Seiring dengan perubahan yang tak terelakkan dari rel kereta api di negara tersebut, pengalaman warga Iran sangat beragam. Sebagian orang menjadi lebih mudah berpindah tempat. Sementara itu, sebagian lainnya terpaksa pindah karena pembangunan tanpa menerima kompensasi atas tanah mereka.
Warga yang tinggal di desa-desa terpencil di antara tujuan-tujuan utama, mengandalkan pendapatan dari wisatawan domestik. Namun kini warga tersebut mendapati bahwa rel kereta api sama sekali tidak melayani mereka.
“Kebanyakan warga Iran sangat membenci proyek rel kereta api pada masa itu,” kata Koyagi. Mereka membayar pajak yang tinggi, dan, selain Teheran, rute tersebut tidak melewati sebagian besar kota-kota besar. “Meskipun banyak sekali keluhan selama masa itu, saya rasa sekarang banyak warga Iran merasa sangat bangga dengan jalur kereta api.”
Pariwisata di Timur Tengah
Pasca Perang Dunia II, pariwisata di Iran berkembang pesat. Antara tahun 1967 dan 1977, Iran dianggap sebagai tujuan utama Timur Tengah. Pamornya melampaui tempat-tempat seperti Mesir, kata Morakabati.
Namun setelah Revolusi Iran pada tahun 1979, yang diikuti oleh Perang Iran-Irak, arus wisatawan yang dulunya stabil mulai berkurang. Iran pun berjuang di bawah sanksi internasional selama puluhan tahun. Sanksi itu menghancurkan ekonomi dan merusak mata pencaharian jutaan orang.
“Dibandingkan dengan belahan dunia lainnya, Timur Tengah belum mencapai potensinya,” kata Morakabati. “Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki potensi besar untuk pariwisata. Di saat yang sama, kawasan itu juga menjadi magnet bagi konflik kekerasan. Kedua hal ini saling bertentangan.”
Sebelum revolusi, Eropa Barat dan Amerika Serikat merupakan pasar pariwisata terpenting bagi Iran. Pada tahun 1977, misalnya, Iran menerima lebih dari 70.000 pengunjung Amerika. Tetapi pada tahun 2010 jumlah tersebut menyusut menjadi hanya 400.
Pasar berubah secara dramatis. Sebagian besar kedatangan internasional datang dari negara-negara tetangga termasuk Pakistan, India, Arab Saudi, Turki, dan Afghanistan. Turis-turis tersebut melakukan wisata religi dan bisnis.
Ada banyak liputan media Amerika Serikat dan Inggris tentang revolusi dan program nuklir antara tahun 1980-an dan 2010-an. Liputan tersebut memperkuat sentimen negatif tentang Iran. Ironisnya, Iran sering dicap sebagai negara anti-Barat—sesuatu yang menurut para ahli berdampak pada pariwisata.
Baca Juga: Badai Perubahan di Persia: Kronik Revolusi Iran yang Mengubah Sejarah Timur Tengah
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR