Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim tidak hanya mencairkan es di Kutub Utara—ia juga menggeser lokasinya. Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa Kutub Utara diperkirakan akan bergeser sejauh 30 meter ke arah barat pada akhir abad ini.
Pergeseran itu terjadi akibat redistribusi massa di Bumi yang dipicu oleh mencairnya es dan naiknya permukaan laut. Pergeseran ini menjadi salah satu sinyal kuat bahwa perubahan iklim bukan hanya berdampak secara horizontal, tetapi juga mengubah sumbu rotasi planet kita.
Pencairan es secara drastis akibat perubahan iklim diperkirakan dapat menggeser letak geografis kutub Bumi dalam beberapa dekade mendatang. Dalam studi yang dipublikasikan pada 5 Maret 2025 di jurnal Geophysical Research Letters, para peneliti menyebut bahwa Kutub Utara dan Kutub Selatan bisa bergeser hingga 27 meter (sekitar 89 kaki) pada tahun 2100, seiring dengan pergeseran sumbu rotasi planet ini.
Pergeseran ini diperkirakan dapat berdampak pada navigasi satelit dan wahana antariksa. Saat Bumi berputar, perubahan distribusi massanya dapat menyebabkan Bumi "bergoyang" pada porosnya, mirip seperti gasing yang kehilangan keseimbangan.
Beberapa goyangan ini bersifat reguler dan bisa diprediksi—misalnya yang disebabkan oleh perubahan tekanan atmosfer atau arus laut. Namun, sebagian lainnya berasal dari interaksi antara inti dan mantel Bumi.
Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa mencairnya es di kutub juga dapat memengaruhi distribusi massa dan ikut menggeser posisi kutub. Dalam penelitian terbaru ini, tim peneliti dari ETH Zurich menganalisis pergerakan kutub dari tahun 1900 hingga 2018, lalu memproyeksikan seberapa jauh kutub akan bergeser di bawah berbagai skenario perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam skenario terburuk emisi gas rumah kaca, Kutub Utara bisa bergeser lebih dari 27 meter ke arah barat pada tahun 2100.
Bahkan dalam skenario yang lebih optimis, pergeseran masih bisa mencapai 12 meter dibandingkan posisinya pada tahun 1900. Air lelehan dari lapisan es di Greenland dan Antarktika menjadi faktor utama dalam simulasi ini, disusul oleh pencairan gletser.
Gletser adalah sebuah bongkahan atau endapan es yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah yang merupakan akibat akumulasi endapan salju atau es yang mengeras dan membatu selama kurun waktu tertentu yang sangat lama. Saat ini, es abadi menutupi sekitar 10 persen daratan yang ada di bumi.
“Dampak ini bahkan sedikit melampaui efek glacial isostatic adjustment, yaitu naiknya permukaan daratan setelah tekanan dari es zaman es menghilang,” ujar Mostafa Kiani Shahvandi, ilmuwan kebumian yang kini bekerja di University of Vienna.
Dengan kata lain, permukaan Bumi pernah turun akibat beban es ribuan tahun lalu dan perlahan naik kembali setelah es tersebut mencair—proses ini mengubah distribusi berat di kerak Bumi dan menyebabkan kutub bergeser. “Artinya, dampak aktivitas manusia saat ini bahkan telah menyebabkan pergeseran kutub yang melebihi pengaruh zaman es,” tambah Kiani Shahvandi.
Baca Juga: Sungai Tersembunyi di Antarktika Jadi Kunci Merespon Krisis Iklim
Potensi gangguan terhadap navigasi satelit
Pergeseran sumbu rotasi Bumi ini dapat mengacaukan sistem navigasi satelit dan wahana antariksa. Menurut Kiani Shahvandi, para ilmuwan menggunakan sumbu rotasi Bumi sebagai acuan dalam memetakan posisi pesawat luar angkasa. Jika sumbu ini bergeser dari waktu ke waktu, maka akan semakin sulit menentukan lokasi yang tepat.
Langkah selanjutnya, kata Kiani Shahvandi, adalah menganalisis data paleoklimat untuk mengetahui seberapa besar pergeseran kutub yang pernah terjadi selama jutaan tahun akibat perubahan iklim alami.
Hal ini dapat membantu mengungkap sejauh mana dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia terhadap pergerakan kutub Bumi.
Perubahan poros Bumi
Sementara itu, penelitian sebelumnya telah mengungkap bahwa perubahan iklim telah memengaruhi posisi kutub Bumi setidaknya sejak tahun 1990-an.
Putaran Bumi pada porosnya sebagian ditentukan oleh distribusi massa di seluruh permukaan planet, mirip seperti putaran sebuah gasing yang dipengaruhi oleh bentuk dan keseimbangannya.
Data satelit sejak tahun 2002 telah menunjukkan bahwa perubahan iklim mengganggu distribusi massa ini, terutama karena mencairnya gletser dan lapisan es yang menyebabkan Kutub Utara dan Selatan mengalami pergeseran.
Para ilmuwan sebenarnya sudah mengamati pergeseran kutub sejak dekade 1990-an, namun saat itu belum ada data satelit yang secara langsung merekam distribusi air di seluruh dunia, sehingga penyebab pastinya sulit dipastikan.
Kini, para peneliti membandingkan berbagai kemungkinan skenario distribusi total air di planet ini dan menemukan bahwa penjelasan paling masuk akal atas pergeseran kutub di era 1990-an adalah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Pencairan lapisan es, ditambah dengan aktivitas penyedotan air tanah besar-besaran untuk kebutuhan pertanian, telah cukup mengubah distribusi massa air di Bumi hingga menyebabkan poros rotasi planet bergeser.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR