Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Lokasi dan periode buka-tutup akses ke sumber daya itu ditentukan majelis adat, yakni Bonto To'oge, yang kedudukannya setara Ketua DPR. "Apabila ada masalah atau pelanggaran di wilayah adat tertentu maka itu pemecahan masalahnya di Sabanjara, ada haknya untuk memediasi masalah itu," ujar Jawarddin. "Ketika tidak bisa diselesaikan di Sabanjara, maka akan didorong di Bonto To'ge, atau pengadilan tinggi." 

Ketika saya bertanya tentang makna dari namanya, Jawarudin tersenyum. Kemudian ia menghubungkannya dengan peristiwa ketika ia lahir pada 49 tahun silam: kakeknya sedang merantau di Jawa—sesederhana itu asal-usulnya. Namun ia menambahkan bahwa semua orang dalam pemerintahan masyarakat adat ini terkait dengan jabatan leluhur mereka, termasuk dirinya. "Jabatan pemerintahan adat dipilih berdasarkan keturunan," ujarnya. "Orang tua yang memilih anaknya, bukan anak yang memilih orang tuanya."

Menghindari kutukan leluhur

Fakhrudin, pembawa bendera pasukan Tamburu, juga memiliki leluhur yang bertugas sebagai pembawa bendera. Kendati usianya kini 71 tahun, ia masih tampak semangat dan gagah dengan busana seragam Tambura yang flamboyan.

Ketika senja di Desa Balasuna Selatan, para ibu menyiapkan kudapan kano senga-senga, semacam keripik talas. Umbi kano diiris tipis-tipis kemudian digoreng. Rasa asin atau bawang bisa ditambahkan dalam minyak goreng. Setiap warga yang hendak merantau atau pergi jauh, biasanya keluarganya akan menyiapkan senga-senga sebagai bekal. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kakek itu berikat kepala tandaki mewah dengan berhias kuncir, berjubah lurik Buton warna jambon, bertali pinggang kuningan, dan bersarung tenun Buton. "Pakaian Tamburu ada waktu khususnya, tidak sembarang bisa dikenakan," ujarnya. Ia juga menjelaskan, "Tamburu ini keturunan, tidak bisa dari warga lain. Kakek-kakek saya juga keturunan Tamburu juga."  

Fakhrudin berkata, "Saya sebagai Alfarisi, pemegang bendera. Ini bendera pejuang Islam di Barata Kahedupa." Kemudian dia menunjukkan bendera merah dengan tepian garis putih di salah satu sisi dalamnya. "Jadi kami meneruskan dari leluhur. Kami mencarinya dari leluhur. Kalau tidak mau [menjabat atau meneruskan] dari leluhurnya bisa kena sumpah. Dari leluhur lanjut terus. 

Masyarakat Kaledupa memiliki kenangan suram tentang masa lalu mereka setelah pemerintahan tradisional dihapuskan. Ketika itu semua barang bukti sejarah dihilangkan, adat dan tarian tidak bisa ditampilkan, istana dibakar, benteng-benteng dibongkar. Mujurnya, peranti pasukan Tambura bisa diselamatkan, seperti bendera Alfarisi. 

Namun, hari ini Fakhrudin tampak bangga menjadi bagian dari sejarah dan pelestarian tradisi, seolah leluhur telah menunjuknya. "Jadi kami ini meneruskan, bukan merekayasa," ujar Fakhrudin. Dan, bendera ini warisan leluhur yang membawanya."

Pusat Bumi sebagai simbol pusat konservasi

Saya menduga-duga apa yang sejatinya ingin disampaikan leluhur Kaledupa kepada kita melalui pohon asam jawa sebagai situs Puo Nu Futa atau Pusat Bumi?

Baca Juga: Kabar Baik dari Sulsel: Terumbu Karang 'Pulih Penuh' dalam Empat Tahun

Basihu selaku Bonto Tombuluruha, pemangku adat yang menaungi situs permukiman awal Kaledupa di Bukit Tapa'a Tombuluruha, menjelaskan makna filosofis pohon yang menjadi Pusat Bumi itu di Kamali Barata Kahedupa. "Pohon itu berada di tengah karena ia memiliki arti sebagai penengah," ujarnya kepada kami. "Apabila ada masalah, ia sebagai penengah, ia mengatur, ia mediasi, supaya masalah ini jangan terlalu jauh."

Kita memang harus belajar dari masyarakat adat tentang teladan hidup berdampingan dengan alam dan memuliakannya. Tugas kita sebagai manusia adalah mencari kebenaran dalam hidup—yang tampaknya semakin semerawut. Kebenaran yang kita cari pun sejatinya bertingkat: Kebenaran paling rendah adalah kebenaran dari kata-kata, sedangkan kebenaran tertinggi adalah kebenaran moral cerita. 

Pertama, Bumi sering dilihat sebagai penengah dalam tradisi masyarakat adat karena mewakili keseimbangan dan keharmonisan. Dalam masa-masa konflik, Bumi dianggap sebagai saksi dan mediator yang netral. Peran Bumi sebagai penengah mengajarkan pentingnya tanggung jawab bersama dan keselarasan.

Masyarakat adat tampaknya berupaya untuk memohon pengampunan dari Bumi dan mencari cara untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu melalui ritual dan praktik spiritual. 

Suatu petang di Pelabuhan Tampara yang senyap di Kaledupa Selatan, Kepulauan Wakatobi. Ketika laut surut, kami harus menggunakan perahu motor untuk mencapai kapal cepat yang mengangkut ke Tomia. (Anindwitya R. Monica)

Kedua, bukit atau gunung sering kali dilihat sebagai tempat-tempat keramat dalam pandangan banyak masyarakat adat karena tempat-tempat itu dianggap sebagai rumah para dewa, roh leluhur, atau entitas spiritual lainnya. Sakralitas ini mencerminkan penghormatan terhadap alam dan peran penting keduanya dalam keseimbangan ekosistem dan budaya masyarakat adat.

Kepercayaan ini selaras dengan etika ekologi yang memuliakan bukit dan gunung sebagai bentuk pemuliaan terhadap bumi. Dalam kepercayaan banyak masyarakat adat, bumi dianggap sebagai leluhur yang harus dihormati dan dilindungi yang mewujud sebagai situs keramat atau larangan adat. Bukit dan gunung memang menjadi sumber kehidupan karena memberikan sumber air, sumber makanan, dan sumber obat bagi manusia.

Kita pun meyakini bahwa ketika hutan habis dijamah dan mata air tercemari, bencana ekologi pun datang menghampiri—dari krisis air, krisis iklim, dan kepunahan spesies kita.  

Pusat Bumi pun telah melahirkan peradaban lintas zaman di masyarakat adat Kaledupa, dari permukiman awal di perbukitan sampai permukiman yang menggelayuti pesisirnya. Menurut hemat saya, Pusat Bumi lebih dari sekadar filosofi; ia adalah perlambang cara hidup para leluhur Kaledupa yang memuliakan alam.

Ketiga, air menjadi simbol kehidupan yang suci yang diberikan Bumi kepada kita. Saya tertarik dengan teladan dari situs permandian Te'e La Ganda—yang menjadi inspirasi nama kelompok ekowisata di Desa Balasuna Selatan. Situs yang diyakini sebagai tempat pertukaran ekonomi pada masa silam itu menunjukkan bahwa air mampu membentuk peradaban yang merekatkan masyarakat dari penjuru Kaledupa untuk datang dan berdagang.

Esok hari, Elsafitri bersiap meninggalkan pulau kelahirannya sejenak untuk mengikuti upacara wisuda sebagai sarjana terapan pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta. Dari Kaledupa, selama seharian ia menggunakan kapal cepat ke Pulau Buton. Kemudian ia berpindah moda transportasi ke kapal penyeberang khusus yang menempuh pelayaran selama tiga hari menuju Surabaya. Berangkat dari kota itu perjalanannya berlanjut dengan transportasi darat selama beberapa jam menuju Surakarta. "Butuh lima hari perjalanan untuk sampai di sana!" ujarnya.  

Baca Juga: Walacea, Percampuran Genetik di Indonesia dan Ledakan Budaya di Seluruh Pasifik

Ada tradisi bagi masyarakat Kaledupa yang hendak bepergian jauh, yakni selalu membawa bekal senga-senga—keripik umbi kano, semacam talas—yang menjadi salah satu simbol ketahanan pangan Kaledupa. Selain mengingatkan pada tanah kelahiran, "ini dibuat supaya tidak kelaparan di tengah jalan," ujarnya. "Kita bawa bekal, sejauh manapun bawa ini pasti ada."

"Keinginan saya setelah wisuda, berhubung di Desa Balasuna Selatan itu memiliki potensi wisata yang tinggi—wisata kuliner, budaya, maupun sejarah—semoga kelompok wisata Te'e Laganda ini dapat mengelola dan mengembangkan lagi wisatanya untuk jangka panjang yang lama dan tidak terputus-putus—berkelanjutan," kata Elsafitri. "Dan, saya berharap semoga kami sebagai pengelola juga dapat konsisten dan tidak patah semangat atau putus asa di tengah jalan."

Setibanya di kepulauan kampung halamannya sebagai seorang sarjana kelak, Elsa berniat menghimpun kembali rupa-rupa informasi yang mendukung paket ekowisata berbasis narasi yang sedang dirintisnya. Sejatinya, pengembangan ekowisata yang berkelanjutan mampu berpeluang melestarikan kekayaan budaya yang nyaris punah demi generasi dan alam yang lebih baik. Jikalau peluang ini hilang, bukan tidak mungkin tradisi di desa mereka akan hilang pada tiga dekade mendatang.

Takdir Elsafitri untuk tetap bermukim di kampung halamannya, alih-alih merantau ke pulau seberang. Semoga para leluhur Kaledupa merestui cita-citanya untuk berbenah dan menyempurnakan rencana wisata berkelanjutan yang menjadi degup baru di Pusat Bumi Negeri Tukang Besi. 

Tampaknya ia dituntun oleh pesan permintaan leluhur "Kahedupa" yang memberi inspirasi untuk selalu berbenah dan menyempurnakan diri demi keberlanjutan pulau ini—"Ini saya, tolong perbaiki saya lagi."