Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Kepulauan Wakatobi sohor akan panorama dan kekayaan ragam hayati di bawah segaranya. Namun, bagaimana kabar tradisi masyarakat adat yang telah bertaut dengan pelestarian alamnya selama berabad-abad? Inilah kisah dari sudut pandang pedalaman salah satu pulaunya.

"Di sini tempatnya," ujar Elsafitri sembari mengatur napas setelah mendaki punggungan bukit. Kami berdiri tepat di bawah pohon asam jawa yang keramat. "Di sini dipercaya sebagai tempat leluhur," sambungnya. "Biasanya masyarakat yang masih memiliki hubungan dengan tanah ini, setahun sekali, duduk melingkar untuk makan bersama." 

Tajuk-tajuk pohon asam jawa itu menjulang di Bukit Tapa'a Tombuluruha. Tanah adat ini diyakini sebagai tapak awal perkampungan Pulau Kaledupa pada ribuan tahun silam.

"Inilah yang disebut Puo Nu Futa," imbuhnya, "yang berarti Pusat Bumi."

Elsafitri berkerudung dan berkaus lengan panjang hitam yang berpadu dengan celana jins biru muda. Ia memandu kami dalam paket ekowisata perdana di Desa Balasuna Selatan. Kendati ia sedikit gugup saat memandu, perjalanan kami sungguh menyenangkan.

Ada kisah sarat filosofis tentang Pusat Bumi dalam tradisi tutur di Kaledupa. Sebelum nama Kaledupa tercipta, tempat ini bernama Tombuluruha yang merujuk sebuah nama pohon. Pohon keramat itu berada di tengah karena memiliki arti sebagai pusat penengah. Apabila ada masalah, ia sebagai penengah supaya masalah tak meluas.

Elsafitri, Ketua Komunitas Te'e Laganda, yang tengah berupaya mengembangkan ekowisata berbasis narasi di Desa Balasuna Selatan. Tampak latar pohon kenari yang boleh jadi telah berusia lebih dari sepuluh dekade di kawasan keramat Bukit Tapa'a Tombuluruha, Kaledupa. Yayasan Konservasi Alam Nusantara menggulirkan program SIGAP (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan) di Kepulauan Wakatobi. Program ini bermitra dengan Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mendampingi komunitas ekowisata di kepulauan ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kabarnya, pohon keramat ini menjadi tempat berziarah, bertapa, atau bertafakur. Para peziarahnya tidak hanya mereka yang masih berkait dengan kepemilikan tanah leluhur ini, tetapi juga para pelawat asal pulau-pulau terdekat. Beberapa jengkal dari pohon itu teradapat patok yang diyakini sebagai makam keluarga pertama di pulau ini, yakni La Aru dan Wa Paiti. "Sampai sekarang lokasi Puo Nu Futa masih dianggap tanah yang sakral," ujarnya.

Atas rasa penghormatan kepada adat, Elsafitri menyarankan kami untuk mengenakan kain sarung tenun tradisi setempat sebelum meniti jalan setapak yang menanjak dan membelah kebun dan hutan. Ia juga menyampaikan etiket, seperti tidak boleh menunjuk dengan jari telunjuk kita, tidak boleh berkata-kata kotor, bersih hati atau tidak berniat jahat. Etiket ini tampaknya berlaku umum di situs-situs sakral Nusantara yang pernah saya singgahi.

Dari pohon asam jawa di bukit keramat, saya dan beberapa jurnalis menghela napas sembari menyaksikan bentang perairan membiru di sisi timur pulau. Sampalu, demikian sebutan warga untuk pohon asam jawa, tumbuh di seantero pulau ini. Ketika musim buah asam, seperti saat kami singgah, semenjak subuh perempuan-perempuan Kaledupa memulai hari dengan mencari buah asam.

Kendati berkait penanda asal-usul peradaban Kaledupa, sejauh ini saya belum menjumpai dongeng atau tradisi tutur warga yang merujuk pada pemuliaan buah asam jawa. Boleh jadi sudah tidak ada warga yang mengingat tradisi itu lagi, atau memang tidak pernah ada. 

Baca Juga: Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi