Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Tak hanya Kementerian Pertanian yang berusaha menyadarkan masyarakat dengan program­nya. Sebuah mobil boks besar dengan dinding yang bisa dibuka, selalu hadir di Pasar Organik Jakarta. Di dalamnya terdapat peralatan lengkap untuk mengedukasi masyarakat, mulai dari televisi, proyektor, buku dan alat permainan anak, juga alat peraga metode penanaman. Semua listrik yang menghidupi bagian dalam mobil berasal dari panel surya di atap si Mohi atau Mobil Hijau, milik SIKIB.

Di suatu pagi yang riuh, saat saya berada di atas mobil itu, seorang wanita paruh baya mendekati staf Mohi. Ia berkata bahwa halamannya terlalu sempit, dan ia takut tanamannya tak akan tumbuh. “Pasti bisa,” ujar Deasy Kindrawati Tuwo, tiba-tiba. Ia adalah kepala sekretariat Mohi Jakarta yang saat itu sedang berbincang dengan saya. Ia pun mencontohkan kepada sang pengunjung, bahwa ia yang tinggal di apartemen pun bisa menanam bayam, tomat, cabai, dan jeruk.

“Di pasar organik, kami mengajarkan tentang pertanian organik, memberi mereka benih yang gampang tumbuh. Kangkung dan bayam kan tinggal tabur saja, sudah bisa panen,” paparnya. “Mereka pun sering datang kembali dan melaporkan, tanaman mereka sudah tumbuh.”

“Kegiatan Mohi yang utama ialah me­nyosialisasikan hidup ramah lingkungan. Organik, salah satunya,” ungkap Deasy setelah berhasil meyakinkan si ibu pengunjung untuk membawa pulang bibit kangkung dan cabai. Target utama mereka adalah ibu dan anak-anak. “Pertanian rumah tangga artinya memberdayakan ibu-ibu rumah tangga, karena semuanya dimulai dari keluarga,” lanjut Deasy. Inilah salah satu cara SIKIB dalam mengadopsi program KRPL yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian.

Sembari duduk di bangku piknik yang diletakkan di atas mobil hijau, Deasy bercerita, “Ada ibu-ibu yang menghitung, dengan menanam sayur sendiri mereka bisa menghemat 400 ribu rupiah sebulan.”

 !break!