Bendung Lama Pamarayan: Risalah Max Havelaar dan Monumen Revolusi Sosial di Sungai Ciujung 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 13 Januari 2024 | 21:00 WIB
Bendung Lama Pamarayan yang pernah dialiri gemuruh Sungai Ciujung. Arsitekturnya bergaya Art Deco. Proyek pembangunan bermula pada 1905, bangunan bendung selesai pada 1919. Namun proyek pembangunan saluran irigasi secara keseluruhan berakhir secara resmi pada 1939. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Namun demikian, situasi yang pernah digambarkan Multatuli tampaknya masih dan akan berulang. "Datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan dirinya pemilik tanah itu. Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa." 

Sekitar lima dasawarsa setelah terbitnya novel itu, pemerintah Hindia Belanda bermaksud menuntaskan perkara irigasi—juga penanggulangan banjir dan paceklik—di Banten Utara. Pemerintah menggulirkan proyek pembangunan bendung di aliran Sungai Ciujung. Lokasinya di Serang, tepatnya di Kawedanan Pamarayan.

Gagasan pembangunan bendung ini seolah ingin menyangkal apa yang pernah dikatakan Multatuli dalam novelnya: "Di tempat penduduk menipis karena kekurangan atau kelaparan, dikatakanlah sebagai akibat paceklik, kekeringan, hujan, atau semacamnya, dan tidak pernah karena salah urus dalam pemerintahan."

   

Latar Sosial Historis Bendung Pamarayan Lama

Apa beda "bendung" dan "bendungan"? Menurut Kementerian PUPR, "bendung" merupakan bangunan yang dipergunakan untuk meninggikan muka air di sungai sampai ketinggian tertentu—namun air tetap mengalir melewati ketinggian bendung. Di sisi lain, "bendungan" merupakan bangunan berupa urukan tanah, batu, dan beton yang dibangun untuk menahan dan menampung air. 

Sungai Ciujung mengular sejauh 142 kilometer. Berhulu di Gunung Halimun, bermuara di Tekurak—pesisir utara Jawa. Alirannya mendapat pasokan juga dari Gunung Karang dan Gunung Endut. Setelah Sungai Ciujung bertemu Sungai Cibeurang di Rangkasbitung, kemudian alirannya berkelok-kelok menuju pesisir utara Jawa melalui Pamarayan di Kabupaten Serang.

Bendung Pamarayan Lama memiliki dua menara di ujung bentangannya. Menara itu memiliki mahkota bergaya Art Deco. Tampak rel di kanan dan kiri untuk melintas lori. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Ibarat nadi bagi kehidupan sepanjang alirannya, sungai ini mengairi sawah-sawah dan menghidupi keluarga-keluarga petani. "Orang Jawa sesungguhnya adalah petani," tulis Multatuli. Menurutnya, "Menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rhine di Selatan Perancis."

B.B.C. Felix memaparkan dalam studinya tentang sejarah latar inisiasi proyek tangkapan air di Pamarayan dan irigasi Sungai Ciujung yang terbit dalam jurnal De Waterstaats-Ingenieur pada 1921.

“Pada 1892 Residen Banten mengemukakan urgensi sebuah penelitian teknis yang penting untuk irigasi dataran Banten, namun atas alasan kebijakan, kekurangan personel menjadi penyebabnya sehingga penelitian yang layak tidak dapat dimulai,” demikian tulis Felix.

Suasana di dalam menara Bendung Lama Pamarayan. Menurut Isep Farihat, yang bertugas juru pelihara, beberapa tahun setelah tidak beroperasi, bendung ini mengalami penjarahan. Pagar tangga atau balustrade dalam menara pun turut raib. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)