Nationalgeographic.co.id—Setelah enam dekade bergemuruh mengatur aliran Sungai Ciujung, bendung tua ini akhirnya ditinggalkan. Kehendak alam atau keliru perhitungan? Akankah riwayatnya kita kenang—atau membiarkannya tercampakkan?
"De omnibus aliquid, de toto nihil," kata Droogstoppel dalam novel Max Havelaar. Kutipan berbahasa Latin itu bisa dimaknai sebagai "semuanya ada, tetapi tidak berarti apa-apa."
Droogstoppel adalah seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht, Amsterdam.
Buru-buru Droogstoppel menjelaskan bahwa sejatinya dia pantang mengucapkan kutipan berbahasa Latin. Namun, dia terpaksa menggunakannya untuk menyebut bungkusan yang berisikan "syair-syair tak bermoral" yang sekaligus bercampur "tumpukan pengetahuan".
Bungkusan itu dikirimkan oleh sosok misterius yang dia juluki sebagai Tuan Syaalman—Pria Berselendang. Namun Droogstoppel tidak dapat menyangkal bahwa dia telah terpikat beberapa karya sastra si lelaki misterius itu mengenai kopi.
Judul panjang novel itu Max Havelaar, of De Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij terbit pada 1860. Apabila judul itu dialihbahasakan, Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Penulisnya, Multatuli—nama pedengan Eduard Douwes Dekker (1820-1887).
Eduard asal Amsterdam. Dia pernah menjabat sebagai asisten residen Lebak di Rangkasbitung, tepian Sungai Ciujung, sekitar 70 kilometer sisi tenggara Serang.
Novel adikaryanya telah menggebrak negeri Belanda dengan kisah penderitaan petani pada masa tanam paksa dan pemerintahan yang korup. Kelak karya sastra sohor ini menginspirasi politik balas budi Belanda untuk tanah jajahannya pada awal abad ke-20.
Sampai hari ini pun novel itu menjadi bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Max Havelaar telah diterjemahkan ke beberapa puluh bahasa, sehingga menjadi bagian dari kesusastraan dunia.
Setelah Hindia Belanda menghapus sistem tanam paksa pada 1870, penanam modal swasta dari Eropa mulai membanjiri negeri jajahan ini. Gerbong-gerbong kereta mengangkut kuli-kuli dari Jawa Tengah menuju Serang. Mereka didatangkan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan swasta.
Namun demikian, situasi yang pernah digambarkan Multatuli tampaknya masih dan akan berulang. "Datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan dirinya pemilik tanah itu. Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa."
Sekitar lima dasawarsa setelah terbitnya novel itu, pemerintah Hindia Belanda bermaksud menuntaskan perkara irigasi—juga penanggulangan banjir dan paceklik—di Banten Utara. Pemerintah menggulirkan proyek pembangunan bendung di aliran Sungai Ciujung. Lokasinya di Serang, tepatnya di Kawedanan Pamarayan.
Gagasan pembangunan bendung ini seolah ingin menyangkal apa yang pernah dikatakan Multatuli dalam novelnya: "Di tempat penduduk menipis karena kekurangan atau kelaparan, dikatakanlah sebagai akibat paceklik, kekeringan, hujan, atau semacamnya, dan tidak pernah karena salah urus dalam pemerintahan."
Latar Sosial Historis Bendung Pamarayan Lama
Apa beda "bendung" dan "bendungan"? Menurut Kementerian PUPR, "bendung" merupakan bangunan yang dipergunakan untuk meninggikan muka air di sungai sampai ketinggian tertentu—namun air tetap mengalir melewati ketinggian bendung. Di sisi lain, "bendungan" merupakan bangunan berupa urukan tanah, batu, dan beton yang dibangun untuk menahan dan menampung air.
Sungai Ciujung mengular sejauh 142 kilometer. Berhulu di Gunung Halimun, bermuara di Tekurak—pesisir utara Jawa. Alirannya mendapat pasokan juga dari Gunung Karang dan Gunung Endut. Setelah Sungai Ciujung bertemu Sungai Cibeurang di Rangkasbitung, kemudian alirannya berkelok-kelok menuju pesisir utara Jawa melalui Pamarayan di Kabupaten Serang.
Ibarat nadi bagi kehidupan sepanjang alirannya, sungai ini mengairi sawah-sawah dan menghidupi keluarga-keluarga petani. "Orang Jawa sesungguhnya adalah petani," tulis Multatuli. Menurutnya, "Menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rhine di Selatan Perancis."
B.B.C. Felix memaparkan dalam studinya tentang sejarah latar inisiasi proyek tangkapan air di Pamarayan dan irigasi Sungai Ciujung yang terbit dalam jurnal De Waterstaats-Ingenieur pada 1921.
“Pada 1892 Residen Banten mengemukakan urgensi sebuah penelitian teknis yang penting untuk irigasi dataran Banten, namun atas alasan kebijakan, kekurangan personel menjadi penyebabnya sehingga penelitian yang layak tidak dapat dimulai,” demikian tulis Felix.
Dia merupakan asisten insinyur di Kementerian Jalan dan Pekerjaan Kereta Api Hindia Belanda, dan mantan insinyur di Kementerian Air. Felix menulis dalam tajuk "De watervang te Pamarajan en de daarmee beoogde bevloeiing uit de Tji-Oedjoeng."
Felix juga mengungkapkan bahwa persoalannya bukan hanya irigasi. Pada Desember 1893, pengelola tanah partikelir Cikande-Udik mengeluhkan drainase air.
"Tanggul yang dibangun terlalu dekat dengan sungai Tji-Oedjoeng di awal Jalan Raya Pos Serang-Batavia, mengakibatkan kedua tepian sungai berulang kali dilanda banjir," tulisnya. "Selain itu, pemeliharaan tanggul yang rusak parah akibat banjir juga terlalu membebani masyarakat."
Felix mengatakan, "Sejarah pemberontakan di Cilegon pada Juli 1888 masih begitu segar dalam ingatan dan Komisi merasa harus mempertimbangkan situasi politik Banten dalam nasihatnya." Dia menambahkan, "Kekuasaan Belanda hanya ditoleransi dan dihormati karena force majeure, pembangunan sistem irigasi Tji-Oedjoeng akan menggugah rasa apresiasi masyarakat yang hidup dari pertanian."
Jadi terdapat beberapa aspek yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan bendung ini. Bencana banjir yang selalu merundung sejak beberapa dekade sebelumnya, buruknya irigasi di sekitar perkebunan swasta pada akhir abad ke-19, dan upaya peningkatan ekonomi masyarakat pascapemberontakan petani pada 1888.
Bagaimana kondisi Banten pada awal abad ke-20? Dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche edisi 28 November 1926, R. Broersma—penulis dan peminat masalah sosial budaya Hindia Belanda—mengatakan bahwa "Banten yang katanya miskin itu punya kekayaannya."
Namun, dia menambahkan, "Situasi buruk di kawasan ini tidak akan terlalu buruk jika masyarakat memiliki keinginan yang lebih kuat untuk mengambil semua manfaat dari tanah yang dapat diperoleh dengan menggunakan semua sumber daya yang tersedia, dan yang terpenting adalah dengan tekun."
Kemudian dia menambahkan dengan nada remeh, "Bentuk semangat seperti itu tidak melekat pada masyarakat di daerah tropis."
Sampai awal abad ke-20, masih "sering terjadi kegagalan panen di Banten yang disebabkan oleh datangnya hujan yang terlambat (atau awal), sungai yang meluap, dan oleh banyak hama dan penyakit tanaman," demikian tulis Michael Charles Williams.
Williams menulis dalam studinya bertajuk Communism, Religion and Revolt in Banten in the Early Twentieth Century. Studi ini merupakan tesisnya untuk meraih gelar doktor di School of Oriental and African Studies, University of London pada 1984.
"Sawah seringkali tetap tidak ditanam di wilayah tersebut akibat banjir dan drainase yang buruk. Selama musim hujan, sawah kadang-kadang terlalu dalam terendam air sehingga tidak dapat ditanami, sedangkan pada musim kemarau pasokan air terlalu sedikit," imbuhnya.
Williams menambahkan, "Persentase sawah yang tidak ditanami tertinggi terdapat di distrik Serang, Pontang, Ciruas, dan Ciomas dan dalam tingkat yang lebih rendah di Menes, Caringin, Pandeglang, dan Pamarayan.”
Namun, ketika pemerintah menuntut petani Banten untuk meningkatkan hasil panennya, distrik-distrik itu masih mengalami kemerosotan ekonomi. Mereka tetap "tergantung pada impor beras asing selama musim paceklik sebelum panen."
Lini Masa Pembangunan
Pada Maret 1896, Direktur Burgerlijke Openbare Werken (BOW, departemen pekerjaan umum Hindia Belanda) memenuhi kekurangan tenaga teknis di Banten. Kantor itu menugaskan Van Marle untuk menyurvei untuk kepentingan pembangunan irigasi dan drainase air di Banten Utara.
Van Marle melaporkan hasil penelitian pendahuluannya pada Juli 1897. Dia memberikan pertimbangan mengenai kemungkinan irigasi dari Sungai Ciujung berdasarkan data yang ia kumpulkan mengenai aliran dan permukaan yang dapat diairi.
Felix mencatat, berdasarkan hasil pekerjaan Van Marle dan Jhr. van der Does, kepala insinyur S.W. Becking dari divisi teknik sipil mengajukan rancangan awal berikut dengan penjelasan. Pada Mei 1904, rancangan awal ini diajukan kepada pemerintah.
Beberapa sumber menyebut bahwa perancang bangunannya adalah Simon Snuyf. Dia adalah seorang insiyur sipil pertama yang sejak 1909 bertanggung jawab atas desain bangunan BOW.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Dokumentasi Arsitektur, Snuyf memang telah mendesain arsitektur bangunan-bangunan penting di Hindia Belanda. Sederet karyanya yang masih dikenang adalah Kantor Pos Medan (1909), Sekolah Cikini (1909), kantor NILLMIJ di Batavia (1909), kantor NILLMIJ di Bandung, kantor NILLMIH di Medan, dan Menara Air di Palembang (1928), dan beberapa bangunan lainnya.
Namun demikian, lembaga itu belum menemukan rujukan informasi yang tepercaya berkait Bendung Pamarayan sebagai karya Snuyf. Kemudian, saya menunjukkan beberapa foto mutakhir arsitektur bendung ini kepada Nadia Purwestri, Executive Director Pusat Dokumentasi Arsitektur.
"Saya belum dapat data yang menyebutkan bahwa ini memang karya Snuyf," ujar Nadia. "Jadi saya belum bisa bilang ini karya Snuyf, tapi kalau mengkoreksi juga belum bisa karena memang mirip karya Snuyf."
Cor Passcier dalam Building in Indonesia 1600-1960, mengungkapkan bahwa pada 1912, Snuyf memimpin divisi baru dalam BOW, yakni Afdeeling Gebouwen—sebutan untuk departemen bangunan. Salah satu misi utama dia adalah memasukkan perkembangan arsitektur modern dalam desain-desain bangunan publik di Hindia Belanda.
Sebelumnya, BOW kerap menuai kritik seperti kurangnya pendidikan arsitektur para insinyur yang merancang bangunan sampai soal para insinyurnya yang dituding tidak memiliki latar belakang seni. Semenjak Snuyf menjabat, desain arsitektur bangunan publik BOW tampak lebih mengikuti perkembangan zaman.
Boleh jadi kajian dan rancangan desain awal bendung Pamarayan dilakukan oleh insinyur-insinyur BOW, yang tampaknya belakangan mendapat sentuhan arsitektur modern dari Snuyf.
Sejauh ini kita mendapatkan penjelasan dari Felix perihal kontribusi Snuyf dalam bagian bangunan bendung ini. "Kebutuhan akan pembangunan gudang besar ini adalah salah satu alasan utama untuk merancang bangunan ini dengan sentuhan arsitektur," tulisnya. "Solusi yang elegan untuk bagian atas bangunan adalah karya dari insinyur bangunan Snuyf."
Arsitektur bendung ini bergaya Art-Deco. Panjang bangunannya sekitar 192 meter dengan sepuluh pintu air, yang membentang di kedua tepi sungai. Setiap ujungnya memiliki bangunan bermenara, satu menara di ujung timur dan dua menara di ujung barat.
Menara-menara itu bermahkota dengan gaya Art Deco di puncaknya. Bentangan bendung itu juga memiliki rel untuk lintasan lori di kedua sisi, yang digunakan untuk pengawasan dan kelancaran operasional pintu-pintu airnya.
Dua bangunan menara, keduanya di sisi barat, memiliki gudang di lantai dasarnya. Satu menara dirancang dengan tangga di dalamnya untuk menuju akses ke jembatan atas, sedangkan menara di sebelahnya memiliki tiga lantai untuk ruang kantor, ruang arsip, dan penampungan air.
"Namun," Felix menambahkan, "perhitungan yang terkait dengan desain ini, pada dasarnya dilakukan oleh insinyur Niels Thiele, di bawah pengawasannya sebagian besar pelaksanaan proyek juga dilakukan."
Bendung ini ditahbiskan sebagai bendung terbesar pertama yang dibangun pemerintah Hindia Belanda, demikian menurut laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Pemerintah kolonial jatuh bangun untuk mewujudkan bendung ini. Pembangunan bendung dan saluran irigasinya memakan waktu lebih dari tiga dasawarsa, bermula pada 1905 sampai operasional resminya pada 1939. Keberadaannya menjadi tengara awal teknologi hidrolik modern di Hindia Belanda, sekaligus penerapan Politik Etis pada 1901 dan Undang-undang Desentralisasi pada 1903.
Mush’ab ‘Abdu Asy Syahid dan Restu Wigati menghimpun sejarah tahapan pembangunannya. Kedua peneliti itu dari Departemen Teknik Sipil, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Studi mereka bertajuk "Twentieth-century modern-colonial irrigation development in Banten: Technological Review of Pamarayan Old Stuwdam" yang terbit di Fondasi: Jurnal Teknik Sipil, Volume 12 Nomor 1, April 2023.
Mereka memaparkan empat tahapan pembangunan bendung ini, yang ternyata banyak kendala—baik alam maupun teknis.
Tahap Pertama (1905-1912)
Penutupan Sungai Ciujung dan penggalian saluran baru untuk mengalihkan air selama proses pembangunan berjalan. Upaya sebelumnya untuk menutup muara lama gagal karena banjir.
"Awalnya direncanakan selesai dalam dua tahun. Namun, proyek ini menemui kendala teknis dan kegagalan upaya pertamanya dalam mendirikan bendungan permanen karena dasar berpasir yang dapat ditembus air," tulis Syahid dan Wigati. "Dasar sungai yang berpasir menyebabkan kendala teknis pada saat penggalian, seperti penemuan atau batang pohon yang menjadi fosil di dalam tanah."
Seberapa besar aktivitas pembangunannya? Material pembangunan konstruksi bendung ini terdiri atas batu galian, kerikil, pasir beton, semen merah, batu kapur, kayu gelondongan.
Sebagian didatangkan dari kawasan sekitar seperti kerikil yang ditambang dari hulu Sungai Ciujung, pasir yang ditambang dari dekat pintu air. Kebutuhan batu dipasok dari Bukit Cerlang di Anyer Lor.
Material batu, kapur, beton bertulang dan baja didatangkan menggunkan jasa kereta api Staatspoorwagen. Stasiun Catang, yang berada sekitar tiga kilometer dari proyek pembangunan bendung, menjadi pintu masuk material-material tadi. Kayu jati diangkut menggunakan rakit dari sebuah tempat di kawasan hulu.
Tahap Kedua (1912-1919)
Pekerjaan pembangunn konstruksi memerlukan jumlah sumber daya manusia. Setidaknya pembangunan ini mempekerjakan 540 orang kuli setiap hari selama sekitar 3,5 tahun. Sayangnya, proyek tersebut tertunda akibat Perang Dunia Pertama yang berkecamuk pada 1914-1918.
Bendung ini direncanakan sebagai bendung gerak yang memiliki pintu air berplat besi garapan Risomes dan Rapher Ltd. dari Inggris. Pintu airnya dapat diatur menurut ketinggian muka air.
Pada akhir periode tahap kedua, sekitar 300-350 kuli didatangkan dari Rangkasbitung dan Petir untuk bekerja di Pamarayan setiap hari. Mereka dibayar sekitar 20-30 sen untuk setiap satu meter kubik tanah yang mereka muat dan pindahkan.
Menurut Felix, pada April 1919 pembangunan bendung Pamarayan dianggap selesai dengan biaya pembangunan sekitar 1.260.000 gulden. Namun, proyek belum selesai sepenuhnya karena pembangunan saluran induk dan saluran irigasi yang memasok air ke sawah-sawah masih berlanjut.
Dalam Koloniale Studien, sebuah jurnal asosiasi untuk studi masalah sosial kolonial yang terbit pada 1918, Broersma memberikan testimoni untuk bangunan bendung di Sungai Ciujung itu sebagai "sebuah keuntungan bagi Bantam, simbol sejati dari kebaikan pemerintah Belanda terhadap anak-anak negeri, sebuah monumen bagi konsepsi yang saat ini merawat kepentingan nasional."
Tahap Ketiga (1928-1931)
Rencananya, tahap ketiga ini mencakup pekerjaan saluran utama, jaringan pipa air, dan struktur terkaitnya. Pekerjaan berikutnya adalah mengeringkan dan mengubah daerah rawa menjadi sawah yang subur.
Pada 1929, sekitar 25.000 bau—sekitar 18.500 hektare lahan garapan—telah selesai dibangun di tepi kiri Ciujung. Saluran utama sepanjang 50 kilometer yang menjangkau wilayah Cilegon juga sedang dibangun.
Namun, sebagian pekerjaan pada konstruksi periode ini ditangguhkan sementara karena dampak Depresi Besar, dan baru dimulai lagi hingga fase keempat.
Tahap Keempat (1935-1939)
Karena tertundanya tahap ketiga, pembangunan saluran irigasi Ciujung baru berlanjut pada 1935. Proyek ini menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk setempat, namun masih mengandalkan pekerja yang lebih memadai dari Batavia dan Cirebon. De Lokomotief, surat kabar yang menyuarakan kaum pendukung politik balas budi, mengabarkan dalam edisi 16 Juni 1936 bahwa bendungan dibuka sementara pada 1936.
Pembangunan bendung ini telah selesai sepenuhnya pada 1939. Bangunan ini telah berhasil memasok air melalui saluran utama sepanjang 48 kilometer. Alirannya bercabang melaui pipa-pipa untuk mengairi sawah dan 2.820 bau—lebih dari 2.000 hektare—di Ciwaken dan Cibanten.
Pamarayan dan Pemberontakan Komunis di Banten 1926
Jan Christiaan Bedding, Residen Banten 1922–1925, pernah menulis bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak memiliki masa depan di Banten. Dia juga memastikan gerakan Marxisme tidak akan berpengaruh di wilayahnya, meski gerakan itu sudah tampak sejak 1914 di Hindia Belanda.
Keyakinan Bedding itu didukung fakta bahwa sampai akhir 1924, di Banten hanya terendus dua orang yang menjadi anggota komite Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi politik berhaluan Marxisme-Leninisme pertama di Hindia Belanda. Mereka adalah Hasan Djajadiningrat dan J.C. Stam. Pun, organisasi itu tidak pernah membuka cabangnya di Banten.
Bedding kecolongan. Kurang dari dua tahun setelah dia menyatakan pendapatnya, ternyata komunise bersama gerakan Islam militan telah berakar kuat di kawasan ini. Perkembangan tiba-tiba ini mengejutkan pemerintah kolonial.
Menurut penelitian Williams, Banten menjadi salah satu tempat utama pemberontakan terpenting dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20—sebelum Indonesia merdeka. “Wilayah pemberontakan sebenarnya terbatas pada kabupaten Pandeglang, khususnya di daerah Menes-Labuan dan Distrik Petir di Kabupaten Serang," tulisnya.
Ada beberapa aspek yang bisa dijelaskan mengapa PKI mendapat dukungan di Banten. Propaganda partai palu-arit itu mendukung penghapusan pajak mendapat sambutan petani-petani di Banten. Para petani juga terpikat dengan propaganda bahwa mereka akan bebas dari tekanan para priyayi yang menjadi antek Belanda.
"Petani dikenakan pajak hingga batas kemampuan mereka," tulis Williams. Menurutnya, pajak menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan petani. Ketidakpuasan terhadap pajak kepala sangat terasa di Banten karena besarannya dinaikkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pajak kepala menjadi beban yang sangat berat di Banten, karesidenan yang seringkali menuai panen yang sangat buruk pada 1920-an.
Sementara itu standar hidup petani menurun secara dramatis setelah Perang Dunia Pertama. Daya beli uang dan nilai pendapatan juga menurun antara 1913 dan 1920. Pada awal dekade 1920-an, sewa tanah meningkat drastis di Banten. Pekerjaan semakin sulit didapat dan tingkat upah merosot.
Perkara pajak dan kerusuhan, sejatinya kita bisa menengok kembali salah satu aspek yang menyulut Pemberontakan Petani di Cilegon pada 1888. Pasalnya, pada 1882, pemerintah memperkenalkan pajak baru, yaitu pajak kepala, yang sangat berkontribusi pada ketidakpuasan para petani.
Williams mengungkapkan bahwa sekitar 12-15 November 1926, terjadi kecamuk pertempuran. Para petani—di bawah pimpinan ulama dan simpatisan PKI—melawan KNIL di daerah Labuan, Caringin dan Menes di wilayah Pandegelang, Banten.
Berdasar Laporan Residen Banten 1927-1928, Williams mengungkapkan bahwa pada akhir perlawanan, 99 orang dibuang ke Boven Digoel, sembilan orang dihukum penjara seumur hidup, dan empat orang dihukum tewas.
Dari jumlah 99 orang yang dibuang ke Boven Digoel, sepuluh orang berasal dari Pamarayan:
Kiai Haji Mohammed Gozali, 38 tahun, ulama; lahir dan tinggal di Pamarayan;
Tubagus K. H. Abdulhadi, 39 tahun, ulama, lahir di Pamarayan;
Haji Soeeb, 35 tahun, petani, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Daud, 50 tahun, petani dan pedagang, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Abdulmalik, 56 tahun, pedagang, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Tubagus H. Arifin, 55 tahun, petani, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Tubagus Mohammad Isa, 35 tahun, petani, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Haji Jahja, 42 tahun, ulama, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Tubagus Mardjuk, 36 tahun, pedagang, lahir dan tinggal di Pamarayan;
Alikasim, 18 tahun, petani, lahir dan tinggal di Pamarayan.
Williams mengungkapkan bahwa sasaran utama dari para pemberontak adalah pangreh praja. Utamanya, pejabat polisi yang dibunuh tanpa ampun oleh para pemberontak. Namun, para pemberontak lebih pilih-pilih terhadap sasaran pegawai pemerintah umumnya.
Saya berjumpa Isep Farihat, juru pelihara Bendung Lama Pamarayan, di bekas ruangan Juru Bendung. Dia mengatakan bahwa bendung ini dinamakan Pamarayan karena berada di Kawedanan Pamarayan. "Kawedanan Pamarayan itu lokasinya di pinggir Ciujung, dekat Pasar Pamarayan," ujarnya. "Sayangnya bangunan pendoponya sudah tidak ada karena kena abrasi sungai."
Surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1927 menerbitkan berita pendek bertajuk "De aanslag op den wedana van Pamarajan"—percobaan pembunuhan terhadap wedana Pamarayan. "Pengadilan memulai kasus terhadap para komunis yang terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap wedana Pamarajan pada tanggal 4 Februari," demikian rilisnya.
Selanjutnya, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 11 April 1927, menerbitkan judul berita "De Pamarajan-zaak"—kasus Pamarayan. "Tuan Roskott, Ketua Pengadilan di Serang, memulai persidangan hari ini untuk memproses bagian pertama kasus Pamarajan (serangan komunis terhadap wedana)," demikian tulis surat kabar itu. "Empat terdakwa: Kadjimoen, Roeskan, Sapioedin dan Ahbar dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 10, 10, 8 dan 11 tahun, setelah dikurangi masa tahanan sementara."
Surat kabar itu juga menambahkan, "Pengadilan memulai persidangan kelompok kedua yang terlibat dalam serangan terhadap wedana Pemarajan. Dari 13 terdakwa, delapan di antaranya diperiksa. Semua membantah rencana pembunuhan. Mereka mengakui bergabung dengan kelompok tersebut. Persidangan akan dilanjutkan sore ini."
Pemberontakan PKI 1926 di Banten memang tidak menghasilkan pencapaian revolusi sosial karena pada kenyataannya pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, Williams mengungkapkan bahwa unsur koalisi ulama, jawara, elemen bangsawan lama, dan komunis yang bersama-sama melawan pemerintahan muncul kembali dalam revolusi sosial di Banten pada 1945-1946.
“Komunis, Muslim, dan perampok bukanlah sekutu alami," tulis Williams. Namun, ciri khas dari pemberontakan 1926 dan revolusi 1945 adalah "hubungan kerja sama yang erat dalam ketiga kelompok tersebut dalam mengejar tujuan revolusioner yang sama, yaitu menggulingkan pemerintahan yang ada."
"Elemen yang sama yang memberontak pada 1926 berkumpul kembali pada bulan-bulan terakhir pendudukan Jepang," tulis Williams. Di beberapa daerah, koalisi semacam ini mulai berpisah setelah Revolusi Sosial pada 1945. Namun setelah 1945, "masih ada tradisi di Banten dari beberapa pemimpin agama [...] yang terus memeluk idealisme politik radikal dan kiri.”
Williams menjelaskan alasan munculnya koalisi tiga unsur yang mewarnai arus utama perlawanan kepada pemerintahan Hindia Belanda. Faktor utama, ketiga unsur itu merasa sangat tidak puas atas kehilangan hak istimewa dan penghinaan kolektif yang diderita akibat pemerintahan kolonial.
"Pemegang kekuasaan tradisional ini telah berjuang keras dan berhasil mempertahankan pengaruh mereka di masyarakat pedesaan Banten, tetapi tidak menemukan refleksi pengaruh mereka dalam pemerintahan," tulis Williams.
Pamarayan Semasa Penegakan Kedaulatan
Syahid dan Wigati mengungkapkan situasi bendung ini pada masa revolusi kemerdekaan, sekitar 1947-1949. "Pamarayan dianggap sebagai salah satu infrastruktur perairan strategis di Jawa, dan dijaga penuh oleh pangkalan militer Belanda selama berbulan-bulan," tulis mereka.
Pendapat mereka berdasar sebuah berita yang terbit di surat kabar Winschoter edisi Kamis, 28 Juli 1949, yang berjudul "De stuwdam-specialisten van Pamarajan."
"Ada bendungan besar Pamarajan yang selesai dibangun pada tahun 1939 dan mengatur irigasi yang sangat penting bagi Banten Utara. Beberapa ratus meter lebih jauh lagi terdapat pos Kompi ke-4 dari 3—12 R.I., yang hanya terdiri dari orang Utara. 'Ini bendungan ketiga yang harus kami jaga,' kata Reitsma asal Eenrum," demikian dalam paragraf pembukanya.
Jurnalis Winschoter mencatat, "Orang-orang ini khususnya ahli dalam menjaga bendungan, tetapi mereka memiliki tugas yang berat dalam menjaganya."
Pada pertengahan 1949, hanya tinggal beberapa kelompok di perbatasan wilayah yang ditempati detasemen ini. Untuk mencapai daerah terpencil ini mereka perlu menempuh perjalanan jauh, catat surat kabar itu. "Namun kondisi jalan di kawasan ini masih bagus sehingga banyak yang bisa dilalui mobil."
Situasinya selalu sepi sejak hari pertama mereka bertugas di Pamarayan. Serdadu-serdadu itu memang mendapat serangan dari TNI, "namun dapat dipadamkan karena patroli intensif sehingga mereka bubar di antara penduduk, datang untuk melaporkan diri atau pergi ke daerah lain."
Para serdadu Belanda itu pernah juga mengalami kesulitan selama beberapa bulan pertama di Pamarayan. Namun, sejatinya medan di kawasan ini jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat yang berupa pegunungan. Medan berpunuk-punuk, seperti di Kuningan atau Linggajati tentu menyulitkan serdadu-serdadu asal Belanda utara—negeri dataran. Di Pamarayan, mereka tampaknya merasa kerasan karena daerah datar yang luas, pun perlawanannya terbatas.
Patroli militer menjadi bagian aktivitas utama harian para serdadu. "Piet van Til, tukang sepeda dari Groningen, telah bekerja keras untuk mempersiapkan sepeda kompi pada hari kunjungan kami," catat si jurnalis, "karena patroli sepeda akan berangkat menjelang malam."
Saat itu mereka mendapat laporan bahwa seorang pemimpin dari pihak Republik telah tiba sehingga mereka harus kembali mengatur strategi perlawanan. "Tindakan harus diambil segera, jika orang ini tertangkap, maka ketenangan di daerah tersebut akan terjaga," tulisnya.
Jurnalis Winschoter mengungkapkan, "Pada 1926, tempat ini menjadi salah satu pusat pemberontakan Banten." Namun, ia mengabarkan juga tentang kondisi terkini berkait respons masyarakat sekitar ketika detasemen Belanda membangun pos penjagaan di Pamarayan.
Mereka juga mengatakan bahwa ada perbedaan suasana hati yang mencolok antara daerah di sebelah kanan dan kiri sungai. Di sebelah kanan, daerah itu berbatasan dengan distrik federal Batavia. "Bantuan masyarakat di sebelah kanan sungai tidak hanya pada bulan pertama. Mereka sigap memberikan informasi: patroli militer diperkuat serta merta oleh masyarakat kampung yang bersenjatakan golok."
Namun demikian, "dalam survei terbaru, 80 persen penduduk memilih untuk bergabung dengan Republik," tulis jurnalis surat kabar itu. "Di sinilah kesulitan terbesar muncul selama pendudukan."
Jurnalis Winschoter juga mengungkapkan kehidupan para serdadu ketika tidak sedang bertugas. Seorang serdadu menceritakan, “Apa yang kami lakukan di sini, selain patroli dan jaga? Bermain sepak bola dan voli. Kami memiliki kegemaran bermain catur, dam, dan tenis meja."
Sepak bola menjadi salah satu olahraga favorit mereka. Ketika musim hujan berakhir beberapa bulan sebelumnya, mereka membangun lapangan sepak bola. "Dua sawah digabungkan dan dibuat rata, dan penduduk, yang juga ingin bermain sepak bola, bergantian memberikan tenaga kerja," tulisnya. "Peresmian lapangan olahraga baru menjadi ajang olahraga besar, ketika batalyon dan penduduk berpartisipasi."
Ketika musim kemarau tiba, lapangan itu kering kerontang. Rumput-rumput menghilang disusul munculnya tanah yang pecah-pecah. Mereka pun meninggalkan olahraga sepak bola. "Yang tersisa adalah olahraga yang sangat populer di kalangan militer di Indonesia; bola voli, semacam tenis tangan dengan bola besar. Hanya ada lapangan kecil dan sedikit peralatan yang dibutuhkan," tulisnya.
Serdadu-serdadu itu telah berada di negeri tropis ini selama lebih dari dua setengah tahun. “Sebenarnya Anda tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Anda hanya menunggu demobilisasi datang,” ujar salah seorang serdadu kepada si jurnalis.
Pamarayan Semasa Pembangunan
Surat kabar Java-bode nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi Kamis, 6 September 1951, mengabarkan kunjungan Presiden Sukarno di Rangkasbitung, Pandeglang dan Serang pada 5 September 1951. "Rabu sore, Presiden Sukarno mengunjungi Bendungan Pamarajan yang mengairi 24.000 ha sawah di Banten Utara dan Barat Laut." Berita dimuat dalam judul President spreekt tot de jeugd in Rangkasbitung, bevolking langs weg wilde ,,Bung Karno'' horen—Presiden berbicara kepada para pemuda di Rangkasbitung. Penduduk di sepanjang jalan ingin mendengar ‘Bung Karno’.
Saya berjumpa dengan Ahmad Hudaya, pensiunan pegawai Bendung Lama Pamarayan dan Bendung Baru Pamarayan. Dia mengungkapkan kenangan ibundanya ketika Presiden Sukarno berkunjung ke desa mereka. Sang ibunda menyaksikan Presiden berjalan kaki menuju bendung. "Bung Karno berjalan kaki sambil melambai-lambaikan tangannya," kata Hudaya menirukan Ibundanya bercerita.
Kini, Hudaya berjualan kudapan dan kelapa muda di dekat bendung lama. "Saya lihat foto Bung Karno minum kelapa muda yang dipajang di kantor," ujarnya, "makanya saya sekarang jualan kelapa muda."
"Setengah abad setelah tahap konstruksi terakhir," tulis Syahid dan Wigati, "pemerintah Indonesia menciptakan sebuah rencana induk pengendalian banjir di Sungai Ciujung" pada 1983 dan 1985. Proyek yang berada di daerah tangkapan air antara Pamarayan dan Rangkasbitung ini sebagai respon atas bencana banjir di hilir Ciujung pada 1977.
Kementerian Pekerjaan Umum mengembangkan rencana induk dari kajian pengembangan sumber daya air di Jabotabek pada 1989. Gayung bersambut, Jepang menggulirkan bantuan teknis melalui Japan International Cooperation Agency dan Nippon Koei, yang bertujuan mengkaji Sungai Ciujung-Cidurian pada 1993-1995.
Tamatnya Riwayat Bendung Terbesar Pertama di Hindia Belanda
Bendung Pamarayan merupakan tengara awal praktik rekayasa hidrolik modern pada awal abad ke-20. Namun demikian, bersumber arsip-arsip semasa pembangunan, kedua peneliti itu juga mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan bendungan ini tidak digunakan lagi.
"Permasalahan pemilihan lokasi proyek, kendala alam berupa melimpahnya material pasir di dasar sungai, banjir, dan angin muson yang merusak yang mengganggu proses konstruksi, menjadi beberapa faktor utama penyebab tidak berfungsinya struktur bendungan," tulis Syahid dan Wigati.
Kedua peneliti itu mengungkapkan juga bahwa pada dasarnya tanah pertanian di sepanjang Sungai Ciujung memiliki kandungan yang kaya akan tuf (jenis batuan piroklastik yang mengandung debu vulkanik), tetapi miskin tanah subur. Peningkatan hasil panen pun perlu didorong asam fosfat dan pupuk. "Hal ini tentu saja sangat mengecewakan setelah menghabiskan sumber daya pada proyek besar tersebut." Di samping itu, menurut arsip yang mereka himpun, "kualitas air irigasi di sana termasuk yang terburuk di Jawa."
Terjadinya pendangkalan dan menurunnya tekanan debit aliran Sungai Ciujung telah menyebabkan berkurangnya performa bendung Pamarayan, di samping perkara uzurnya konstruksi. Atas pertimbangan itu pemerintah memulai pembangunan bendung Pamarayan Baru pada 1992, sekitar satu kilometer di sisi barat daya bendung lama. Dalam pembangunan ini Indonesia mendapat sokongan dana Overseas Economic Cooperation Fund dari Jepang.
Bendung baru diresmikan pada 1997, menggantikan bendung lama. Dimensinya lebih kecil dibanding bendung lama bikinan Hindia Belanda. Bentangannya 'hanya' 137,5 meter dan 'hanya' memiliki enam pintu pengendali air.
Selama enam dekade, aliran bendung termegah pertama di Hindia Belanda itu telah bergemuruh. Namun, ia berlabuh sejak suadaranya bertumbuh. Ingatan setiap generasi kepadanya pun luruh.
Kini bendung lama itu telah berdiam, menghentikan segala kegiatan. Kendati beberapa bagian konstruksinya tampak merapuh, menara dan pintu-pintu airnya masih menjulang seolah menolak lupa sebagai bagian tengara perjalanan revolusi sosial di Banten.
Ia melewati masa-masa sulit ketika bencana banjir dan kegagalan panen, perpajakan yang membinasakan petani, perlawanan petani dan ulama Banten terhadap pemerintah kolonial yang menjadi salah satu pemberontakan terpenting dalam sejarah Indonesia sepanjang 1900-1945, sekaligus tengara awal penerapan teknologi hidrolik modern di negeri kita.
"Masyarakat Pamarayan harus berterima kasih kepada Simon Snuyf, meski dia orang Belanda," kata Isep Farihat, juru pelihara Bendung Lama Pamarayan. "Berkat bendung buatannya, masyarakat mendapatkan banyak manfaat"—seperti sawah-sawah yang mendapatkan pasokan aliran irigasi.
Keberadaan bendung ini juga menandai toponimi baru. Semenjak beroperasinya bendung ini, Pamarayan 'terbelah' menjadi dua. Tapak bendung sisi timur berada di Pamayaran, sementara orang-orang menjuluki tapak bendung sisi di seberangnya dengan toponimi "Panyabrangan".
"Desa Panyabrangan baru ada pascapembangunan jembatan [bendung]," ungkap Isep. "[Dahulu] ruang lingkup Pamarayan semuanya."
Isep bangga akan tugasnya yang sudah ditekuni sejak 2012. Sebagai warga Pamarayan dia merasa memiliki bendung tua ini, yang bukan sekadar mewarnai masa kanan-kanaknya tetapi juga karena desanya memiliki tinggalan peradaban silam dalam pengaturan air di Banten. Pekerjaan juru pelihara ini menurutnya mengasyikkan karena dia bisa melakukan "interaksi dengan masyarakat, sambil belajar menggali tentang sejarah."
Keluarga besarnya lahir dan tumbuh di Pamarayan, sehingga dia meyakini bahwa leluhurnya—mungkin buyutnya—turut membangun bendung ini.
"Kakek-kakek kita di sini mungkin ikut membangun bendung ini," ujar Isep, "Bangunan ini hasil karya mereka, jadi sudah sepantasnya masyarakat di sini ikut merawat dan melestarikannya."
Isep memiliki cita-cita membangun museum sederhana di salah satu ruangan di Bendung Lama Pamarayan. Dia berpikir untuk menampilkan foto-foto berkait perjalanan bendung ini dari masa ke masa beserta penjelasannya.
Selain museum, dia juga ingin membangkitkan kembali Bendung Lama Pamarayan sebagai tempat berkumpul dan diskusi komunitas-komunitas budaya setempat. Dia dan kawan-kawannya pernah menginisiasi gelaran acara pentas tari dan baca syair di pekarangan bendung ini beberapa tahun silam.
Biaya pembangunan bendung dan saluran irigasi pendukungnya boleh jadi menelan lebih dari dua juta gulden. Bendungan semegah apapun bisa kita bangun dalam ruang dan waktu tertentu, akan tetapi perlu sepanjang masa untuk merawat ingatan tentang cerita kota dan bangunannya.
Kita pun kembali teringat kata-kata Multatuli dalam Max Havelaar. "Uang bisa membeli batu bata dan kapur. Seniman yang membuat rencana, dan tukang batu yang meletakkan batu, bisa dibayar," tulisnya dalam bab kelima. "Namun, uang tidak bisa membeli rasa kehilangan atas perasaan kagum akan sebuah puisi yang tampak dari sebuah bangunan, sebuah puisi dalam batu granit yang berbicara lantang kepada rakyat, sebuah puisi dalam pualam yang berdiri di sana sebagai doa abadi..."
Setiap bangunan penanda kota selalu memiliki moral cerita. Apakah pelan-pelan kita akan meninggalkan dan melupakan riwayat bendung tua ini? Semoga kata-kata Multatuli ini tidak terulang: "De omnibus aliquid, de toto nihil,"—semuanya ada, tetapi tidak berarti apa-apa.