Bendung Lama Pamarayan: Risalah Max Havelaar dan Monumen Revolusi Sosial di Sungai Ciujung 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 13 Januari 2024 | 21:00 WIB
Bendung Lama Pamarayan yang pernah dialiri gemuruh Sungai Ciujung. Arsitekturnya bergaya Art Deco. Proyek pembangunan bermula pada 1905, bangunan bendung selesai pada 1919. Namun proyek pembangunan saluran irigasi secara keseluruhan berakhir secara resmi pada 1939. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Para serdadu Belanda itu pernah juga mengalami kesulitan selama beberapa bulan pertama di Pamarayan. Namun, sejatinya medan di kawasan ini jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat yang berupa pegunungan. Medan berpunuk-punuk, seperti di Kuningan atau Linggajati tentu menyulitkan serdadu-serdadu asal Belanda utara—negeri dataran. Di Pamarayan, mereka tampaknya merasa kerasan karena daerah datar yang luas, pun perlawanannya terbatas.

Berita berjudul 'De stuwdam-specialisten van Pamarajan' yang terbit di surat kabar Winschoter Courant edisi 28 Juli 1949. Ketika perang kemerdekaan, bendung ini dijaga oleh resimen infantri Belanda selama beberapa bulan. (Winschoter courant)

Patroli militer menjadi bagian aktivitas utama harian para serdadu. "Piet van Til, tukang sepeda dari Groningen, telah bekerja keras untuk mempersiapkan sepeda kompi pada hari kunjungan kami," catat si jurnalis,  "karena patroli sepeda akan berangkat menjelang malam."

Saat itu mereka mendapat laporan bahwa seorang pemimpin dari pihak Republik telah tiba sehingga mereka harus kembali mengatur strategi perlawanan. "Tindakan harus diambil segera, jika orang ini tertangkap, maka ketenangan di daerah tersebut akan terjaga," tulisnya. 

Jurnalis Winschoter mengungkapkan, "Pada 1926, tempat ini menjadi salah satu pusat pemberontakan Banten." Namun, ia mengabarkan juga tentang kondisi terkini berkait respons masyarakat sekitar ketika detasemen Belanda membangun pos penjagaan di Pamarayan.

Mereka juga mengatakan bahwa ada perbedaan suasana hati yang mencolok antara daerah di sebelah kanan dan kiri sungai. Di sebelah kanan, daerah itu berbatasan dengan distrik federal Batavia. "Bantuan masyarakat di sebelah kanan sungai tidak hanya pada bulan pertama. Mereka sigap memberikan informasi: patroli militer diperkuat serta merta oleh masyarakat kampung yang bersenjatakan golok."

Namun demikian, "dalam survei terbaru, 80 persen penduduk memilih untuk bergabung dengan Republik," tulis jurnalis surat kabar itu. "Di sinilah kesulitan terbesar muncul selama pendudukan."

Brankas yang melekat pada dinding di Ruang Juru Bendung, tanpa merk dan tanpa catatan pembuat. Menurut Isep Farihat, juru pelihara sejak 2012, ketika bendung masih beroperasi, kotak itu biasa digunakan untuk menyimpan kunci-kunci. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Jurnalis Winschoter juga mengungkapkan kehidupan para serdadu ketika tidak sedang bertugas. Seorang serdadu menceritakan, “Apa yang kami lakukan di sini, selain patroli dan jaga? Bermain sepak bola dan voli. Kami memiliki kegemaran bermain catur, dam, dan tenis meja." 

Sepak bola menjadi salah satu olahraga favorit mereka. Ketika musim hujan berakhir beberapa bulan sebelumnya, mereka membangun lapangan sepak bola. "Dua sawah digabungkan dan dibuat rata, dan penduduk, yang juga ingin bermain sepak bola, bergantian memberikan tenaga kerja," tulisnya. "Peresmian lapangan olahraga baru menjadi ajang olahraga besar, ketika batalyon dan penduduk berpartisipasi."

Ketika musim kemarau tiba, lapangan itu kering kerontang. Rumput-rumput menghilang disusul munculnya tanah yang pecah-pecah. Mereka pun meninggalkan olahraga sepak bola.  "Yang tersisa adalah olahraga yang sangat populer di kalangan militer di Indonesia; bola voli, semacam tenis tangan dengan bola besar. Hanya ada lapangan kecil dan sedikit peralatan yang dibutuhkan," tulisnya.

Serdadu-serdadu itu telah berada di negeri tropis ini selama lebih dari dua setengah tahun. “Sebenarnya Anda tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Anda hanya menunggu demobilisasi datang,” ujar salah seorang serdadu kepada si jurnalis.

    

Panel kendali Bendung Lama Pamarayan, yang berada dalam menara sisi barat, tepatnya di Ruang Juru Bendung. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pamarayan Semasa Pembangunan

Surat kabar Java-bode nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi Kamis, 6 September 1951, mengabarkan kunjungan Presiden Sukarno di Rangkasbitung, Pandeglang dan Serang pada 5 September 1951. "Rabu sore, Presiden Sukarno mengunjungi Bendungan Pamarajan yang mengairi 24.000 ha sawah di Banten Utara dan Barat Laut." Berita dimuat dalam judul President spreekt tot de jeugd in Rangkasbitung, bevolking langs weg wilde ,,Bung Karno'' horen—Presiden berbicara kepada para pemuda di Rangkasbitung. Penduduk di sepanjang jalan ingin mendengar ‘Bung Karno’. 

Saya berjumpa dengan Ahmad Hudaya, pensiunan pegawai Bendung Lama Pamarayan dan Bendung Baru Pamarayan. Dia mengungkapkan kenangan ibundanya ketika Presiden Sukarno berkunjung ke desa mereka. Sang ibunda menyaksikan Presiden berjalan kaki menuju bendung. "Bung Karno berjalan kaki sambil melambai-lambaikan tangannya," kata Hudaya menirukan Ibundanya bercerita.

Kini, Hudaya berjualan kudapan dan kelapa muda di dekat bendung lama. "Saya lihat foto Bung Karno minum kelapa muda yang dipajang di kantor," ujarnya, "makanya saya sekarang jualan kelapa muda." 

Surat kabar Java-bode nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch- Indie edisi 6 September 1951 mengabarkan kunjungan Presiden Sukarno di Rangkasbitung, Pandeglang dan Serang—juga Bendung Pamarayan. (Java-bode)

Kunjungan Presiden Sukarno di Bendung Pamarayan, Kabupaten Serang, Banten pada 5 September 1951. (Foto Koleksi Bendung Lama Pamarayan)

"Setengah abad setelah tahap konstruksi terakhir," tulis Syahid dan Wigati, "pemerintah Indonesia menciptakan sebuah rencana induk pengendalian banjir di Sungai Ciujung" pada 1983 dan 1985.  Proyek yang berada di daerah tangkapan air antara Pamarayan dan Rangkasbitung ini sebagai respon atas bencana banjir di hilir Ciujung pada 1977. 

Kementerian Pekerjaan Umum mengembangkan rencana induk dari kajian pengembangan sumber daya air di Jabotabek pada 1989. Gayung bersambut, Jepang menggulirkan bantuan teknis melalui Japan International Cooperation Agency dan Nippon Koei, yang bertujuan mengkaji Sungai Ciujung-Cidurian pada 1993-1995.

     

Tamatnya Riwayat Bendung Terbesar Pertama di Hindia Belanda

Bendung Pamarayan merupakan tengara awal praktik rekayasa hidrolik modern pada awal abad ke-20. Namun demikian, bersumber arsip-arsip semasa pembangunan, kedua peneliti itu juga mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan bendungan ini tidak digunakan lagi.

"Permasalahan pemilihan lokasi proyek, kendala alam berupa melimpahnya material pasir di dasar sungai, banjir, dan angin muson yang merusak yang mengganggu proses konstruksi, menjadi beberapa faktor utama penyebab tidak berfungsinya struktur bendungan," tulis Syahid dan Wigati.

Kedua peneliti itu mengungkapkan juga bahwa pada dasarnya tanah pertanian di sepanjang Sungai Ciujung memiliki kandungan yang kaya akan tuf (jenis batuan piroklastik yang mengandung debu vulkanik), tetapi miskin tanah subur. Peningkatan hasil panen pun perlu didorong asam fosfat dan pupuk. "Hal ini tentu saja sangat mengecewakan setelah menghabiskan sumber daya pada proyek besar tersebut." Di samping itu, menurut arsip yang mereka himpun, "kualitas air irigasi di sana termasuk yang terburuk di Jawa."

Bung Karno sedang menenggak air kelapa muda saat kunjungannya di Bendung Pamarayan pada 5 September 1951. Tampak warga desa yang berantusias bertemu dengan Sang Proklamator. (Foto Koleksi Bendung Lama Pamarayan)

Terjadinya pendangkalan dan menurunnya tekanan debit aliran Sungai Ciujung telah menyebabkan berkurangnya performa bendung Pamarayan, di samping perkara uzurnya konstruksi. Atas pertimbangan itu pemerintah memulai pembangunan bendung Pamarayan Baru pada 1992, sekitar satu kilometer di sisi barat daya bendung lama. Dalam pembangunan ini Indonesia mendapat sokongan dana Overseas Economic Cooperation Fund dari Jepang.

Bendung baru diresmikan pada 1997, menggantikan bendung lama. Dimensinya lebih kecil dibanding bendung lama bikinan Hindia Belanda. Bentangannya 'hanya' 137,5 meter dan 'hanya' memiliki enam pintu pengendali air.

Selama enam dekade, aliran bendung termegah pertama di Hindia Belanda itu telah bergemuruh. Namun, ia berlabuh sejak suadaranya bertumbuh. Ingatan setiap generasi kepadanya pun luruh.

Kini bendung lama itu telah berdiam, menghentikan segala kegiatan. Kendati beberapa bagian konstruksinya tampak merapuh, menara dan pintu-pintu airnya masih menjulang seolah menolak lupa sebagai bagian tengara perjalanan revolusi sosial di Banten. 

Ia melewati masa-masa sulit ketika bencana banjir dan kegagalan panen, perpajakan yang membinasakan petani, perlawanan petani dan ulama Banten terhadap pemerintah kolonial yang menjadi salah satu pemberontakan terpenting dalam sejarah Indonesia sepanjang 1900-1945, sekaligus tengara awal penerapan teknologi hidrolik modern di negeri kita.

"Masyarakat Pamarayan harus berterima kasih kepada Simon Snuyf, meski dia orang Belanda," kata Isep Farihat, juru pelihara Bendung Lama Pamarayan. "Berkat bendung buatannya, masyarakat mendapatkan banyak manfaat"—seperti sawah-sawah yang mendapatkan pasokan aliran irigasi.

Keberadaan bendung ini juga menandai toponimi baru. Semenjak beroperasinya bendung ini, Pamarayan 'terbelah' menjadi dua. Tapak bendung sisi timur berada di Pamayaran, sementara orang-orang menjuluki tapak bendung sisi di seberangnya dengan toponimi "Panyabrangan".

"Desa Panyabrangan baru ada pascapembangunan jembatan [bendung]," ungkap Isep. "[Dahulu] ruang lingkup Pamarayan semuanya."

Isep bangga akan tugasnya yang sudah ditekuni sejak 2012. Sebagai warga Pamarayan dia merasa memiliki bendung tua ini, yang bukan sekadar mewarnai masa kanan-kanaknya tetapi juga karena desanya memiliki tinggalan peradaban silam dalam pengaturan air di Banten. Pekerjaan juru pelihara ini menurutnya mengasyikkan karena dia bisa melakukan "interaksi dengan masyarakat, sambil belajar menggali tentang sejarah."

Keluarga besarnya lahir dan tumbuh di Pamarayan, sehingga dia meyakini bahwa leluhurnya—mungkin buyutnya—turut membangun bendung ini. 

"Kakek-kakek kita di sini mungkin ikut membangun bendung ini," ujar Isep, "Bangunan ini hasil karya mereka, jadi sudah sepantasnya masyarakat di sini ikut merawat dan melestarikannya."

Isep memiliki cita-cita membangun museum sederhana di salah satu ruangan di Bendung Lama Pamarayan. Dia berpikir untuk menampilkan foto-foto berkait perjalanan bendung ini dari masa ke masa beserta penjelasannya. 

Selain museum, dia juga ingin membangkitkan kembali Bendung Lama Pamarayan sebagai tempat berkumpul dan diskusi komunitas-komunitas budaya setempat. Dia dan kawan-kawannya pernah menginisiasi gelaran acara pentas tari dan baca syair di pekarangan bendung ini beberapa tahun silam.

Biaya pembangunan bendung dan saluran irigasi pendukungnya boleh jadi menelan lebih dari dua juta gulden. Bendungan semegah apapun bisa kita bangun dalam ruang dan waktu tertentu, akan tetapi perlu sepanjang masa untuk merawat ingatan tentang cerita kota dan bangunannya.

Kita pun kembali teringat kata-kata Multatuli dalam Max Havelaar. "Uang bisa membeli batu bata dan kapur. Seniman yang membuat rencana, dan tukang batu yang meletakkan batu, bisa dibayar," tulisnya dalam bab kelima. "Namun, uang tidak bisa membeli rasa kehilangan atas perasaan kagum akan sebuah puisi yang tampak dari sebuah bangunan, sebuah puisi dalam batu granit yang berbicara lantang kepada rakyat, sebuah puisi dalam pualam yang berdiri di sana sebagai doa abadi..."

Setiap bangunan penanda kota selalu memiliki moral cerita. Apakah pelan-pelan kita akan meninggalkan dan melupakan riwayat bendung tua ini? Semoga kata-kata Multatuli ini tidak terulang: "De omnibus aliquidde toto nihil,"—semuanya ada, tetapi tidak berarti apa-apa.