Nationalgeographic.co.id—Dinosaurus yang memiliki badan besar, sangar, dan terlihat ganas, ternyata memiliki musuh yang juga terkenal mematikan. Musuh predator ini sering kali memangsa bayi-bayi dinosaurus yang lengah.
Bagaimana predator mematikan ini bisa hidup berdampingan dengan dinosaurus? Penelitian terbaru yang hasilnya diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE pada 9 Oktober 2024 berjudul “New enantiornithine diversity in the Hell Creek Formation and the functional morphology of the avisaurid tarsometatarsus” mengungkapkan bahwa dinosaurus seperti Triceratops dan Tyrannosaurus rex berasal dari ekosistem yang sama dengan predator tersebut.
Berdasarkan penelitian, ada dua spesies burung predator baru yang ditemukan dari Formasi Hell Creek, tepatnya berlokasi di Dakota, Montana, dan Wyoming. Di antara spesimen temuan Triceratops dan Tyrannosaurus rex (termasuk juga SUE, salah satu spesimen T. rex terbesar, terlengkap, dan terawetkan dengan baik yang pernah ditemukan), masih ada satu lagi spesimen yang menarik perhatian peneliti, yaitu Avisaurus darwini.
Avisaurus darwini adalah salah satu dari burung prasejarah yang bertahan hidup sebagai predator. Ada dua spesies sejenis burung ini yang hidup berdampingan dengan dinosaurus 68 juta tahun yang lalu.
Para peneliti menamai spesies baru ini hanya berdasarkan satu tulang masing-masing: tulang kaki yang kuat yang menunjukkan bahwa burung-burung ini dapat menangkap dan membawa mangsa.
"Berdasarkan petunjuk pada tulang kaki mereka, kami menduga burung ini mampu menangkap dan membawa mangsa, mirip dengan apa yang dilakukan elang atau burung hantu modern," kata Alex Clark, mahasiswa PhD di Field Museum dan Universitas Chicago sekaligus penulis utama studi tersebut.
Ia juga menambahkan, "Meskipun mereka mungkin bukan burung predator pertama yang berevolusi, fosil mereka merupakan contoh burung predator paling awal yang diketahui."
Tiga fosil yang diteliti Clark dalam makalah ini telah dikumpulkan dalam beberapa tahun terakhir oleh para peneliti di lembaga lain, tetapi belum banyak penelitian yang dilakukan terhadapnya.
Ketika Clark pertama kali melihat fosil tersebut, fosil tersebut tidak terlalu mencolok—semuanya adalah tulang kaki tempat jari-jari kaki menempel, yang disebut tarsometatarsus, dan fosil tersebut ditemukan sendiri, tanpa bagian tubuh lain yang lebih mencolok seperti tengkorak dan cakar.
Meskipun tulang tersebut berukuran besar untuk tarsometatarsus burung, ukurannya tetap hanya sebesar ibu jari manusia dewasa. Namun, tulang-tulang yang terisolasi ini terbukti menjadi harta karun informasi yang berharga.
Baca Juga: Apakah Burung Keturunan Dinosaurus? Ini Jawaban Ahli Paleobiologi
“Setiap sudut, celah, dan tonjolan yang muncul pada tulang dapat memberi tahu kita sesuatu tentang tempat otot atau tendon menempel dan seberapa besar ukurannya,” kata Clark. Pada tulang-tulang ini, terdapat tonjolan yang sangat penting, titik perlekatan otot yang disebut tuberkel. Pada setiap tulang, tonjolan tersebut lebih besar dan lebih jauh ke bawah daripada pada kebanyakan burung.
"Ketika kita melihat tuberkel sebesar ini dan sejauh ini pada burung modern, itu ada pada burung pemangsa seperti burung hantu dan elang," kata Clark.
"Hal itu karena ketika mereka berburu dan mengambil mangsanya dengan kaki mereka, mereka mengangkat benda yang beratnya proporsional dan memegangnya dekat dengan tubuh mereka agar tetap seefisien mungkin secara aerodinamis. Tulang pergelangan kaki fosil ini sepertinya dibuat untuk melakukan hal yang serupa."
Dari tiga tulang kaki itu, Clark dan timnya mendeskripsikan dua spesies baru kepada sains: Avisaurus darwini, yang diambil dari nama Charles Darwin, dan Magnusavis ekalakaenis, yang diambil dari nama kota Ekalaka, Montana, tempat fosil itu ditemukan.
Tulang ketiga mungkin merupakan spesies baru lainnya, tetapi kondisi fosil yang rusak membuatnya sulit untuk dipastikan.
Semua burung ini merupakan bagian dari kelompok yang disebut avisauridia. Mereka termasuk dalam kelompok burung besar yang disebut enantiornithines, yang punah bersama sebagian besar dinosaurus lainnya ketika asteroid menghantam 66 juta tahun yang lalu.
Penelitian ini meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan burung prasejarah dan mekanisme bertahan hidup mereka melalui kepunahan massal.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR