Nationalgeographic.co.id - Hayashi Kyoko mulai mengunci dirinya dari masyarakat ketika kepala sekolahnya membicarakan tentang ujian masuk universitas, di hari pertama ia masuk sekolah.
“Kehidupan menyenangkan SMA yang saya nanti-nantikan berubah menjadi persiapan ujian masuk kuliah,” ujar perempuan asli Jepang ini.
“Itu memberikan kejutan besar. Saya merasa tidak cocok dalam sistem pendidikan yang ketat. Perasaan ini akhirnya mempengaruhi fisik. Saya berhenti pergi ke sekolah,” cerita Kyoko.
Baca juga: Warganya Tolak Punya Anak, Tingkat Populasi di 6 Negara Ini Tak Stabil
Saat beranjak dewasa, Kyoko mulai bekerja paruh waktu. Ia menghadapi tekanan dari ibunya. Kyoko mengatakan, dia sudah "mencapai batas" dan tidak mampu keluar dari rumah dan bertemu orang-orang.
Kyoko tidak sendiri. Ia menjadi salah satu dari setengah juta warga Jepang yang mengidap hikikomori. Ini merupakan istilah yang mengacu pada orang-orang yang mengurung diri di rumah dan menghindari kontak sosial.
Titik terendah Kyoko adalah saat ia berada di usia 20an. “Saya menghabiskan waktu untuk mengkritik diri sendiri. Yang saya lakukan sepanjang hari hanyalah makan, buang air, dan bernapas. Saya seperti mayat hidup. Saya tidak bisa menemukan sedikit pun hal yang berharga dalam diri. Saya merasa hidup saya tidak berarti,” paparnya.
“Saya memiliki kemarahan yang mengerikan di dalam diri dan tidak tahu ke mana mengarahkannya. Akhirnya, saya selalu merasa kelelahan,” tambah Kyoko.
"Penyakit kelas menengah"
Pemerintah Jepang telah menegaskan bahwa hikikomori merujuk pada orang-orang yang tidak mau meninggalkan rumahnya atau berinteraksi dengan orang lain setidaknya selama enam bulan.
Namun, hikikomori hadir dalam berbagai bentuk. Kondisi seseorang bisa sangat parah sehingga dia tidak memiliki energi untuk bangkit dari kursi menuju toilet. Sementara, yang lainnya menderita gangguan obsesif kompulsif sangat serius. Mereka mandi beberapa kali dalam sehari atau menggosok lantai toilet selama berjam-jam. Ada juga yang mengaku bermain video game sepanjang hari dan itu membuatnya tenang.
Jeff Kingston, profesor studi Asia di Temple University mengatakan, hikikomori biasanya memiliki gejala sosial yang ekstrem. Mereka tingga di rumah bersama orangtua yang bisa merawat mereka setiap hari.
“Hikikomori jarang meninggalkan kamar dan rumahnya. Mereka terkunci di dalam dan membatasi interaksi dengan dunia maya. Ini dianggap sebagai penyakit kelas menengah karena hikikomori dari latar belakang seperti itu yang bisa mengandalkan dukungan keluarga mereka,” terang Jeff.
Baca juga: Meteorit Ini Berikan Peneliti Petunjuk Tentang Asal Mula Kehidupan
Berdasarkan statistik pemerintah Jepang, ada 541 ribu hikikomori berusia 15-39 tahun di sana. Namun, hasil ini tak terlalu pasti sebab beberapa keluarga enggan melaporkan hikikomori di keluarga mereka.
Jepang berharap mereka bisa mengidentifikasi hikikomori yang berusia tua. Ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam mengurus hikikomori. Ketika hikikomori semakin tua dan orangtuanya tidak mampu lagi merawat, maka pertanyaan atas kelanjutan hidup mereka sangat penting.
Mulai muncul pada 1980-an
Dilansir dari The New York Times, para dokter mulai mengobservasi hikikomori sebagai fenomena sosial sekitar pertengahan 1980-an. Ini terjadi pada pria muda yang menunjukkan tanda-tanda kelesuan, menolak berkomunikasi dan menghabiskan banyak waktunya di kamar.
Tidak ada alasan khusus mengapa orang-orang menjadi hikikomori. Beberapa dari mereka, seperti Kyoko, menarik diri dari masyarakat karena merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidupnya. Juga tidak tahu cara menangani tekanan orang-orang di sekitarnya.
Menurut BBC, ada juga yang mengidap hikikomori karena kejadian buruk dalam hidupnya seperti nilai jelek atau patah hati.
“Hikikomori merasakan rasa malu yang mendalam karena mereka tidak mempunyai pekerjaan seperti orang normal. Mereka menganggap diri mereka tidak berharga dan tidak layak untuk kebahagiaan. Hampir semua hikikomori merasa dikhianati oleh ekspektasi orangtuanya,” jelas Sekiguchi Hiroshi, psikiater di Jepang.
Tamaki Saito, salah satu peneliti hikikomori, mengatakan: “Mereka tersiksa dengan pikirannya sendiri. Hikikomori ingin merasakan dunia luar, mencari teman atau pacar, tapi mereka tidak bisa.”
Dampak ekonomi hikikomori
Karena hikikomori menolak berpartisipasi dalam masyarakat, terutama bekerja, ekonomi Jepang mengalami kesulitan.
“Mereka tidak berkontribusi pada pasar pekerja. Selain itu, karena mereka tidak mandiri, ketika dukungan dan tunjangan dari keluarga sudah tidak ada, hikikomori bergantung pada negara,” kata Jeff.
Dikutip dari Bloomberg, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang, pada 2016, mengumumkan rencana untuk membangun pusat konseling dan staf pendukung untuk mengunjungi hikikomori di rumahnya. Dengan harapan, cara itu bisa meningkatkan semangat hikikomori untuk bekerja.
Namun, menurut Kageki Asakura, dekan Shure Universitas, itu hanya akan menambah tekanan pada hikikomori.
Apa solusinya?
Kyoko, yang mengurung di rumahnya pada usia 20-an, mengatakan dia mulai kembali ke masyarakat, satu dekade kemudian.
Selama mengunci diri itu, Kyoko beberapa kali ingin bunuh diri, mengunjungi psikiater dan berbicara dengan hikikomori lain. Saat memasuki usia 40, ia mulai menangani kelompok bantuan untuk hikikomori di Yokohama, wilayah tempat tinggalnya.
Baca juga: Jadi Sarang Bakteri dan Jamur, Kapan Kita Harus Mencuci Seprai?
Grup relawan lain seperti New Start, coba mengajak hikikomori untuk mengunjungi komunitas, mendapat pengalaman kerja dan bersosialisasi.
Hikikomori lain membuat koran yang khusus membahas penyakit mental ini. Dipublikasikan pada November 2016, koran Hikikomori mendiskusikan fenomena ini di seluruh negara dan berharap bisa menghubungkan para pengidap dengan dunia luar.
“Kita hanya bisa berharap akan ada lebih banyak akses ke berbagai terapi dan kampanye kesehatan mental untuk mengurangi fenomena ini. Juga mendorong lebih banyak hikikomori untuk mencari pertolongan,” pungkas Jeff.
Source | : | BBC,Bloomberg,The New York Times |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR