Bendung Lama Pamarayan: Risalah Max Havelaar dan Monumen Revolusi Sosial di Sungai Ciujung 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 13 Januari 2024 | 21:00 WIB
Bendung Lama Pamarayan yang pernah dialiri gemuruh Sungai Ciujung. Arsitekturnya bergaya Art Deco. Proyek pembangunan bermula pada 1905, bangunan bendung selesai pada 1919. Namun proyek pembangunan saluran irigasi secara keseluruhan berakhir secara resmi pada 1939. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

      

Pamarayan dan Pemberontakan Komunis di Banten 1926

Jan Christiaan Bedding, Residen Banten 1922–1925, pernah menulis bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak memiliki masa depan di Banten. Dia juga memastikan gerakan Marxisme tidak akan berpengaruh di wilayahnya, meski gerakan itu sudah tampak sejak 1914 di Hindia Belanda.

Keyakinan Bedding itu didukung fakta bahwa sampai akhir 1924, di Banten hanya terendus dua orang yang menjadi anggota komite Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi politik berhaluan Marxisme-Leninisme pertama di Hindia Belanda. Mereka adalah Hasan Djajadiningrat dan J.C. Stam. Pun, organisasi itu tidak pernah membuka cabangnya di Banten.

Bedding kecolongan. Kurang dari dua tahun setelah dia menyatakan pendapatnya, ternyata komunise bersama gerakan Islam militan telah berakar kuat di kawasan ini. Perkembangan tiba-tiba ini mengejutkan pemerintah kolonial.

Menurut penelitian Williams, Banten menjadi salah satu tempat utama pemberontakan terpenting dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20—sebelum Indonesia merdeka. “Wilayah pemberontakan sebenarnya terbatas pada kabupaten Pandeglang, khususnya di daerah Menes-Labuan dan Distrik Petir di Kabupaten Serang," tulisnya.

Asisten Residen Purwakarta Jan Christiaan Bedding Bedding bersama putrinya Emmy dan istrinya A. Bedding-van Rees di Batavia pada 1915. Kelak Bedding menjabat sebagai Residen Banten pada periode 1922-1925. (KITLV)

Ada beberapa aspek yang bisa dijelaskan mengapa PKI mendapat dukungan di Banten. Propaganda partai palu-arit itu mendukung penghapusan pajak mendapat sambutan petani-petani di Banten. Para petani juga terpikat dengan propaganda bahwa mereka akan bebas dari tekanan para priyayi yang menjadi antek Belanda.

"Petani dikenakan pajak hingga batas kemampuan mereka," tulis Williams. Menurutnya, pajak menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan petani. Ketidakpuasan terhadap pajak kepala sangat terasa di Banten karena besarannya dinaikkan oleh pemerintah Hindia Belanda.  Pajak kepala menjadi beban yang sangat berat di Banten, karesidenan yang seringkali menuai panen yang sangat buruk pada 1920-an.

Sementara itu standar hidup petani menurun secara dramatis setelah Perang Dunia Pertama. Daya beli uang dan nilai pendapatan juga menurun antara 1913 dan 1920. Pada awal dekade 1920-an, sewa tanah meningkat drastis di Banten. Pekerjaan semakin sulit didapat dan tingkat upah merosot.

Pintu menuju lantai dasar yang digunakan untuk gudang penyimpanan peralatan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Perkara pajak dan kerusuhan, sejatinya kita bisa menengok kembali salah satu aspek yang menyulut Pemberontakan Petani di Cilegon pada 1888. Pasalnya, pada 1882, pemerintah memperkenalkan pajak baru, yaitu pajak kepala, yang sangat berkontribusi pada ketidakpuasan para petani.