Nationalgeographic.co.id - Akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara, berupaya memperkenalkan alat tangkap dengan nama bubu apung sebagai alternatif jaring yang tidak merusak lingkungan dan mengganggu ekosistem.
Pembuatan bubu apung dilakukan setelah adanya larangan pukat hela dan pukat tarik seperti cantrang oleh Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan No.2/2015.
Rencananya, bubu apung akan digunakan untuk menggantikan bubu dasar. Meski bubu dasar tidak dikategorikan sebagai alat tangkap yang dilarang, tetapi alat tangkap tersebut dinilai tidak ramah lingkungan.
Baca Juga : Lempeng Es di Antartika Ternyata Bisa Bernyanyi, Bagaimana Suaranya?
Akademisi Fakultas Perikanan dan Kelautan Unsrat, Isrojati Johanis Paransa mengatakan, bubu ini akan dioperasikan di dasar perairan yang ditutupi dengan terumbu karang.
Meski begitu, bubu apung dikatakan tidak akan bersentuhan langsung dengan dasar perairan dan tidak akan merusak karang. Sebaliknya, ia akan digantungan pada kedalaman tertentu di bawah rakit.
“Keunggulan bubu apung, tidak menyentuh dasar perairan dan tidak berdampak pada karang. Kemudian, bisa dioperasikan satu atau dua orang. Selain itu, alat tangkap ini lebih mudah dikontrol karena hanya ada di bawah rakit, pada kedalaman satu hingga dua meter,” kata Isrojati, melansir Mongabay, Kamis (11/10/2018).
Isrojati bersama R.D.Ch Pamikiran telah melakukan riset bubu apung sejak tahun lalu. Mereka lalu mensosialisasikan teknik pengoperasian, biaya, cara pembuatan dan hasil tangkapan yang di dapat dari bubu apung kepada nelayan di kota Manado.
Dilihat dari sisi bangunannya, bubu apung terdiri dari 4 macam pintu, yaitu pintu depan, belakang, samping kiri, dan samping kanan. Pada tiap unitnya, bubu apung berukuran 1×1 meter.
Untuk pembuatan perangkap ini hanya membutuhkan waktu 1 hari, dengan beberapa bahan antara lain besi, jaring dan daun kelapa. Secara keseluruhan, total biaya pembuatan 1 unit bubu apung sekitar 150.000 rupiah.
Target tangkapan bukan lagi ikan biasa tetapi ikan pelagis, selar dan ikan kembung. Dalam sekali beroperasi, alat tangkap ini dapat menampung 5 sampai 10 kilogram ikan pelagis.
Baca Juga : Triliuner Jepang Jalani Masa Pelatihan Sebelum Pergi ke Bulan
Isrojati mengatakan bahwa bubu apung ini memanfaatkan predasi (pemangsaan). Jadi bila ada ikan besar yang akan menyerang, ikan kecil akan masuk ke dalam perangkap tersebut.
Dalam pengoperasian bubu apung maksimal hanya tiga hari. Ini dilihat dari penelitian terdahulu: dalam waktu 72 jam saja ikan sudah dapat mengenali lingkungan bubu dan dapat keluar dengan sendirinya.
Riset ini setidaknya masih dilakukan hingga enam bulan mendatang. Hingga saat ini, mereka masih berupaya untuk mengetahui pintu mana saja yang dapat memberikan hasil yang lebih maksimal.
“Karena mempertimbangkan arus, juga arah serangan. Di mana kecenderungan serangan itu. Untuk sekarang, yang lebih banyak adalah pintu depan dan belakang,” ujarnya.
Dengan adanya bubu apung diharapkan dapat menjadi alat tangkap alternatif yang dapat diperkenalkan kepada nelayan.
Apabila perangkap ini dapat berhasil dengan baik, maka meraka akan mengusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk pengadaan alat tangkap ini.
Diversifikasi alat tangkap diyakini dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan peraturan dalam Peraturan Mentri KP No.2/2015. Apabila pemerintah melarang penggunaan beberapa alat tangkap, sudah seharusnya disedikan alat tangkap alternatif dan didistribusikan kepada nelayan.
Baca Juga : Merarik, Tradisi Melarikan Calon Mempelai Wanita di Suku Sasak
Nelayan kelurahan Sario Tumpaan, Kota Manado, Danny Telleng mengatakan, meskipun jumlahnya relatif kecil, nelayan di beberapa daerah di Sulawesi Utara masih menggunakan pukat pantai, salah satu alat tangkap yang dilarang dalam Peraturan Mentri KP tersebut.
Sebagian nelayan diperkirakan masih belum mengetahui larangan menggunakan beberapa alat tangkap. Selain itu, para nelayan juga merasa belum mendapatkan solusi dari larangan tersebut.
Meski begitu, Danny setuju dengan larangan penggunaan alat tangkap. Menurutnya, sebelum peraturan tersebut dibuat, nelayan di Sulawesi Utara sudah menolak penggunaan alat tangkap seperti cantrang atau pukat tarik. Sebab, penggunaan cantrang dapat merusak dasar perairan dan memutus rantai makanan. Karena wilayah operasinya yang luas, cantrang cenderung memonopoli wilayah tersebut sehingga menggangu nelayan yang sedang memancing ikan.
“Selain merusak dasar perairan, ikan yang tidak mereka butuh, mereka buang. Misalnya kalau mereka tangkap udang, hanya udang yang mereka ambil. Ikan lain yang tertangkap dibuang,” jelas Danny.
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR