Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Cabai ini pun menjadi incaran ibu-ibu sepulang mengaji, yang lewat di depan rumahnya. “Saya mulai berpikir, bahwa semua orang perlu cabai. Kalau orang menanam cabai di rumah masing-masing, tentu mereka tak perlu membelinya,” tutur Ramin sambil mengenang masa lalu.

Ia pun mulai memelihara antara lain sawi, kangkung, dan selada, hingga seluruh pekarangannya dipenuhi tumbuhan hijau. Sejak saat itu, “tak hanya ibu-ibu pengajian saja yang datang, tapi juga tetangga. Mereka meminta sawi. Ya saya persilakan saja, karena saya senang menanam kalau itu hasilnya baik, menjadi hiburan untuk saya,” ujarnya sambil tersenyum dan menempelkan telapak tangan di dada. Kini, untuk memupuki tanamannya yang semakin beragam, ia tak lagi menggunakan kotoran kambing yang mulai sulit dicari di sekitarnya. Sasarannya kini berbeda: Limbah kulit bawang dari para wanita yang bekerja sebagai pengupas bawang untuk dijual di  pasar.

Bau bawang yang tajam meyeruak saat saya tiba di bak pengomposan. Ramin yang dulu bekerja di bagian farmasi ini butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mengakali hingga akhirnya kompos yang ia hasilkan dalam skala yang tak kecil ini tidak mengeluarkan bau yang mengganggu tetangga. “Kalau bau, mereka sudah teriak-teriak,” canda pria yang mengenakan peci hitam untuk menutupi rambut putihnya ini. Tidak jauh dari kami, tampak kantong-kantong pupuk bertumpukan menuju langit-langit.

Selain untuk memupuki tanamannya sendiri, pengelolaan limbah memberinya penghasilan. Sebelum saya tiba, dua orang dari komunitas gereja lebih dulu bertamu di rumah Ramin yang dipanggil Pak Haji ini. Mereka hendak memesan kantong-kantong pupuk, seribu buah banyaknya.

Saya mengikuti Ramin menuju tempat lain: sebuah bangunan tersangga rangka bambu tertutup jalinan plastik serupa kawat nyamuk, serta paranet beratap plastik. Di dalamnya terdapat bibit antara lain cabai rawit, terong hijau, terong lalap, terong ungu, sawi sendok, kucai, wortel, buncis, pare, kacang merah, dan tomat. Ramin tampaknya menanam semua yang bisa ditanam. Lilitan oyong terlihat merambat ke mana-mana: pergola teras, juga dinding pembatas dengan rumah tetangga. Di sana, saya melihat oyong, “Yang itu, satu meter panjangnya,” pungkas Ramin.

 !break!