Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Elsafitri merupakan Ketua Komunitas Te'e Laganda, perkumpulan anak-anak muda Desa Balasuna Selatan yang tengah berupaya merancang paket ekowisata. Desa ini merupakan satu dari 22 desa di Pulau Kaledupa, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Yayasan Konservasi Alam Nusantara menggulirkan program SIGAP (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan) di Kepulauan Wakatobi. Program ini bermitra dengan Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mendampingi komunitas ekowisata di kepulauan ini.

"Te'e Laganda itu nama air tempat permandian di Desa Balasuna Selatan, yang punya banyak cerita," ujar Elsafitri menjelaskan nama komunitas ekowisata yang dikelolanya. "Dulunya di Te'e Laganda ini tempat masyarakat setempat melakukan transaksi jual beli, baik itu menggunakan uang ataupun menggunakan sistem barter." 

Bagai tenun di ujung tanduk

Jelang senja, kami singgah di Rumah Tenun Gelanserei yang berupaya melestarikan warisan wastra Kaledupa. Kain-kain hasil rumah tenun inilah yang kami kenakan saat perjalanan ke situs Puo Nu Futa. 

"Gelanserei itu nama Desa Balasuna Selatan pada zaman dulu sebelum mengalami perubahan," kata Elsafitri. "Jadi ceritanya kampung gelanserei itu tempat dimana para pemuda dari kampung-kampung tetangga datang ke Kampung Gelanserei untuk bertemu, bahkan tidak jarang mereka mendapat jodoh di kampung ini."

Toponimi menyimpan informasi peristiwa yang menjadi ingatan bersama bagi warga, yang membantu merekam dan melestarikan pengetahuan budaya dan sejarah setempat. Apabila kita memahami asal-usul dan makna toponimi, kita pun dapat terlibat dalam menjaga cerita dan tradisi yang terkait dengan suatu tempat. Ketika sebuah nama hilang, hilang pula ingatan warganya. 

Homoru'a dalam bahasa Kaledupa bermakna pekerjaan menenun. Suatu sore Eslamia sedang merampungkan sarung tenun di kolong rumah tenun Gelanserei. Sejatinya komunitas tenun itu memiliki sepuluh penenun, namun hanya dia yang setiap hari masih menenun. Pun, tak ada seorang penenun muda yang bersedia melanjutkan tradisi ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Setidaknya, terdapat sepuluh perempuan yang mahir menenun di desa ini. Namun, tak tampak generasi muda yang berminat. Pun dari semua anggota kelompok, Eslamia merupakan satu-satunya perempuan yang menuntaskan hari-harinya dengan menenun, kendati usianya tak lagi muda. Kami menjumpainya sedang menenun sendirian di kolong rumah tenun itu

"Satu sarung selesai dalam dua minggu," kata Eslamia. Namun, proses menyiapkan benang sampai berwujud tenun memakan waktu sekira satu bulan. Harga satu juta rupiah pun pantas untuk wastra ini.

Eslamia dibantu adiknya, Ramiati, yang menyiapkan perlengkapan menenun. Ramiati menuturkan tahapan dalam mempersiapkan wastra tenun tradisi ini: sugu'a (pewarnaan), pattiti (pengeringan), gantara (pemintalan benang), oluri (pembuatan pola), dan homoru'a (pekerjaan menenun).

Saya tertarik dengan sugu'a—atau proses pewarnaan alam—yang masih dilestarikan rumah tenun ini. Ramiati mengungkapkan bahwa komunitasnya masih menggunakan pewarna alam, kendati warna yang dihasilkan tak secemerlang pewarna kimia. Ia menyebutkan vegetasi yang biasa digunakan untuk meracik warna: indigo untuk mengasilkan rona biru hingga ungu, kunyit untuk rona kuning, pacar untuk rona cokelat kemerahan, daun mengkudu untuk rona merah, dan daun jati untuk rona merah marun.

Baca Juga: Semangat Warga Wakatobi Merintis Ekowisata Berbasis Tradisi dan Ekologi