Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

PADA JANUARI 2012, SERATUS PEMBURU BERKUDA BERDERAP KELUAR DARI CAD DAN MASUK KE DALAM TAMAN NASIONAL BOUBA NDJIDAH DI KAMERUN. Mereka membantai ratusan ekor gajah, dalam salah satu pembantaian terpusat yang terburuk sejak larangan perdagangan gading dunia diterapkan pada 1989. Dengan senapan AK-47 dan granat yang diluncurkan roket, mereka membantai kawanan gajah dengan presisi militer. Setiap bangkai yang membengkak ibarat lambang keserakahan manusia. Kini, tingkat perburuan liar gajah adalah yang terburuk dalam satu dasawarsa terakhir. Penyitaan gading ilegal pun mencapai angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dari udara, hamparan bangkai menampilkan kebengisan yang tak masuk akal. Kita bisa melihat hewan yang melarikan diri, induk yang berusaha melindungi anaknya, dan bagaimana 50 satwa yang ketakutan tumbang bersama. Inilah gajah yang tersisa setelah pembantaian puluhan ribu ekor yang terjadi di Afrika setiap tahun.keterkaitan Filipina.

Dalam gereja yang penuh sesak, Monsignor Cristobal Garcia, salah seorang kolektor gading paling terkenal di Filipina, memimpin ritual yang tidak lazim untuk menghormati ikon agama terpenting bangsa tersebut, Santo Niño de Cebu (Anak Suci dari Cebu). Upacara ini, yang dilakukannya setiap tahun di Cebu, disebut Hubo, berasal dari kata Cebuano yang berarti “melepaskan pakaian.”

Misdinar (putra altar) bekerja melepaskan jubah patung kayu kecil Kristus yang ber­pakaian sebagai raja, replika yang oleh para peng­­gemar ikon diyakini dibawa ke pulau ini oleh Ferdinand Magellan pada 1521. Mereka me­­lepaskan mahkota, jubah merah, sepatu bot kecil, serta pakaian-dalam patung. Kemudian, sang monsignor mencelupkannya ke dalam be­berapa gentong air, membuat air suci gereja untuk tahun itu, lalu dijual di luar gereja.Garcia adalah seorang pria tambun dengan kelopak mata kiri setengah tertutup dan lutut yang sakit.

Menurut sebuah laporan Dallas Morning News pada 2005 dan gugatan terkait, Garcia melakukan pe­lecehan seksual ter­hadap misdinar remaja, saat bertugas sebagai imam di St. Dominic di Los Angeles, California, pada pertengahan 1980-an. Di Filipina, dia di­promo­sikan menjadi monsignor dan ketua Komisi Ibadat di Keuskupan Agung Cebu. Jabatan itu menjadikannya kepala protokol untuk keuskupan agung Katolik Roma terbesar di negara itu, dengan umat hampir mencapai empat juta orang di negara yang dihuni 75 juta umat Katolik Roma, populasi Katolik ketiga terbesar di dunia.

Paus Yohanes Paulus II memberkati Santo Niño selama kunjungan Garcia ke kediaman musim panas Paus, Castel Gandolfo, pada 1990. Garcia begitu terkenal, sehingga untuk menemukan gerejanya saya hanya perlu membuka jendela mobil dan bertanya, “Monsignor Cris?”!break!

Orang Filipina percaya bahwa Santo Niño de Cebu adalah penjelmaan Kristus. Pen­datang Spanyol pada abad keenam belas me­nyatakan ikon itu punya keajaiban. Mereka juga menggunakannya untuk melakukan Kris­tenisasi, membuat patung kayu yang sekarang diletakkan dalam etalase kaca anti­peluru di Basilica Minore del Santo Niño di Cebu, dan dianggap sebagai sumber aliran Katolik Filipina.

“Jika kamu tidak memuja Santo Niño, kamu bukanlah warga Filipina sejati,” kata Pastor Vicente Lina, Jr. (Pastor Jay), direktur Museum Keuskupan di Malolos. “Setiap warga Filipina memiliki seorang Santo Niño, bahkan mereka yang hidup di kolong jembatan sekalipun.”

Setiap bulan Januari, sekitar dua juta jemaat berkumpul di Cebu untuk berjalan selama berjam-jam dalam sebuah prosesi bersama Santo Niño de Cebu. Sebagian besar membawa miniatur ikon Santo Niño dari kacaserat atau kayu. Banyak yang meyakini apa yang di­investasi­kan dalam devosi terhadap ikon me­nentukan berkat yang akan diterima sebagai imbalannya. Karena itu, bagi sejumlah orang, bahan terbaik adalah gading gajah.

Setelah misa, saya berkata kepada Garcia bahwa saya dari National Geographic, kemudian kami menetapkan tanggal untuk berbicara tentang Santo Niño. Garcia adalah pemimpin sekelompok kolektor Santo Niño terkemuka yang memamerkan ikon mereka pada Pesta Santo Niño di beberapa mal dan hotel terbaik di Cebu. Saya berkata kepada Garcia bahwa saya menginginkan gading Santo Niño dalam posisi tidur. “Seperti ini,” kataku, menyentuh jari ke bibir bawahku. “Gaya Dormido,” ujarnya setuju.

Tujuan saya bertemu dengan Garcia adalah untuk memahami perdagangan gading di negara­nya dan mungkin mendapatkan petunjuk tentang siapa dalang penyelundupan 4,9 ton gading ilegal yang disita oleh petugas pabean di Manila pada 2009, 7 ton disita pada 2005, dan 5,5 ton dengan tujuan Filipina disita oleh Taiwan pada 2006. Dengan asumsi rata-rata 10 kilogram gading berasal dari seekor gajah, artinya pe­ngiriman itu berasal dari sekitar 1.745 ekor gajah.

Menurut CITES, organisasi internasional yang menetapkan kebijakan perdagangan ke­hidupan liar internasional, Filipina hanyalah negara transit untuk gading yang dikirim ke Cina. Namun, CITES memiliki sumber daya yang terbatas. Kata Jose Yuchongco, kepala polisi pabean Filipina, kepada surat kabar Manila tidak lama setelah penyitaan besar pada 2009: “Filipina adalah tujuan favorit untuk gading gajah selundupan ini, mungkin karena jemaat Katolik Filipina menyukai patung orang kudus yang terbuat dari gading.” Di Cebu, hubungan antara gading dan gereja sedemikian kuat sehingga kata setempat untuk gading, garing, memiliki arti kedua: “patung religius.”!break!

Hubungan Katolik-Muslim