Nationalgeographic.co.id - Pada masa itu, hewan owa dianggap sebagai hewan "mulia" dan seringkali diperlihara sebagai hewan peliharaan oleh para bangsawan Tiongkok.
Tidak mengherankan bila pada tahun 2004, sejumlah tulang dari berbagai jenis owa yang sudah punah ditemukan dalam sebuah makam di ibu kota Chang'an—sebelumnya adalah kota kekaisaran penting di era Tiongkok kuno.
Makam berusia 2.200 tahun tersebut diduga milik Lady Xia, nenek dari Qin Shi Huang, kaisar pertama Tiongkok yang mengawasi pembangunan Tembok Besar Tiongkok.
"Memiliki owa sebagai hewan peliharaan tampaknya sudah umum di kalangan bangsawan Tiongkok pada zaman kuno," kata salah satu penulis jurnal science, Alejandra Ortiz dari Zoological Society of London dan New York University.
Selain owa, dalam makam kuno tersebut juga ditemukan 12 lubang yang berisi kerangka hewan, seperti macan tutul, lynx, beruang, hingga bangau. Hewan-hewan tersebut dipelihara karena dianggap sebagai simbol yang elegan.
Baca Juga : Anjing Tidak Secerdas yang Kita Kira, Menurut Sebuah Penelitian
Ahli biologi konservasi di Zoological Society of London, Dr Samuel Turvey menemukan sisa owa saat mengunjungi Institut Arkeologi Provinsi Shaanxi di Xi'an. Hewan tersebut diperkirakan telah ada di sana kurang dari 300 tahun yang lalu.
Namun, Turvey dan timnya tidak diizinkan untuk mengambil DNA dari tulang tersebut oleh otoritas Tiongkok. Sehingga, mereka melakukan analisis mengenai dimensi tengkorak owa untuk membandingkannya dengan spesies yang ada.
Menurutnya, tengkorak dan rahang yang ditemukan saat itu sangat berbeda dari 20 spesies owa yang ada, sehingga para ilmuan menyimpulkan bahwa mereka adalah kelompok baru yang telah punah.
“Yang luar biasa dari penelitian ini adalah bahwa ia mewakili genus yang unik, ini menjadi sesuatu yang benar-benar baru bagi sains,” kata James Hansford, salah satu penulis jurnal Science, melansir Mongabay, Jumat (12/10/2018).
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Science tertulis bahwa spesies yang sebelumnya tidak dikenal ini kemungkinan besar tersebar luas dan mungkin telah bertahan hingga abad ke-18. Hewan ini mungkin spesies kera pertama yang telah mati akibat dari aktivitas manusia.
Kerangka tersebut dinamai Junzi imperialis oleh para ilmuan. Penemuan ini sangat penting mengingat kurangnya populasi owa saat ini. Menurut studi tersebut, penemuan ini membuktikan peran manusia dalam kepunahan Junzi, kepunahan pertama dari jenisnya di antara primata lain.
Baca Juga : Tersisa 12 Tahun untuk Mencegah Terjadinya Bencana Dari Perubahan Iklim
Ketika owa masih hidup, iklimnya masih sangat stabil. Meski begitu, para peneliti berpikir bahwa ancaman terhadap keberadaan hewan owa dimulai ketika penebangan hutan mulai marak terjadi. Dampak dari industri yang tengah tumbuh.
Direktur Borneo Nature Foundation, Susan Cheyne, seperti dikutip dari Mongabay mengatakan bahwa semua bukti penemuan ini dapat menunjukan bahwa manusia menjadi salah satu faktor yang mendominasi di balik hilangnya spesies ini.
Para ilmuan menyampaikan bahwa 60 persen spesies primata di dunia terancam punah, termasuk simpanse, gorila dan orangutan.
Melansir The Sun, Jumat (12/10/2018), Zoological Society of London (ZSL) memperingatkan bahwa semua kera yang ada di dunia memang terancam punah akibat ulah manusia. "Penemuan ini menyedihkan, karena hal ini memperkuat gagasan bahwa manusia merupakan ancaman besar bagi kelangsungan hidup spesies owa dan kera lainnya," kata Ortiz.
Owa hainan yang ditemukan dua tahun lalu di Hainan, Tiongkok menjadi mamalia yang langka. Kini, hanya tersisa 25 ekor owa.Hal ini terjadi akibat hilangnya habitat asli mereka dan perdagangan hewan secara ilegal di Asia.
Selain itu, owa skywalker yang juga merupakan asli Tiongkok, yang baru saja ditemukan di pegunungan Gaoligong tahun lalu telah terancam punah.
Owa merupakan jenis kera terkecil dengan tubuh yang ramping. Primata ini banyak mengeluarkan suara dan dikenal lebih dekat dengan manusia daripada primata lainnya. Hewan mamalia ini juga ahli dalam melompat antar pohon dengan kecepatan tinggi.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR