Bendung Lama Pamarayan: Risalah Max Havelaar dan Monumen Revolusi Sosial di Sungai Ciujung 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 13 Januari 2024 | 21:00 WIB
Bendung Lama Pamarayan yang pernah dialiri gemuruh Sungai Ciujung. Arsitekturnya bergaya Art Deco. Proyek pembangunan bermula pada 1905, bangunan bendung selesai pada 1919. Namun proyek pembangunan saluran irigasi secara keseluruhan berakhir secara resmi pada 1939. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Alikasim, 18 tahun, petani, lahir dan tinggal di Pamarayan.

   

'Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië' edisi 11 April 1927, menerbitkan judul berita De Pamarajan-zaak mengenai percobaan pembunuhan Wedana Pamarayan pada 1926. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië )

Williams mengungkapkan bahwa sasaran utama dari para pemberontak adalah pangreh praja. Utamanya, pejabat polisi yang dibunuh tanpa ampun oleh para pemberontak. Namun, para pemberontak lebih pilih-pilih terhadap sasaran pegawai pemerintah umumnya.

Saya berjumpa Isep Farihat, juru pelihara Bendung Lama Pamarayan, di bekas ruangan Juru Bendung. Dia mengatakan bahwa bendung ini dinamakan Pamarayan karena berada di Kawedanan Pamarayan. "Kawedanan Pamarayan itu lokasinya di pinggir Ciujung, dekat Pasar Pamarayan," ujarnya. "Sayangnya bangunan pendoponya sudah tidak ada karena kena abrasi sungai."

Surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1927 menerbitkan berita pendek bertajuk "De aanslag op den wedana van Pamarajan"—percobaan pembunuhan terhadap wedana Pamarayan. "Pengadilan memulai kasus terhadap para komunis yang terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap wedana Pamarajan pada tanggal 4 Februari," demikian rilisnya.

Selanjutnya, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 11 April 1927, menerbitkan judul berita "De Pamarajan-zaak"—kasus Pamarayan. "Tuan Roskott, Ketua Pengadilan di Serang, memulai persidangan hari ini untuk memproses bagian pertama kasus Pamarajan (serangan komunis terhadap wedana)," demikian tulis surat kabar itu. "Empat terdakwa: Kadjimoen, Roeskan, Sapioedin dan Ahbar dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 10, 10, 8 dan 11 tahun, setelah dikurangi masa tahanan sementara."

Surat kabar itu juga menambahkan, "Pengadilan memulai persidangan kelompok kedua yang terlibat dalam serangan terhadap wedana Pemarajan. Dari 13 terdakwa, delapan di antaranya diperiksa. Semua membantah rencana pembunuhan. Mereka mengakui bergabung dengan kelompok tersebut. Persidangan akan dilanjutkan sore ini."

Pemberontakan PKI 1926 di Banten memang tidak menghasilkan pencapaian revolusi sosial karena pada kenyataannya pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, Williams mengungkapkan bahwa unsur koalisi ulama, jawara, elemen bangsawan lama, dan komunis yang bersama-sama melawan pemerintahan muncul kembali dalam revolusi sosial di Banten pada 1945-1946. 

“Komunis, Muslim, dan perampok bukanlah sekutu alami," tulis Williams. Namun, ciri khas dari pemberontakan 1926 dan revolusi 1945 adalah "hubungan kerja sama yang erat dalam ketiga kelompok tersebut dalam mengejar tujuan revolusioner yang sama, yaitu menggulingkan pemerintahan yang ada." 

"Elemen yang sama yang memberontak pada 1926 berkumpul kembali pada bulan-bulan terakhir pendudukan Jepang," tulis Williams. Di beberapa daerah, koalisi semacam ini mulai berpisah setelah Revolusi Sosial pada 1945. Namun setelah 1945, "masih ada tradisi di Banten dari beberapa pemimpin agama [...] yang terus memeluk idealisme politik radikal dan kiri.”

Williams menjelaskan alasan munculnya koalisi tiga unsur yang mewarnai arus utama perlawanan kepada pemerintahan Hindia Belanda. Faktor utama, ketiga unsur itu merasa sangat tidak puas atas kehilangan hak istimewa dan penghinaan kolektif yang diderita akibat pemerintahan kolonial.