Celsus memperingatkan, “Anda tidak dapat beralih dari kelelahan berlebihan ke istirahat tiba-tiba. Atau dari istirahat panjang langsung ke kelelahan tanpa efek buruk yang serius.”
“Bahkan ketika beralih dari musim ke musim dan meningkatkan olahraga,” tulis Diocles, dalam Regimen for Health, “Anda harus menaikkannya perlahan-lahan dan berhati-hati agar tidak berlebihan.”
Menariknya, penelitian modern setuju dengan apa yang diyakini orang dahulu. Bahwa perubahan gaya hidup yang kecil dan bertahap jauh lebih efektif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. “Daripada perubahan besar dan tiba-tiba,” tambah Moss.
Perang pola makan di zaman modern
Dokter-dokter modern memperdebatkan nilai gizi berbagai jenis lemak. Sementara itu, para ahli kuno tidak sepakat tentang bahan-bahan seperti lentil. Lentil diagungkan oleh para filsuf Stoik seperti Zeno dari Citium dan Musonius Rufus. Mereka menganggap pola makan lebih banyak tentang pengendalian diri dan menghindari makanan asing yang berlebihan.
Dalam On Keeping Well, penulis Yunani Plutarch berpendapat bahwa tidak seorang pun boleh menyimpang terlalu jauh dari pola makan lentil yang sederhana. Pasalnya. Bahan-bahan yang lebih murah selalu lebih sehat bagi tubuh.
“Namun bagi banyak dokter Romawi,” kata Bubb, “lentil dianggap sangat tidak sehat.” Dioscorides mengeklaim tentang hal ini dalam Medical Substances-nya. Menurutnya, lentil, jika dimakan terus-menerus, menyebabkan penglihatan kabur, pencernaan yang buruk, sakit perut, gas dan sembelit di usus.
Demikian pula, sementara kebanyakan orang memuji manfaat kubis sebagai semacam obat mujarab untuk semua penyakit, yang lain tidak setuju. “Kubis,” tulis Cato the Elder, “adalah sayuran yang melampaui semua yang lain.” Kubis dapat dimakan mentah atau dimasak, dan ditaburi cuka, kubis menyehatkan perut. Kubis bahkan menghasilkan urine yang memiliki khasiat obat. Dimakan sebelum pesta, tambahnya, kubis dapat membantu mencegah mabuk dan gangguan pencernaan akibat makan berlebihan. Kubis tidak hanya membersihkan tubuh tetapi juga menjernihkan pikiran.
Tiga abad kemudian, Galen tidak setuju. Galen mengakui bahwa kubis memiliki khasiat pembersih. Namun, menurut Galen, kubis jelas bukan makanan sehat, seperti selada. Kubis memiliki sari yang merusak dan berbau tidak sedap.
Puasa dan lemak baik
Beberapa aspek dari nasihat diet kuno secara mengejutkan sesuai dengan tren dan filosofi gaya hidup modern. Sejak abad kelima SM, kata Bubb, teks Hipokrates menyarankan orang untuk mencoba puasa berselang. Ia juga menyarankan untuk latihan silang dengan berlayar, berburu, dan berjalan di berbagai medan. Serta mengonsumsi makanan berlemak tinggi (seperti mentega, keju domba, dan minyak zaitun) untuk menurunkan berat badan.
“Hidangan harus mengandung banyak lemak,” tulis Hipokrates “agar pelaku diet merasa kenyang setelah makan dalam jumlah yang sedikit.”
Kini, para ilmuwan sepakat bahwa, dalam lingkungan yang terkendali, lemak memang memengaruhi rasa kenyang.
Namun, tidak semua saran tersebut tampak praktis—atau bahkan aman—bagi mereka yang peduli kesehatan saat ini. Kisaran perawatan medis yang relatif terbatas membuat dokter Hipokrates sering merekomendasikan pembersihan rutin. Ia menyarankan anggur bagi orang-orang dari segala usia (meskipun diencerkan). Waktu yang dihabiskan untuk mandi dan dipijat, yang diresepkan sebagai bagian dari rejimen umum untuk menjaga kesehatan. Meski terdengar menarik, saran-saran itu mungkin menyulitkan untuk mempertahankan jam kerja modern.
Lalu, ada hal-hal yang aneh. Ketertarikan kuno pada kubis, yang hampir menjadi obat universal bagi banyak orang di sekitar Mediterania kuno, tampaknya cukup tidak berbahaya. Namun, Bubb mencatat bahwa pendapat medis kuno lainnya lebih meragukan. Contohnya seperti gagasan bahwa kemangi yang membusuk secara spontan mengundang kalajengking. Lalu bahwa makan terlalu banyak buah ara menyebabkan kutu rambut. Serta buah pada umumnya sangat buruk bagi Anda. Atau bahwa berjalan-jalan tanpa busana adalah strategi penurunan berat badan yang baik.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR