Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurut Saidin, semua pihak memiliki peran dalam pelestarian, baik di hutan maupun pesisir. Kaldeupa memang memiliki sara atau pemerintahan adat yang berkuasa dalam mengatur tradisi pelestarian, tetapi kekuatan mereka hanya beberapa orang. Atas pemikiran itulah ia menekankan bahwa peran kunci pelestarian justru pada masyarakatnya.

Kemitraan konservasi dalam pelestarian gurita

"Kami mencoba menjalin dengan masyarakat adat," kata La Fasa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kaledupa. Saya dan Fasa berbincang jelang makan malam di pekarangan rumah panggung Kepala Desa Balasuna Selatan.

"70 persen kawasan Taman Nasional itu wilayah pemanfaatan masyarakat—zona pemanfaatan tradisional," kata Fasa. Balai Taman Nasional Wakatobi membentuk model desa konservasi, yang kini berkembang menjadi kemitraan konservasi—kerja sama antara taman nasional dan masyarakat adat. Salah satu kesepakatan konservasi adalah ruang akses yang diberikan kepada masyarakat untuk mengelolanya dalam zona pemanfaatan tradisional. 

Fasa mengungkapkan bahwa salah satu keberhasilan masyarakat adat Kaledupa dalam mengelola pesisir adalah budidaya rumput laut. Kendati semua lokasi budidaya itu berada di zona pemanfaatan, mereka sudah memulainya sejak 1990-an secara tradisional, sebelum taman nasional ditetapkan.

"Untuk Wakatobi," ujarnya, "produksi rumput laut yang terbesar itu ya di sini—Kaledupa. Di Wanci ada, di Tomia ada, tapi tidak terlalu banyak. Produksinya lebih banyak di sini karena lebih luas, lebih subur di sini."

Sup ikan dengan bumbu rempah, tomat, kemangi dan bertabur daun bawang ini begitu menggoda untuk disantap di pesisir Kaledupa. Sepanjang terumbu karang terpelihara, lumbung ikan Wakatobi pun kaya. Masyarakat adat menggunakan zona pemanfaatan tradisional untuk memenuhi kebutuhan mereka di Taman Nasional Wakatobi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kendati meraup sukses dalam produksi rumput laut, lumbung ikan Wakatobi pernah mengalami situasi penangkapan ikan yang berlebihan. "Kenapa terumbu bagus tetapi ikannya berkurang? Karena ikannya tidak diberi kesempatan untuk berkembang biak," ujar Fasa.

Penyebabnya, wilayah ini sepanjang tahun menjadi ajang penangkapan ikan, sehingga menarik banyak nelayan luar yang memasuki perairan Wakatobi. Bahkan, bom ikan marak sekitar 1990-an sampai awal 2000. Akibatnya "wilayah tangkapan mereka agak bergeser," kata Fasa. "Tadinya di pesisir, sekarang mulai agak jauh."

Barata Kahedupa memiliki tradisi pelestarian ekologi pesisir melalui namonusara, daerah yang dilindungi namun bisa dimanfaatkan dalam musim-musim tertentu. Tradisi buka-tutup akses pengambilan sumber daya oleh masyarakat ini diawali dengan ritual upacara oleh lembaga adat. Fasa mengungkapkan bahwa aturan adat memang tidak pernah tertulis, tetapi menjadi fatwa atau keputusan lembaga adat. Ia selaku punggawa Taman Nasional Wakatobi berupaya mendorong masyarakat adat untuk menerapkan prinsip-prinsip pelestarian. "Ini semacam revitalisasi, karena masyarakat adat sejatinya sudah memiliki aturan konservasi itu, namun kini dilanjutkan kembali yang diperkuat dengan dukungan taman nasional." 

Atas alasan itu, Fasa menambahkan, belakangan ini ia mendorong perlindungan gurita melalui peranti namonusara. Masyarakat adat pun terlibat dalam melindungi spesies gurita yang bernaung di karang-karang dengan cara menutup akses pengambilan selama tiga bulan. Gurita menjadi salah satu komoditi perikanan yang menjanjikan karena bisa diambil sepanjang tahun. "Secara ekonomi akan mendorong nilai lebih karena habitatnya terjaga, selama tiga bulan tidak boleh dimanfaatkan." 

Baca Juga: School on The Beach, Program untuk Menjaga Ekosistem Pulau Terpencil