Kontradiksi Pangan Organik

By , Jumat, 19 September 2014 | 13:55 WIB

Sebenarnya, pangan organik hanya sejauh beberapa langkah dari pintu rumah. Karena ternyata, di sela hutan beton yang menjulang, masih ada warga ibu kota yang bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangan mereka sehari-hari, dari hasil kebun sendiri.

“Silakan duduk, Mpok,” ujar Ramin Saaman dengan hangat, saat saya berkunjung ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari Pasar Induk Kramat Jati. Angin berkejaran di sela dedaunan yang memenuhi teras dan pekarangannya. Tak lama kemudian, ditemani segelas teh hangat serta kecipak ikan yang sesekali terdengar dari kolam, saya pun duduk terkantuk-kantuk di atas kursi rotan, mendengarnya berkisah.

“Saya sejak kecil senang menanam, jadi banyak pola tanam yang sekarang saya angkat dari cara menanam orang tua dahulu,” paparnya perlahan. Pada 1995, dua tahun sebelum berhenti bekerja, ia mulai membuat pupuk secara tradisional di waktu luang. Pupuk itu berasal dari kotoran kambing. “Dulu kan masih banyak tetangga memelihara kambing, kotorannya dibuang begitu saja. Ya saya kumpulkan.” Kotoran ini ia gunakan untuk memupuki pohon cabainya. “Hasilnya luar biasa, hingga tiga setengah tahun, cabai itu masih berproduksi,” lanjut pria berkaos haji dengan kantung di bagian dadanya ini.