Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Beberapa hari setelah mengunjungi Mohi, saya duduk di lantai yang dingin, menikmati suara gemericik air dari sistem akuaponik—air dari kolam, yang dipompa untuk mengairi tanaman yang ada di atasnya. Air yang mengandung kotoran ikan itu akan tersaring dan meluncur turun kembali ke kolam ikan patin yang ada di halaman keluarga Kartiyo di area Kampung Batas, Pondok Betung. Kampung ini terletak tepat di perbatasan Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan.

Hanya kendaraan roda dua yang bisa menelusuri gang-gang sempit ibu kota ini. Namun, inilah perumahan padat terasri yang pernah saya temui. Jauh dari kesan kumuh, beragam tanaman menghiasi pagar dan bagian atas selokan. Juntaian sawi menenggelamkan pagar di balkon lantai dua sebuah rumah.

Di bagian depan rumah yang hanya seluas tiga kali tujuh meter dan tertutup semen serta keramik, keluarga Kartiyo bagai memiliki segalanya: puluhan tanaman dalam pot, dua kolam ikan—patin dan nila, bak pembuatan kompos, bahkan satu kandang ayam. Tak ada lahan yang tak berguna untuk keluarga ini.

“Dulu kami senang menanam tanaman hias, agar tak terlihat kumuh,” ujar Uci, panggilan ibu Kartiyo. Namun, saat program Mobil Hijau masuk ke daerah ini, Uci pun mendapatkan banyak pembinaan. “Bu Erna Witoelar saat berkunjung ke sini berkata kepada saya, kalau bisa, lebih baik menanam sayuran agar dikonsumsi sendiri.”

“Sekarang, kalau mau bikin sayur bayam, ya tinggal ambil saja di depan,” ujarnya senang. Selain untuk kebutuhan masak sehari-hari, jahe merah yang ditanam Uci di dalam pot-pot yang berjejeran di dekat pagar, ia olah menjadi bubuk jahe siap seduh, untuk mendapatkan penghasilan lebih. “Bubuk jahe milik saya tidak pakai bahan pengawet. Tetapi belum saya pasarkan ke mana-mana, soalnya izinnya belum ada,” ungkapnya. Ia dan para ibu lainnya semakin rajin memproduksi jahe bubuk, guna memenuhi pesanan rekan mereka.

Tak hanya Uci dan para tetangganya yang berhasil mendapatkan manfaat dari pekarangan sendiri. Beberapa perumahan di Bekasi juga berhasil menghijaukan lingkungan mereka, melalui program yang dijalankan oleh Mobil Hijau.

!break!

Empat hari sebelum tulisan ini selesai, saya berbincang dengan Elly melalui telepon. Kini, selain mengandalkan produk Pater Agatho, ia sudah mulai mencoba menanam  sayur sendiri di pekarangannya. Setelah sang ibu mengonsumsi makanan organik selama empat tahun, dokternya terkaget-kaget. Ternyata, perkembangan kankernya tak sepesat perkiraan sebelumnya. “Rambut mama jadi berkilau-kilau dan telapak kaki yang tadinya pecah-pecah, tertutup seperti tumbuh sel baru,” Elly mengenang.

Sang ibu telah tiada akibat usia. Namun, Elly dan keluarganya masih terus mengonsumsi makanan organik. Kini, semakin banyak teman yang ia tulari kebiasaannya. Mereka pun saling bertukar resep. Selain sayur dan buah, sesekali Elly menyantap daging ayam atau ikan. Selama tujuh tahun sejak mengonsumsi sayuran bebas bahan kimia, keluarganya tak pernah minum obat jika sakit dan jarang sekali pergi ke dokter. “Kami belajar, bahwa ternyata tubuh kita bisa menyembuhkan diri dengan makanan yang baik.”