Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Tujuh tahun silam, ibunda Elly divonis menderita kanker stadium empat oleh dokter. Setelah menjalani kemoterapi selama dua kali, sang ibu menyerah. Ia tak lagi tahan menghadapi efeknya. Elly dan keluarganya pun mencari jalan keluar hingga ke benua Amerika Selatan, untuk berguru kembali kepada alam.

“Terapi yang dijalankan tidak memakai obat,” kenang Elly dengan tutur yang lembut. “Mama harus mengonsumsi jus wortel dan sayuran, makan salad dengan sedikit madu, atau baked potato. Setidaknya enam gelas jus wortel dan empat gelas jus sayur harus dikonsumsi setiap hari.” Ada satu syarat mutlak yang tak bisa ditawar lagi: “Semua bahannya harus berasal dari sayur dan buah organik,” ungkapnya.

Setelah tiga minggu mempelajari Terapi Gerson di Meksiko, Elly kembali ke tanah air dan menghadapi masalah baru: Di mana ia harus mencari wortel organik yang kebutuhannya mencapai angka 30 kilogram setiap minggu? Ia mengaku tak bisa mengandalkan supermarket penjual sayuran dan buah organik, “biayanya berat,” akunya.

Bagaimana tidak? Di bilangan Jakarta Utara, sebuah sajian yang diklaim diolah dari bahan tak tersentuh oleh pestisida dan pupuk kimia ini dihargai dua hingga tiga kali lipat daripada menu serupa yang dijual di tempat lain. Sementara di satu supermarket yang ada di dalam pusat belanja kelas menengah ke atas di kawasan Tangerang, saya menemukan harga brokoli organik yang juga dua hingga tiga kali lebih mahal dibandingkan harga brokoli tak berlabel organik.

Satu hal menarik yang saya dapati selama mengunjungi restoran organik yang tersebar di Jakarta: Pengunjung selalu turun dari kendaraan roda empat sebelum memasuki pintu restoran. Tingkat perekonomian mereka bisa dinilai dari apa yang menempel di tubuh. Di kalangan umum, anggapan bahwa produk organik adalah barang yang berharga tinggi, sudah biasa. Menjadikannya tak dilirik oleh masyarakat tingkat ekonomi bawah, apalagi mereka yang belum memahami efek residu bahan kimia bagi tubuh. Benarkah sayuran yang begitu berharga karena tak mengandung bahan kimiawi ini menjadi tinggi nilainya di pasaran dan hanya milik kaum berpunya?

!break!

Saya mulai mencoba mencari jawaban itu di kampus Institut Pertanian Bogor yang dipenuhi  oleh pepohonan, di sebuah ruang yang mungil di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). “Pangan organik adalah pangan yang berasal dari sistem pertanian organik. Yaitu sistem yang meminimalkan atau meniadakan penggunakan pupuk sintetis, pupuk kimia, pestisida kimia,” ujar Ahmad Sulaeman, wakil dekan FEMA IPB

“Di dalam organik tidak ada yang namanya limbah. Karena limbah dari satu pertanian, menjadi masukan bagi pertanian berikutnya.” Ahmad mencontohkan tanaman jagung di rumahnya, yang dedaunannya menjadi limbah untuk pakan kambing dan ikan. Setelah itu, kotoran yang dihasilkan kambing diolah menjadi pupuk.  “Jadi, tidak ada istilah bahwa petani organik tidak menanam padi karena tidak ada pupuk. Karena, pupuk itu bukan sesuatu yang harus dibeli. Apalagi pestisida.”

“Semestinya harga organik lebih murah. Kenapa mahal? Karena suplai sedikit,” paparnya. Ia melanjutkan bahwa faktor risiko datangnya hama serta perubahan cuaca turut membuat harga melambung. Apalagi hama yang datang dari perkebunan konvensional atau non-organik, yang ada di sekitarnya.

!break!

Dua hari kemudian, matahari pagi masih bersembunyi di balik gedung-gedung yang tinggi menjulang di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun di Jalan Sunda yang sempit, tepat di samping sebuah pusat perbelanjaan, sekelompok orang sudah menyibukkan diri pagi itu. Mereka menata barang dagangan di atas meja-meja bertenda. Sayuran segar, tumpukan kantung-kantung beras, buah-buahan, makanan siap saji seperti tahu dan tempe serta pecel, juga jus beraneka warna, mulai bermunculan menghiasi pemandangan di sepanjang jalan itu.

Saat ruas Thamrin mulai ramai dengan orang-orang yang beraktivitas saat Car Free Day (CFD) digelar setiap minggu, meja-meja ini mulai dikerubuti banyak orang. Inilah salah satu cara untuk mendapatkan produk organik dengan harga lebih rendah dibandingkan yang ada di supermarket.

Di sini, meja akan ramai dengan para pejalan kaki, para pesepeda, juga keluarga lengkap dengan balita mereka. Saya memperhatikan, harga pepaya, kangkung, sawi, bayam, hanya memiliki perbedaan yang sedikit dibandingkan dengan harga sayuran non-organik, dan jauh di bawah harga yang terpajang di etalase-etalase supermarket yang bermandikan cahaya lampu sorot.

“Pasar organik dimulai saat Hari Ibu bulan Desember tahun lalu. Ide ini berawal dari ibu-ibu penggemar sayuran organik yang ingin bekerja sama,” ungkap Erna Witoelar, selaku salah seorang anggota Pilar Indonesia Hijau, program yang dijalankan oleh Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Akhirnya, bersama Sylviana Murni—Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata DKI, serta Kementerian Pertanian, Pasar Organik ini pun terselenggara. “Kami juga sedang mendorong munculnya pasar organik di kota-kota, juga di wilayah lain di jakarta,” ujar Erna.

Apa tujuan Pasar Organik ini? “Kami ingin mendekatkan produsen dengan konsumen,” ujar Neta, salah seorang panitia yang bertugas saat itu. Di acara inilah penggerak pertanian organik bisa langsung bertemu dengan konsumen yang rajin datang pada acara CFD. “Tidak cuma ibu-ibu, ABG juga senang loh nongkrong di sini,” ujar Neta sambil tertawa. “Biasanya mereka tergoda oleh smoothies berwarna-warni dari buah dan sayuran, di dalam botol.”