepadan.”
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR