Nationalgeographic.co.id—Ketika membayangkan seorang ninja, banyak orang langsung terbayang sosok berpakaian serba hitam yang menyelinap di kegelapan malam. Namun, benarkah para ninja zaman dahulu benar-benar mengenakan pakaian seperti itu?
Menurut temuan arkeolog dan sejarawan, gambaran ninja berbalut hitam legam lebih banyak berasal dari imajinasi seni pertunjukan ketimbang fakta sejarah.
Penelitian terbaru justru mengungkap bahwa ninja memilih pakaian yang jauh lebih membumi—dan justru membuat mereka tidak mencolok di tengah masyarakat.
Untuk mengungkap fakta sejarah tersebut, Live Science menghubungi sejumlah pakar dan menelaah naskah-naskah kuno tentang ninja.
Dikenal pula sebagai shinobi, para ninja beroperasi di berbagai wilayah Jepang dengan tugas utama sebagai mata-mata, pelaku sabotase, dan dalam kasus tertentu, pembunuh bayaran. Mereka juga kadang terlibat dalam pertempuran. Asal-usul ninja memang tidak terlalu jelas, tetapi keberadaan mereka tercatat hingga akhir abad ke-19.
Soal pakaian, para ninja justru mengenakan penyamaran yang memungkinkan mereka berbaur dengan lingkungan sekitar dan tidak mencolok. “Pengintai yang mengamati perkemahan musuh biasanya memakai pakaian petani atau pedagang,” jelas Balázs Szabó, peneliti Studi Jepang di Eötvös Loránd University, Hungaria.
“Sementara mata-mata yang menyusup ke dalam kastel musuh mengenakan pakaian yang membuat mereka tampak seperti penghuni kastel itu sendiri.”
Citra ninja berpakaian serba hitam sebenarnya berasal dari teater boneka tradisional Jepang. “Kostum hitam berkerudung itu berasal dari busana seniman penggerak boneka di panggung teater Jepang,” tambah Szabó.
Pendapat senada disampaikan Eric Shahan, penerjemah teks-teks bela diri Jepang. Ia menjelaskan bahwa ninja kemungkinan besar mengenakan pakaian yang sesuai dengan tempat yang ingin mereka selusupi, lengkap dengan barang-barang keseharian.
“Berpakaian serba hitam justru akan menarik perhatian,” ujarnya melalui email.
Saat terlibat dalam pertempuran terbuka, ninja kemungkinan menggunakan baju zirah sederhana yang memungkinkan mereka bergerak lincah, menurut Iwata Akihiro, arkeolog sekaligus kurator di Museum Sejarah dan Folklor Prefektur Saitama, Jepang.
Sumber sejarah lain yang penting adalah buku Shōninki, ditulis oleh Natori Masazumi, seorang ninja yang hidup pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Buku ini berisi panduan operasi ninja, termasuk anjuran untuk bisa berganti penyamaran sesuai kebutuhan.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR