Namun demikian, situasi yang pernah digambarkan Multatuli tampaknya masih dan akan berulang. "Datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan dirinya pemilik tanah itu. Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa."
Sekitar lima dasawarsa setelah terbitnya novel itu, pemerintah Hindia Belanda bermaksud menuntaskan perkara irigasi—juga penanggulangan banjir dan paceklik—di Banten Utara. Pemerintah menggulirkan proyek pembangunan bendung di aliran Sungai Ciujung. Lokasinya di Serang, tepatnya di Kawedanan Pamarayan.
Gagasan pembangunan bendung ini seolah ingin menyangkal apa yang pernah dikatakan Multatuli dalam novelnya: "Di tempat penduduk menipis karena kekurangan atau kelaparan, dikatakanlah sebagai akibat paceklik, kekeringan, hujan, atau semacamnya, dan tidak pernah karena salah urus dalam pemerintahan."
Latar Sosial Historis Bendung Pamarayan Lama
Apa beda "bendung" dan "bendungan"? Menurut Kementerian PUPR, "bendung" merupakan bangunan yang dipergunakan untuk meninggikan muka air di sungai sampai ketinggian tertentu—namun air tetap mengalir melewati ketinggian bendung. Di sisi lain, "bendungan" merupakan bangunan berupa urukan tanah, batu, dan beton yang dibangun untuk menahan dan menampung air.
Sungai Ciujung mengular sejauh 142 kilometer. Berhulu di Gunung Halimun, bermuara di Tekurak—pesisir utara Jawa. Alirannya mendapat pasokan juga dari Gunung Karang dan Gunung Endut. Setelah Sungai Ciujung bertemu Sungai Cibeurang di Rangkasbitung, kemudian alirannya berkelok-kelok menuju pesisir utara Jawa melalui Pamarayan di Kabupaten Serang.
Ibarat nadi bagi kehidupan sepanjang alirannya, sungai ini mengairi sawah-sawah dan menghidupi keluarga-keluarga petani. "Orang Jawa sesungguhnya adalah petani," tulis Multatuli. Menurutnya, "Menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rhine di Selatan Perancis."
B.B.C. Felix memaparkan dalam studinya tentang sejarah latar inisiasi proyek tangkapan air di Pamarayan dan irigasi Sungai Ciujung yang terbit dalam jurnal De Waterstaats-Ingenieur pada 1921.
“Pada 1892 Residen Banten mengemukakan urgensi sebuah penelitian teknis yang penting untuk irigasi dataran Banten, namun atas alasan kebijakan, kekurangan personel menjadi penyebabnya sehingga penelitian yang layak tidak dapat dimulai,” demikian tulis Felix.