Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Angin lembah yang berasal dari Gunung Pangrango bertiup sejuk pagi itu, menerpa saya yang tengah berdiri di dasarnya. Kuikan entok terdengar saling bersahut di kejauhan, sementara burung beterbangan di atas lembah. Di sekitar air terjun yang bergemuruh, bilur hijau tanaman berbaris rapi menuju awal lembah, kemudian merayap naik menuju punggungan bukit.

Di lembah kecil di kawasan Tugu Selatan, Cisarua, inilah Pater Agatho Elsener, pria Swiss kelahiran 1933, mewujudkan mimpinya menggerakkan apa yang ia disebut sebagai pertanian organis di Indonesia, tepatnya sejak 31 tahun silam.

Tak ada tanah yang tidak tergantikan oleh tumbuh­an hijau di sini. Bahkan, di atas bangunan yang disebut sebagai Gedung Pemasaran, beragam sayur­an memenuhi lantainya yang bertingkat-tingkat, dirancang dengan apik untuk menggantikan tanah yang telah tertutup beton. Bangunan itu ternyata juga menyembunyikan bak tandon air di salah satu sisinya.

Di lembah seberang, dilatari oleh perbukitan yang disaput kabut tipis, kotak-kotak pengolah pupuk kompos serta bangunan-bangunan persemaian berdiri kokoh, melindungi benih-benih mungil yang dedaunannya malu-malu mencuat dari balik gumpalan kotak tanah berukuran sekitar lima sentimeter.

“Pater Agatho dulu menggerakkan pertanian organis dengan semangat bukan untuk berbisnis. Dengan melihat data-data geografis atau iklim, ia tahu bahwa Indonesia sangat berpotensi besar, cocok dengan pertanian organis,” ujar Sudaryanto, Wakil Ketua Pengurus Yayasan Bina Sarana Bakti (disingkat BSB). Yayasan ini mengelola pertanian dengan sistem organik, pada lahan tanam di tengah perbukitan, yang luasnya lebih dari 10 hektare ini.

Menurut Sudaryanto, Pater memiliki pemikiran bahwa pertanian seharusnya memberikan kehidupan, bukan kehancuran dengan kandungan bahan kimia yang digunakan manusia. “Semestinya pertanian itu menghidupi, dan bermanfaat. Dua alasan itu menimbulkan satu kesadaran yang kuat bahwa pertanian organis lah yang semestinya diterapkan di Indonesia, kalau kita memang akan membangun negara agraris,” tegasnya.

“Karena itu, jika produk pertanian organis lalu menjadi mahal, sebenarnya kurang pas menurut saya,” lanjutnya. “Boleh saja ada semacam segmen. Kalau orang minta kualitas yang hebat, tentu harus menggunakan harga yang lebih baik. Tetapi, pasti ada segmen tertentu tak memerlukan harga begitu mahal,” papar lelaki paruh baya ini.

!break!

Ia pun berkisah bahwa selain melayani kebutuhan supermarket, Yayasan BSB juga melakukan pemasaran ke agen-agen yang mereka miliki, dengan harga relatif tak terlalu mahal. BSB tak sungkan menghentikan kerja samanya, jika supermarket yang dipasok mematok harga jual terlalu mahal. Ini dianggap tak sesuai dengan visi dan misi Pater. Hal itu pernah terjadi dengan salah satu supermarket besar yang ada di Jakarta.

Hari itu hari panen di kebun. Di lantai paling dasar gedung pemasaran, kesibukan terjadi. Keranjang kotak berwarna hijau, biru, dan kuning bertumpukan di atas lantai, berisi beragam hasil perkebunan. Di atas meja, seorang pegawai sibuk menimbang jamur dan memasukkannya ke kantung berlabel bulat bergambar wajah kakek berjanggut dan berambut putih bertuliskan Group Agatho Organics. Semua pekerja hari itu mengenakan kaus biru berkerah yang di belakangnya tercantum The Organic Way All in Harmony.