Nationalgeographic.co.id—“Saya trauma selama hampir sebulan,” ujar Karsini mengenang peristiwa macan tutul jawa menerkam kambing peliharaannya. Kejadian pada 2020 lalu di lereng Gunung Muria itu masih membekas dalam kepalanya.
Peristiwa itu persisnya terjadi di Desa Plukaran, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Gunung Muria—yang wilayahnya meliputi tiga kabupaten: Kudus, Pati, dan Jepara—adalah habitat bagi setidaknya 14 individu macan tutul jawa yang tersisa.
Perambahan hutan dan alih fungsi lahan di Muria telah menggerus habitan spesies yang terancam punah itu. Akibatnya, macan tutul jawa juga kerap menyatroni area permukiman warga. Menyambar ternak mereka.
Menurut catatan Teguh Budi Wiyono, Ketua Penggiat Konservasi Muria (PEKA Muria), konflik antara macan tutul jawa dan manusia di wilayah Muria dari tahun ke tahun kian meningkat. Dalam dua bulan, jumlah korban bisa mencapai delapan ekor kambing warga.
“Jadi setiap ada konflik itu warga laporkan ke kami [PEKA Muria],” ujar Teguh pada Maret lalu. “Itu mungkin karena mereka enggak tahu [Balai Konservasi Sumber Daya Alam/BKSDA] atau mungkin karena mereka lebih dekat dengan kami, akhirnya kami dianggap menjadi BKSDA swasta.”
“Ketika macan tutul sudah berkonflik dengan manusia, ini sebuah alarm bagi kita bahwa ‘macan tutul sedang tidak baik-baik saja’, bahwa alam sedang terjadi disharmoni,” ujar Profesor Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN.
Korban konflik ini bukan hanya ternak warga. Macan tutul jawa—yang sejatinya telah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia—pun menjadi tumbal. Apalagi ditambah dengan adanya praktik perburuan.
Setelah harimau jawa dinyatakan punah pada 1980-an, macan tutul jawa sebagai satu-satunya predator puncak yang tersisa di daratan Jawa makin rentan menjadi sasaran. Menurut arsip data Didik Raharyono, ahli biologi hidupan liar dan Direktur Peduli Karnivor Jawa, selama 2000-2023 setidaknya terdapat tiga kasus macan tutul jawa yang mati karena pemburu di Muria.
Melindungi Hutan, Mengatasi Perselisihan
PEKA Muria, kelompok yang didirikan dan beranggotakan warga terutama pemuda setempat, berusaha melindungi macan tutul jawa dan habitatnya melalui berbagai program kegiatan. Salah satunya adalah patroli hutan.
Mereka rutin masuk hutan Muria dan berkeliling untuk memantau kondisi rimba. Mereka berusaha mengadvokasi para pemburu dan perambah hutan agar insaf dan tak mengulangi perbuatan mereka.
Baca Juga: Festival Menombak Macan dalam Tradisi Rampogan Tahun 1890-1925
“Kegiatan PEKA Muria banyak. Ada pemulihan kawasan hutan, ada pemantauan macan tutul, ada pemantauan binatang lainnya, termasuk yang sekarang ini dari kami lakukan adalah pemulihan mata air,” beber Teguh.
Warga yang didukung sebuah yayasan peduli lingkungan di Kota Kudus telah mengupayakan pemulihan mata air melalui penanaman pohon-pohon di sekitar kawasan mata air. Akar pohon yang ditanam diharapkan mampu menyerap dan menyimpan banyak air untuk pasokan mata air serta mengikat lapisan tanah sehingga bisa mencegah terjadinya banjir dan longsor akibat.
“Kami sadar bahwa kami lahir di Muria, hidup di Muria, dan akan mati di Muria, makanya bagaimana supaya Muria tetap lestari,” tegas Teguh yang lahir besar di Desa Colo, Kabupaten Kudus, di lereng Muria. Sejak 2004 Teguh getol menanam pohon di lahan gundul sekitar mata air Gunung Muria dengan harapan air bersih dari Gunung Muria yang mengalir ke desanya bisa deras kembali.
Sebelumnya, Teguh gelisah karena debit aliran air bersih dari Gunung Muria yang mengalir ke rumahnya kian berkurang, mengancam ketahan air keluarganya dan penduduk lain di sekitarnya. Teguh kemudian mendaki ke atas Gunung Muria, mengecek mata air di sana, dan mengamati kondisi hutan di sekitarnya.
Dia menyadari bahwa penyebab surutnya aliran air dari mata air Muria adalah deforestasi. Banyak orang tak bertanggung jawab telah menebang pohon-pohon di hutan Muria, menjual hasil kayunya dan/atau mengubah lahannya menjadi perkebunan monokultur seperti kopi.
Pembalakan liar dan penjarahan lahan hutan Muria memang berlangsung besar-besaran selama periode peralihan kekuasaan dari era Orde Baru ke reformasi. Dalam periode antara 1990 hingga 2006, Gunung Muria setidaknya telah kehilangan 85,5% hutan alamnya.
Sebelum Teguh, ternyata sudah ada orang lain yang getol menanam pohon di hutan Muria. Namanya Mohammad Shokib Garno Sunarno. Sejak 1999 Shokib telah mendirikan Perkumpulan Masyarakat Pelindung Muria (PMPH Muria).
