Sejarah Dunia: Ketika Bangsa Eropa Saling Berebut Rempah-Rempah

By Sysilia Tanhati, Jumat, 12 Juli 2024 | 08:00 WIB
Perang rempah-rempah bisa dianggap sebagai salah satu konflik pertama yang melanda sebagian besar wilayah dunia. Bagaimana kisah perang rempah dalam sejarah dunia? (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Perang rempah-rempah bisa dianggap sebagai salah satu konflik pertama yang melanda sebagian besar wilayah dunia.

Perang rempah-rempah terjadi antara tiga negara besar Eropa pada waktu yang berbeda—Inggris, Portugis, dan Belanda.

Namun Prancis dan Spanyol juga turut ambil bagian. Bagaimana kisah perang rempah dalam sejarah dunia?

Perdagangan rempah-rempah di dunia kuno

Kerajaan-kerajaan besar Eropa mendominasi perdagangan rempah-rempah pada abad ke-16 hingga ke-18.

Namun sebenarnya perdagangan rempah-rempah telah berlangsung selama berabad-abad, terutama antara negara-negara Afrika dan Asia.

“Para pelaut Indonesia khususnya membangun jalur perdagangan,” tulis Chester Ollivier di laman The Collector.

Indonesia kemudian dikenal sebagai “Kepulauan Rempah-Rempah” pada Periode Modern Awal. Saat itu perdagangan mulai berkembang pesat dengan negara-negara Eropa.

Rute-rute ini umumnya antara Indonesia dan kerajaan-kerajaan lain di dalam dan sekitar Asia Tenggara. Hal ini ditunjukkan oleh bukti adanya perdagangan dengan pedagang Tiongkok sejak awal tahun 1500 SM.

Kemudian Afrika Utara turut terlibat dalam perdagangan rempah-rempah. Dari pedagang Afrika Utara, para pedagang Yunani kuno dan Romawi kuno pun dapat menikmati rempah-rempah.

Pedagang dari Persia dan Afrika Utara mencapai Mediterania. Saat itulah rempah-rempah eksotis seperti lada hitam mulai bermunculan di vila-vila orang kaya Yunani dan Romawi.

Baca Juga: Suasana Pasar Lelang Rempah dan Budak Aceh Darussalam Abad ke-17

Perdagangan rempah Abad Pertengahan

Lalu mengapa perdagangan rempah-rempah dari zaman kuno nampaknya terhenti hingga Periode Modern Awal? Salah satu teorinya adalah setelah kebangkitan Islam mendominasi semenanjung Iberia dari abad ke-7 M hingga tahun 1492.

Saat itu, pedagang Arab dan Ottoman menguasai jalur perdagangan utama. Mereka mengendalikan masuk dan keluarnya Eropa melalui Laut Merah dan pintu masuk ke Mediterania melalui Samudra Atlantik.

Baru pada tahun 1498 muncul faktor terbesar yang membuka perdagangan rempah-rempah. Penjelajah Portugis, Vasco da Gama, menjadi orang pertama yang berhasil menjelajahi Tanjung Harapan untuk mencapai India.

Penjelajahannya itu membuka jalur perdagangan baru. Bila berhasil melewati Tanjung Harapan yang berbahaya dan melanjutkan perjalanan ke India, mereka bisa mendapatkan rempah-rempah dari sumbernya. Khususnya rempah-rempah seperti lada hitam, kayu manis, dan kapulaga.

Pada sekitar pergantian abad ke-15—berkat Vasco da Gama dan Christopher Columbus—Periode Modern Awal dimulai.

Perkembangan teknologi dan perdagangan akan menjadi awal dari perdagangan rempah-rempah Eropa. Semua itu akhirnya mendorong terjadinya perang rempah-rempah.

Portugis di India

Berkat keberhasilan pelayaran Vasco da Gama dan kedatangannya di India, perdagangan rempah-rempah terbuka bagi kekuatan Eropa.

Tentu saja, Portugal adalah negara Eropa pertama yang mendapat keuntungan dari ekspedisi ini. Mereka dengan cepat mendirikan koloni di India Selatan, khususnya di pantai barat.

Daerah seperti Goa di pantai barat daya India masih memiliki pengaruh Portugis yang kuat. Salah satunya dapat dilihat saat ini dalam arsitektur bersejarahnya.

Baca Juga: National Geographic Indonesia Merapah Rempah: Kabar dari Selat Malaka 

Pengaruh Spanyol

Tetangga Portugal, Spanyol, juga mulai mengalihkan perhatian mereka ke timur untuk ikut serta dalam perdagangan rempah-rempah. Pada tahun 1519, Raja Charles V dari Spanyol mengirim penjelajah Ferdinand Magellan untuk berlayar ke barat mengelilingi dunia.

Sedihnya, Magellan kehilangan nyawanya di tempat yang sekarang disebut Filipina. Pada awal tahun 1540-an wilayah itu dinamai menurut nama raja Spanyol, Raja Philip II.

“Magellan meninggal dan empat dari lima kapalnya hilang,” ungkap Ollivier.

Namun kapalnya yang tersisa membawa kembali lada hitam dan rempah-rempah lainnya dalam jumlah besar ke Spanyol. Rempah-rempah yang dibawa itu menjadikan perjalanan tersebut sukses secara finansial di mata Charles V.

Belanda memegang kendali

Pemain Eropa terbesar ketiga dalam perdagangan rempah-rempah adalah Belanda. Negara ini mulai meningkatkan perekonomiannya dengan memasok kapal ke Portugal pada abad ke-16. Berkat keterampilan pembuatan kapalnya, Belanda tumbuh sebagai kekuatan Eropa.

Belanda akhirnya menguasai pelayaran dan perdagangan di seluruh Eropa utara. Akhirnya, mereka memutuskan ingin memperluas kekuatan pelayaran dan ingin terlibat dalam perdagangan rempah-rempah. Dan di sinilah konflik sebenarnya dimulai.

Monopoli Belanda atas kepulauan rempah-rempah

Pada awal abad ke-17, sangat jelas terlihat bahwa Belanda ingin menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka akan melakukannya dengan cara apa pun.

Pada tahun 1607, Belanda menjalin aliansi berbasis perdagangan cengkeh dengan Sultan Ternate di Kepulauan Rempah. 2 tahun kemudian, mereka menduduki Kepulauan Banda, yang memberi mereka kendali atas perdagangan pala.

Baca Juga: Tanaman Safron: Manfaat, Cara Minum, Efek Samping dan Harganya

Belanda mengadopsi mentalitas penjajah klasik untuk menindas penduduk lokal Indonesia. Khususnya petani rempah-rempah. Mereka membuat banyak perjanjian dan berusaha menukar rempah-rempah dengan barang-barang yang bahkan tidak dibutuhkan oleh penduduk asli pulau, seperti pisau.

Salah satu tokoh penting dalam Perang Rempah adalah seorang Belanda bernama Jan Pieterszoon Coen. Dia adalah Gubernur Jenderal Belanda di Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan sangat brutal.

Demi menjaga kerahasiaan lokasi perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Rempah-rempah, ia hampir memusnahkan penduduk asli Kepulauan Banda.

J.P. Coen memutuskan untuk menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia.

Belanda memang memonopoli rempah-rempah pada awal abad ke-17. Namun Perusahaan Hindia Timur Inggris dibentuk pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I pada tahun 1600. Perusahaan itu menjadi pesaing serius bagi Belanda.

Masyarakat Kepulauan Banda terus menjual pala dan bunga pala kepada pedagang Inggris, sehingga membuat Coen berang.

Sebagai tanggapannya, ia memerintahkan hampir seluruh penduduk kepulauan Banda dideportasi atau dibunuh. Ia mengganti penduduk asli dengan budak-budak yang ditangkap VOC.

Belanda dan Portugis

Bukan hanya penduduk pribumi saja yang ditindas Belanda. Mereka menyadari bahwa mereka dapat memperluas kendali mereka atas perdagangan rempah-rempah lebih jauh ke utara. Dalam prosesnya, beberapa momen penting selama Perang Rempah terjadi dalam bentuk konfrontasi antara Belanda dan Portugis.

Di India, Belanda mengambil paksa banyak permukiman Portugis pada abad ke-15. Hal ini menciptakan monopoli atas perdagangan lada India. Nantinya, pada masa kebangkitan Kerajaan Inggris, permukiman Belanda ini akan diambil alih oleh Inggris.

Namun, pemain Portugal itu punya satu trik lagi di gudang senjata mereka. Seperti halnya Belanda, Portugis juga memanfaatkan perbudakan—ke mana pun mereka pergi, budak-budak akan mengikuti.

Baca Juga: KRI Dewaruci Angkat Sauh, Memulai Pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024

Setelah perjalanan Vasco da Gama ke sekitar Tanjung Harapan dan melewati Tanduk Afrika, Portugis mendirikan koloni di titik-titik strategis utama. “Koloni itu sering kali dibangun pelabuhan sehingga mereka dapat memperdagangkan kargo,” Ollivier menambahkan lagi.

Selain itu juga membuat awak kapal beristirahat dan menambah persediaan untuk perjalanan berbahaya ke India, Kepulauan Rempah-Rempah, dan sekitarnya.

Salah satu persinggahan utama adalah Angola, di barat daya benua Afrika. Kerajaan Portugis menjajah Angola (dan Mozambik) di mana mereka dapat mengumpulkan budak.

Beberapa dari mereka akan diperdagangkan kembali ke Eropa. Sedangkan yang lainnya akan bepergian bersama para pedagang dengan kapal dan dipaksa bekerja di perkebunan rempah-rempah di Asia.

Bangsa Portugis adalah salah satu negara yang paling banyak memperbudak manusia. Dan ada anggapan bahwa perebutan Angola oleh Portugis merupakan titik balik sikap Eropa terhadap Afrika. Titik balik itu pada akhirnya mencapai puncaknya pada Perebutan Afrika pada abad ke-19.

Menyadari pentingnya memiliki koloni di Afrika untuk kebutuhan strategis mereka, Belanda juga mendirikan koloni di sekitar Afrika Selatan modern. Itulah sebabnya bahasa Belanda tidak terlalu berbeda dengan bahasa Afrika Selatan. Selain untuk tujuan perdagangan, koloni Belanda di Afrika Selatan membantu para pelaut dalam jangka panjang.

Banyak orang meninggal karena penyakit kudis dan rakhitis karena kekurangan vitamin C. Karena alasan itu, Belanda mendirikan koloni di Afrika Selatan. Di koloni itu, Belanda menggunakan budak (dan juga petani Belanda) untuk menanam pohon buah-buahan eksotik. Jadi para pelaut dapat mengisi tenaga mereka di kapal dalam perjalanan ke Kepulauan Rempah-Rempah.

Jika bukan karena koloni Portugis dan Belanda di Afrika, kecil kemungkinan perdagangan rempah-rempah Eropa akan berkembang pesat. Seperti yang terjadi pada abad ke-17 dan seterusnya.

Berakhirnya perang rempah

Meskipun rempah-rempah masih diminati hingga saat ini, perdagangan rempah-rempah di dunia Modern Awal akhirnya berakhir. Ada berbagai alasan mengapa hal ini terjadi, meskipun konsensus umum adalah karena permukiman di benua Amerika.

Dari Amerika datanglah kentang, kopi, dan tembakau. Ketiganya memiliki permintaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rempah-rempah eksotik. Jalur perdagangan baru melintasi Atlantik ke Amerika telah dibuka. Jadi para pelaut tidak lagi diharuskan melakukan perjalanan berbahaya di sekitar Tanjung Harapan untuk mencapai Kepulauan Rempah-Rempah.

Pada abad ke-18 dan ke-19, Perusahaan Hindia Timur Belanda dan Inggris runtuh. Akibatnya, sentralisasi perdagangan rempah-rempah yang selama ini hanya berpusat di Asia Tenggara pun berakhir.

Iklim yang serupa di Amerika Tengah berarti bahwa rempah-rempah juga dapat ditanam di sana—sehingga memudahkan para pedagang Eropa. Mereka tidak perlu jauh-jauh membeli rempah dari Asia lagi.