Konon, keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim para pangeran muda untuk melengkapi pendidikan mereka di kerajaan atau keluarga bangsawan asing, selaku pemuda ningrat yang dilatih dalam pengetahuan militer di usia lima atau enam tahun hingga masa remaja.
Daeng Mangalle, pangeran dari Makassar yang hidup dalam pengasingan di kerajaan Siam—tewas dalam pertempusan pada Semptember 1686—memiliki dua orang anak yang merantau ke Perancis. Dua orang pangeran muda ini adalah Daeng Ruru, 15 tahun, dan Daeng Tulolo 16 tahun.
Baca juga: Andres Escobar, Dibunuh Karena Gol Bunuh Diri Saat Piala Dunia
Kepala kantor dagang Perancis memutuskan untuk mengirim keduanya ke Perancis, dengan kapal Coche, pada akhir November 1686. Mereka tiba di Brest pada 15 Agustus 1687, dan berlabuh di Paris pada 10 September.
Louis XIV merasa wajib memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan dua orang pangeran muda tersebut karena kelas sosial mereka.
Daeng Ruru dan Daeng Tulolo pun dibaptis secara Kristen dan diberi nama kehormatan "Louis" seperti Raja Perancis. Kemudian mereka didaftarkan ke kolese jesuit di Louis le-Grand untuk belajar bahasa Perancis sebelum akhirnya diterima di sekolah tinggi Clermont.
Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah tinggi, mereka diterima di sekolah perwira angkatan laut Brest, salah satu institusi Prancis paling bergengsi—tahun 1682 menjadi cikal-bakal sekolah angkatan laut, sekolah marinir tertinggi di Prancis.
Sekolah perwira ini hanya menerima 206 calon taruna, dengan proses seleksi yang sangat ketat. Untuk bisa diterima, seorang taruna harus berusia di bawah 18 tahun dan berasal dari kalangan elit aristokrat di negaranya.
Kedua pangeran dari Makassar ini tak hanya sulit diatur, tetapi mereka juga merasa memiliki kasta tertinggi di sekolah itu—seorang Makasar berdarah biru. Mereka memandang perwira lain sama terhormatnya dan sama pintarnya dengan mereka, tetapi berasal dari kalangan yang lebih rendah.
Baca juga: Pahami 'Rambu-rambu' Agar Pertemanan Tak Rusak Karena 'Politik Kantor'
Daeng Ruru
Daeng Ruru lulus sebagai perwira angkatan laut di usia 19 tahun, hanya selang dua tahun ia bersekolah. Ia menyandang pangkat letnan muda (setara dengan letnan di angkatan darat), dan berusia 20 tahun saat menjadi letnan angkatan laut (setara dengan kapten angkatan darat).
Untuk dapat mencetak karir yang bagus, Daeng Ruru membutuhkan dukungan harta selain menjadi seorang yang cerdas—karena itu tunjangan keuangan dari kerajaan kepada Daeng Ruru merupakan hal yang sangat penting.
Pada 3 Januari 1707, pangeran muda dengan nama Louis Pierre Makassar ini bertugas di kapal Jason—kapal dengan 54 meriam—dengan tugas memburu kapal penyerang Belanda Vlisingen. Tak lama setelah itu, ia bertugas di kapal Grand yang mengambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada 19 Oktober 1707, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Namun, pangeran dari Makassar itu meninggal pada 19 Mei 1708, entah perkara kehormatan atau hutang judi.
Daeng Tulolo
Setelah mengetahui kematian Daeng Ruru, Daeng Tulolo, alias Louis Dauphin Makassar, kembali ke Makassar untuk mengambil alih takhta moyangnya. Untuk pulang, Raja Perancis mengizinkan Daeng Tulolo menggunakan kapal raja.
Daeng Tulolo amat menekuni agama Katolik. Bahkan sebelum meninggalkan Paris, ia membuat sebuah gambar yang dipersembahkan untuk Perawan Suci Maria, dan mendirikan ordo yang disebut "Bintang"—para satrianya harus memakai pita putih.
Gambar itu diletakkan di dalam gereja Notre-Dame—beberapa tahun kemudian diturunkan setelah sang pangeran kembali memeluk agama moyangnya dengan alasan poligami.
Baca juga: Fosil Ini Ungkap Kelompok Mamalia Purba dan Terbelahnya Benua Pangaea
Tidak seperti sang kakak, Daeng Tulolo lulus lebih lama dari sekolahnya, tepatnya 18 Mei 1699 dan harus menunggu 13 tahun sebelum diangkat menjadi letnan muda di usia 38 tahun. Pangkat itu ia sandang seumur hidupnya.
Dalam usia 62 tahun, ia meninggal, tepatnya pada tanggal 30 November 1376. Daeng Tulolo disemayamkan di gereja Carmes dan dihadiri oleh beberapa perwira angkatan laut.
Jenazahnya dikuburkan dalam gereja Louis de Brest—hancur ketika terjadi pemboman saat Perang Dunia II.
Kisah selengkapnya dapat dibaca dalam buku "Orang Indonesia dan Orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX" karya Bernard Dorléans
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR