Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Barata setingkat dengan provinsi karena negaranya Kesultanan Buton," ujar Saidin. Di bawah Barata terdapat pemerintahan setingkat kabupaten yang disebut Kadie. Semuanya terdapat sembilan Kadie: dua Kadie di Kaledupa, empat Kadie di Wangi-wangi, dua Kadie di Tomia, dan satu Kadie di Binongko. Ia menambahkan, "Dua Kadie di kaledupa ini setara Wali Kota, lengkap sampai di struktur bawah." 

Nama-nama jabatan dalam pemerintahan adat Barata Kahedupa sedikit rumit, namun menarik untuk ditelusuri. "Kita ini kayak di suatu negara, dari atas sampai ke bawah itu ada perangkatnya sehingga masing-masing itu bertanggung jawab atas tugasnya," kata Saidin. "Kami punya struktur lengkap dan masing-masing bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, maka pelestarian alam kita bisa terjaga." 

Saidin diapit oleh Imamu Barata Kahedupa selaku imam besar Masjid Agung Barata Kahedupa di sisi kirinya, sedangkan sisi kanannya adalah Bonto To'oge yang kedudukannya setara Ketua DPR: mengatur undang-undang adat istiadat, mengawasi seluruh hasil laut dan darat, bahkan sampai menelusuri silsilah dan perilaku pejabat adat, dan melantik Lakina atau Raja Kaledupa. 

Pejabat adat lainnya adalah Miantu'u Pale selaku kepala keamanan istana dan sekretaris raja, Miantu'u Sulujaju selaku panglima perang, Miantu'u Sabanjara selaku kepala pengawas kelautan dan penjaga kedaulatan laut, Bonto Paseba sebagai asisten dan juru bicara raja, Kapita sebagai kepala staf keamanan Barata. Selain itu hadir pula sederet Bonto Limbo, jabatan setara bupati, yakni pemimpin-pemimpin wilayah yang mengawasi perilaku masyarakat, menjaga pelaksanaan aturan adat sehingga menciptakan ketertiban di wilayah masing-masing.

Barata Kahedupa, sebagai pemerintahan di bawah Kesultanan Buton, pernah memiliki wilayah budaya dari Pulau Wangi-wangi, Pulau Tomia, sampai Pulau Binongko. Bahkan, Laut Flores pernah menjadi bagian kedaulatannya.  

Panji Alfaresi, bendera pejuang Islam dari Barata Kahedupa, yang dibawa oleh pasukan Tamburu. Tradisi lisan setempat mengungkapkan pendatang asal Persia telah memperkenalkan ajaran Islam kepada warga. Nama 'Alfaresi' merujuk pada Salman al-Farisi, sosok muslim berpengaruh di Persia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Namun, Presiden Sukarno mengeluarkan peraturan yang berdampak pada penghapusan kerajaan-kerajaan daerah di Indonesia. Peraturan Presiden No.5 tahun 1963 telah menghapus struktur pemerintahan tradisional seperti keresidenan dan kewedanan, yang digantikan oleh struktur pemerintahan daerah tingkat pertama dan tingkat kedua. Langkah itu sejatinya didahului oleh penghapusan hak-hak feodal dan kolonial atas tanah melalui Undang-Undang Pokok Agraria No.22 tahun 1960. Pupuslah riwayat kerajaan-kerajaan Nusantara, termasuk Kesultanan Buton dan empat kerajaan di bawahnya: Barata Muna, Barata Kulisusu, Barata Tiworo, dan Barata Kahedupa.

Meskipun secara administratif kekuasaan kerajaan-kerajaan Nusantara berkurang atau bahkan hilang, ada saja kerajaan yang tetap mempertahankan peran budaya dan sosialnya. Mereka masih dihormati sebagai simbol budaya dan tradisi lokal. Seperti di Kaledupa, kendati tiada pemerintahan adat, tradisi memuliakan hutan dan lautan tetap berlanjut.

Setelah hampa selama setengah abad, pada 2014 pemerintah Kabupaten Wakatobi merevitalisasi Lembaga Adat Barata Kahedupa sebagai mitra pemerintah dalam pelestarian budaya, adat istiadat, agama, dan sejarah. Dua tahun kemudian, sistem pemerintahan adatnya kembali dihidupkan dan dipulihkan, yang bergulir sampai hari ini. Pulihnya pemerintahan adat ini telah menjadi pilar pelestarian baru yang mendukung kawasan Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara, sekaligus Cagar Biosfer UNESCO.

Masyarakat adat telah berperan besar dalam pencapaian Indonesia sebaga negara megadiversitas. Mereka adalah para pemilik bahasa, agama leluhur, sistem pengetahuan, dan etika ekologi yang bermukim di kawasan warisan leluhur. Mereka menjadi garda terdepan pelestarian alam, baik daratan maupun lautan. Kawasan yang menjadi hak ulayat mereka menjadi penyerap karbon terbesar yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim. 

“Dengan adanya peraturan yang telah dikeluarkan oleh Bupati Wakatobi, semakin mengukuhkan peran dan posisi Sara Adat Barata Kahedupa sebagai salah satu garda terdepan dalam menjaga kelestarian Taman Nasional Wakatobi," ungkap Koordinator Program Wakatobi YKAN La Ode Arifudin dalam rilisnya terkait sosialisasi Pengawasan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat.

Baca Juga: Coral Triangle, Ibu Kota Kehidupan Para Makhluk Laut di Asia