"Pemegang kekuasaan tradisional ini telah berjuang keras dan berhasil mempertahankan pengaruh mereka di masyarakat pedesaan Banten, tetapi tidak menemukan refleksi pengaruh mereka dalam pemerintahan," tulis Williams.
Pamarayan Semasa Penegakan Kedaulatan
Syahid dan Wigati mengungkapkan situasi bendung ini pada masa revolusi kemerdekaan, sekitar 1947-1949. "Pamarayan dianggap sebagai salah satu infrastruktur perairan strategis di Jawa, dan dijaga penuh oleh pangkalan militer Belanda selama berbulan-bulan," tulis mereka.
Pendapat mereka berdasar sebuah berita yang terbit di surat kabar Winschoter edisi Kamis, 28 Juli 1949, yang berjudul "De stuwdam-specialisten van Pamarajan."
"Ada bendungan besar Pamarajan yang selesai dibangun pada tahun 1939 dan mengatur irigasi yang sangat penting bagi Banten Utara. Beberapa ratus meter lebih jauh lagi terdapat pos Kompi ke-4 dari 3—12 R.I., yang hanya terdiri dari orang Utara. 'Ini bendungan ketiga yang harus kami jaga,' kata Reitsma asal Eenrum," demikian dalam paragraf pembukanya.
Jurnalis Winschoter mencatat, "Orang-orang ini khususnya ahli dalam menjaga bendungan, tetapi mereka memiliki tugas yang berat dalam menjaganya."
Pada pertengahan 1949, hanya tinggal beberapa kelompok di perbatasan wilayah yang ditempati detasemen ini. Untuk mencapai daerah terpencil ini mereka perlu menempuh perjalanan jauh, catat surat kabar itu. "Namun kondisi jalan di kawasan ini masih bagus sehingga banyak yang bisa dilalui mobil."
Situasinya selalu sepi sejak hari pertama mereka bertugas di Pamarayan. Serdadu-serdadu itu memang mendapat serangan dari TNI, "namun dapat dipadamkan karena patroli intensif sehingga mereka bubar di antara penduduk, datang untuk melaporkan diri atau pergi ke daerah lain."