Memiliki keprihatinan yang sama atas kondisi hutan Muria yang gundul, Shokib dan Teguh pun saling bertukar pikiran. Teguh akhirnya bergabung dengan PMPH Muria hingga pada 2021 Shokib wafat dan akhirnya organisasi itu meredup lantaran kehilangan induk. Pada 2023, Teguh mendirikan PEKA Muria demi menjalankan wasiat Shokib untuk terus melanjutkan perjuangan menjaga dan melestarikan Gunung Muria.
Teguh meyakini bahwa memulihkan dan menjaga kelestarian Gunung Muria merupakan amanah yang harus ia jaga bersama sebanyak mungkin orang. “Melestarikan Muria itu bagi kami bukan hanya tugas, tapi sebagai ibadah, karena sesuai dengan moto yang diwariskan oleh Pak Shokib: ‘Hutan adalah amanah, menjaganya adalah ibadah.’ Jadi kami niati ibadah, karena saat kami melindungi hutan, melindungi alam, maka alam dan hutan akan melindungi kami. Itu alasan utama yang harus kami jaga terus-menerus, untuk kami wariskan ke anak cucu kami.”
“Saya mengapresiasi upaya-upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal, apalagi oleh para generasi muda,” ujar Hendra, satu-satunya ilmuwan Indonesia yang punya profesor riset dalam bidang konservasi macan tutul jawa. “Ini sejalan dengan amanat UU 32 Tahun 2024, disebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah serta masyarakat.”
“Ke depan memang masyarakat dan pemerintah daerah lebih didorong dan diberi kesempatan untuk melakukan upaya-upaya konservasi, serta memperoleh manfaat dari konservasi itu. Menurut saya, inisiatif yang baik ini perlu direplikasi di tempat lain, terutama dalam konteks melindungi hutan untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari.”
Manfaat dari kegiatan konservasi yang dilakukan PEKA Muria mulai dirasakan oleh banyak warga setempat. Mereka, antara lain, merangkul sebanyak mungkin petani kopi agar sudi berkebun di lahan yang sama dan berhenti merambah lahan lain. Mereka mengajarkan petani cara meningkatkan produktivitas pohon kopi dan menerapkan praktik bertani secara berkelanjutan.
“Akhirnya mereka sadar bahwa dengan lahan yang sama, dengan perkebunan yang sama, bisa menghasilkan lebih. Akhirnya mereka mulai tidak merambah lagi,” kata Teguh. “Sampai saat ini ada sekitar 500 petani yang menjadi mitra kami. Dan pengalaman yang paling berkesan, setiap kami ketemu itu mereka langsung respek kepada kami. Yang dulu mungkin mereka melihat kami sebagai musuh karena kami melarang merambah, tapi sekarang mereka melihat kami sebagai teman.”
Selain menghimpun dan melatih para petani kopi, PEKA Muria juga menjalankan program wisata edukasi kopi bagi para pelancong di Muria. Pengunjung diajak ke perkebunan dan gudang pengolahan kopi. Kegiatan wisata ini turut menambah pemasukan bagi petani yang terlibat.
Sunarman, petani kopi di Muria, mengatakan, “Kadang-kadang di luar negeri ada datang ingin tahu keadaan kopi. Kadang-kadang dari mahasiswa sendiri itu datang untuk mempelajari bagaimana pengelolaan kopi.”
Teguh ingin mengingatkan sebanyak mungkin warga agar sadar bahwa Gunung Muria adalah kehidupan. “Karena saat mereka melindungi Muria, itu banyak manfaat yang bisa diperoleh. Makanya bagaimana kami menyadarkan masyarakat, dengan tidak merambah hutan, mereka bisa memperoleh manfaat itu. Yang kami lakukan di Colo khususnya, dengan melakukan edukasi wisata konservasi, ternyata kami bisa. Kami tidak memperoleh penghasilan dari kayunya, tapi kami bisa memperoleh penghasilan dari wisatanya.”
Selain menghadirkan wisata edukasi kopi Muria, PEKA Muria juga menjalankan wisata edukasi parijoto, wisata konservasi, wisata edukasi macan tutul jawa. Dalam wisata edukasi macan tutul jawa, pelancong diajak masuk hutan untuk belajar menelusuri jejak kaki macan, mencari fesesnya, mempelajari cara pemasangan kamera jebak dalam hutan, dan melihat hasil rekaman kamera tersebut.
“Di tahun 2020 ada 14 individu yang tertangkap di kawasan. Ada dua anakan lagi, tapi tidak kami ikutkan di individu yang terekam, karena belum tentu hidup sampai dewasa,” jelas Teguh terkait jumlah populasi macan tutul jawa yang tersisa di Muria.
“Tahun 2022 sampai 2025, kami bekerja sama lagi dengan SINTAS Indonesia. PEKA Muria itu memantau di 40 titik kamera di Kudus, Jepara, dan Pati di Pegunungan Muria. Dari hasil 40 titik pemantauan itu, juga masih terekam 14 individu yang masih melintas.”
Teguh meyakini bila warga Muria senantiasa melindungi macan tutul jawa, satwa predator puncak itu juga akan melindungi hutan dan segala isinya untuk mereka. Kendati demikian, Teguh mewanti-wanti juga hal sebaliknya, “Dan di saat macam tutulnya nanti sudah habis, maka yang lain akan terus punah.”
Simak kisah Pusparagam Muria dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2025, sebuah sudut pandang penyusuran jati diri budaya yang ditautkan pada upaya pelestarian.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR