Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Kepulauan Wakatobi sohor akan panorama dan kekayaan ragam hayati di bawah segaranya. Namun, bagaimana kabar tradisi masyarakat adat yang telah bertaut dengan pelestarian alamnya selama berabad-abad? Inilah kisah dari sudut pandang pedalaman salah satu pulaunya.

"Di sini tempatnya," ujar Elsafitri sembari mengatur napas setelah mendaki punggungan bukit. Kami berdiri tepat di bawah pohon asam jawa yang keramat. "Di sini dipercaya sebagai tempat leluhur," sambungnya. "Biasanya masyarakat yang masih memiliki hubungan dengan tanah ini, setahun sekali, duduk melingkar untuk makan bersama." 

Tajuk-tajuk pohon asam jawa itu menjulang di Bukit Tapa'a Tombuluruha. Tanah adat ini diyakini sebagai tapak awal perkampungan Pulau Kaledupa pada ribuan tahun silam.

"Inilah yang disebut Puo Nu Futa," imbuhnya, "yang berarti Pusat Bumi."

Elsafitri berkerudung dan berkaus lengan panjang hitam yang berpadu dengan celana jins biru muda. Ia memandu kami dalam paket ekowisata perdana di Desa Balasuna Selatan. Kendati ia sedikit gugup saat memandu, perjalanan kami sungguh menyenangkan.

Ada kisah sarat filosofis tentang Pusat Bumi dalam tradisi tutur di Kaledupa. Sebelum nama Kaledupa tercipta, tempat ini bernama Tombuluruha yang merujuk sebuah nama pohon. Pohon keramat itu berada di tengah karena memiliki arti sebagai pusat penengah. Apabila ada masalah, ia sebagai penengah supaya masalah tak meluas.

Elsafitri, Ketua Komunitas Te'e Laganda, yang tengah berupaya mengembangkan ekowisata berbasis narasi di Desa Balasuna Selatan. Tampak latar pohon kenari yang boleh jadi telah berusia lebih dari sepuluh dekade di kawasan keramat Bukit Tapa'a Tombuluruha, Kaledupa. Yayasan Konservasi Alam Nusantara menggulirkan program SIGAP (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan) di Kepulauan Wakatobi. Program ini bermitra dengan Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mendampingi komunitas ekowisata di kepulauan ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kabarnya, pohon keramat ini menjadi tempat berziarah, bertapa, atau bertafakur. Para peziarahnya tidak hanya mereka yang masih berkait dengan kepemilikan tanah leluhur ini, tetapi juga para pelawat asal pulau-pulau terdekat. Beberapa jengkal dari pohon itu teradapat patok yang diyakini sebagai makam keluarga pertama di pulau ini, yakni La Aru dan Wa Paiti. "Sampai sekarang lokasi Puo Nu Futa masih dianggap tanah yang sakral," ujarnya.

Atas rasa penghormatan kepada adat, Elsafitri menyarankan kami untuk mengenakan kain sarung tenun tradisi setempat sebelum meniti jalan setapak yang menanjak dan membelah kebun dan hutan. Ia juga menyampaikan etiket, seperti tidak boleh menunjuk dengan jari telunjuk kita, tidak boleh berkata-kata kotor, bersih hati atau tidak berniat jahat. Etiket ini tampaknya berlaku umum di situs-situs sakral Nusantara yang pernah saya singgahi.

Dari pohon asam jawa di bukit keramat, saya dan beberapa jurnalis menghela napas sembari menyaksikan bentang perairan membiru di sisi timur pulau. Sampalu, demikian sebutan warga untuk pohon asam jawa, tumbuh di seantero pulau ini. Ketika musim buah asam, seperti saat kami singgah, semenjak subuh perempuan-perempuan Kaledupa memulai hari dengan mencari buah asam.

Kendati berkait penanda asal-usul peradaban Kaledupa, sejauh ini saya belum menjumpai dongeng atau tradisi tutur warga yang merujuk pada pemuliaan buah asam jawa. Boleh jadi sudah tidak ada warga yang mengingat tradisi itu lagi, atau memang tidak pernah ada. 

Baca Juga: Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi

Mencari toponimi yang hilang

Selain tapak permukiman pertama di Pulau Kaledupa, Bukit Tapa'a Tombuluruha ini juga merupakan tapak awal perkembangan agama Islam di pulau ini. "Ada dua tokoh yang bernama Abdul Syukur dan Abdul Ghafur," ujar Elsafitri di bawah tajuk pohon asam jawa itu.

Menurut tradisi tutur, keduanya diyakini berasal dari Persia yang mencari pusat bumi, atau negeri kedamaian dunia. Setelah menjelajahi dunia, pada tujuh Hijriah mereka berdua tiba di Buranga, pesisir Pulau Kaledupa, lalu menuju daerah Tapa'a Tombuluruha. "Saat mereka salat zuhur, saat posisi sujud, mereka mendengar dari lubang tanah: Ka-he-du-pa," ujarnya.

Nama sejati pulau ini adalah "Kahedupa", sebelum akhirnya dinas topografi pemerintah Hindia Belanda menulisnya sebagai "Kaledupa" dalam peta-peta semasa. 

Sejak zaman penjelajahan samudra dalam misi pencarian kepulauan rempah, para pembuat peta memang kerap mengganti pelafalan toponimi daerah-daerah di peta mereka—entah demi memudahkan mereka melafalkan atau kekeliruan pencatatan.

La Fasa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kaledupa, berkisah di Puo Nu Futa, atau Pusat Bumi, yang ditandai pohon asam jawa yang menjulang di Bukit Tapa'a Tombuluruha. Selain sebagai tapak awal permukiman di pulau ini, pohon itu juga diyakini sebagai penanda masuknya Islam. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kini, semangat dekolonisasi memungkinkan orang-orang mencari jatidirinya kembali. Elsafitri menjelaskan kepada kami bahwa "Kahedupa" diyakini merupakan akronim. Suku kata pertama, ka dari kata kaana aku, yang artinya "ini saya". Suku kata kedua, he dari kata heppule, yang artinya lagi. Suku kata ketiga, du dari kata duka, yang artinya "juga". Suku kata keempat, pa dari kata paleama aku, yang artinya perbaiki saya. Elsafitri berkata dengan meyakinkan bahwa kahedupa artinya, "Ini saya, tolong perbaiki saya lagi."

Sebagai pembanding, saya menjumpai laman Badan Registrasi Wilayah Adat yang menerangkan bahwa makna kahedupa adalah "Ini aku yang baik, dan pada masanya akan menjadi baik kembali”. Menurut hemat saya, pada intinya keduanya memiliki kemiripan makna.

Namun, ada juga kisah lain tentang asal toponimi Kahedupa. Nama itu diberikan oleh para pelaut yang mencium harum kayu dupa setiap melintasi pulau ini. Warga setempat menyebut kae dupa yang merujuk pada kayu dupa. 

Kaledupa merupakan salah satu pulau karang dalam untaian Kepulauan Tukang Besi, atau Toekang Besi Eilanden dalam peta-peta lawas. Kini, kita mengenalnya sebagai Kepulauan Wakatobi—akronim dari empat pulau utama yang membentang dari barat ke timur: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Toponimi “Wakatobi” resmi menggantikan “Tukang Besi” pada 2003, ketika kepulauan ini menjadi daerah otonom.

Entahlah, mengapa toponiminya harus diganti. Padahal, toponimi lamanya merujuk pada keahlian masyarakatnya dalam mengolah besi menjadi berbagai jenis perkakas dan senjata berkualitas tinggi. Kepaiwaian tradisi pandai besi terbaik di kepulauan ini masih menyala-nyala di Pulau Binongko. Menurut hemat saya, nama tempat sering kali mencerminkan sejarah, budaya, dan identitas masyarakat setempat. Mengganti nama tempat akan berpeluang menghapus jejak sejarah dan warisan budaya yang berharga.

Baca Juga: Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi

Elsafitri merupakan Ketua Komunitas Te'e Laganda, perkumpulan anak-anak muda Desa Balasuna Selatan yang tengah berupaya merancang paket ekowisata. Desa ini merupakan satu dari 22 desa di Pulau Kaledupa, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Yayasan Konservasi Alam Nusantara menggulirkan program SIGAP (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan) di Kepulauan Wakatobi. Program ini bermitra dengan Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mendampingi komunitas ekowisata di kepulauan ini.

"Te'e Laganda itu nama air tempat permandian di Desa Balasuna Selatan, yang punya banyak cerita," ujar Elsafitri menjelaskan nama komunitas ekowisata yang dikelolanya. "Dulunya di Te'e Laganda ini tempat masyarakat setempat melakukan transaksi jual beli, baik itu menggunakan uang ataupun menggunakan sistem barter." 

Bagai tenun di ujung tanduk

Jelang senja, kami singgah di Rumah Tenun Gelanserei yang berupaya melestarikan warisan wastra Kaledupa. Kain-kain hasil rumah tenun inilah yang kami kenakan saat perjalanan ke situs Puo Nu Futa. 

"Gelanserei itu nama Desa Balasuna Selatan pada zaman dulu sebelum mengalami perubahan," kata Elsafitri. "Jadi ceritanya kampung gelanserei itu tempat dimana para pemuda dari kampung-kampung tetangga datang ke Kampung Gelanserei untuk bertemu, bahkan tidak jarang mereka mendapat jodoh di kampung ini."

Toponimi menyimpan informasi peristiwa yang menjadi ingatan bersama bagi warga, yang membantu merekam dan melestarikan pengetahuan budaya dan sejarah setempat. Apabila kita memahami asal-usul dan makna toponimi, kita pun dapat terlibat dalam menjaga cerita dan tradisi yang terkait dengan suatu tempat. Ketika sebuah nama hilang, hilang pula ingatan warganya. 

Homoru'a dalam bahasa Kaledupa bermakna pekerjaan menenun. Suatu sore Eslamia sedang merampungkan sarung tenun di kolong rumah tenun Gelanserei. Sejatinya komunitas tenun itu memiliki sepuluh penenun, namun hanya dia yang setiap hari masih menenun. Pun, tak ada seorang penenun muda yang bersedia melanjutkan tradisi ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Setidaknya, terdapat sepuluh perempuan yang mahir menenun di desa ini. Namun, tak tampak generasi muda yang berminat. Pun dari semua anggota kelompok, Eslamia merupakan satu-satunya perempuan yang menuntaskan hari-harinya dengan menenun, kendati usianya tak lagi muda. Kami menjumpainya sedang menenun sendirian di kolong rumah tenun itu

"Satu sarung selesai dalam dua minggu," kata Eslamia. Namun, proses menyiapkan benang sampai berwujud tenun memakan waktu sekira satu bulan. Harga satu juta rupiah pun pantas untuk wastra ini.

Eslamia dibantu adiknya, Ramiati, yang menyiapkan perlengkapan menenun. Ramiati menuturkan tahapan dalam mempersiapkan wastra tenun tradisi ini: sugu'a (pewarnaan), pattiti (pengeringan), gantara (pemintalan benang), oluri (pembuatan pola), dan homoru'a (pekerjaan menenun).

Saya tertarik dengan sugu'a—atau proses pewarnaan alam—yang masih dilestarikan rumah tenun ini. Ramiati mengungkapkan bahwa komunitasnya masih menggunakan pewarna alam, kendati warna yang dihasilkan tak secemerlang pewarna kimia. Ia menyebutkan vegetasi yang biasa digunakan untuk meracik warna: indigo untuk mengasilkan rona biru hingga ungu, kunyit untuk rona kuning, pacar untuk rona cokelat kemerahan, daun mengkudu untuk rona merah, dan daun jati untuk rona merah marun.

Baca Juga: Semangat Warga Wakatobi Merintis Ekowisata Berbasis Tradisi dan Ekologi

Tenun Kaledupa memiliki beragam corak untuk perempuan—baik corak untuk gadis maupun corak untuk yang sudah menikah—dan corak untuk lelaki. Jadi, berhati-hatilah dalam memilih corak karena corak melambangkan status kita. Bertanya kepada warga sebelum mengenakannya merupakan kiat jitu menghindar malu. 

Saya menemukan sebagian kecil corak Kaledupa di rumah tenun itu. Corak berupa langgam geometris, garis-garis lurus yang saling berpotongan, dan kotak-kotak. Sejatinya terdapat makna di setiap corak wastra, meski hanya segelintir makna yang sampai pada generasi kini.

Sebuah penelitian tentang tenun Kaledupa di desa tetangga pernah dihimpun oleh Evi Ardianti dan timnya dari Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tajuknya, "Pelestarian Sarung Tenun Pada Masyarakat Di Desa Balasuna Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi", yang terbit di Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO pada April 2023.

Ardianti mengungkapkan, "Komposisi garis-garis yang simetris berupa garis lungsi dan garis pakan yang saling menyilang membentuk pola kotak-kotak seperti papan catur. Corak seperti inilah yang membedakan sarung tenun wakatobi dengan sarung yang lain meskipun tidak dapat dipungkiri memiliki kesamaan- kesamaan tertentu yang dapat ditemukan pada corak sarung lain."

Ardiati menghimpun ragam corak tenun Kaledupa, yakni kasopa jupu, posiku, rante, ra atiba dan pa’a. Setiap corak memiliki pesan atau harapan yang hendak disampaikan kepada si pemakainya. Bagi saya, boleh jadi corak-corak dalam wastra itu semacam doa.

Corak kasopa jupu terinspirasi dari keindahan alam Kaledupa, pesan perilaku sesuai ajaran agama dan narasi kehidupan sosial masyarakatnya. Corak posiku berwarna hitam sebagai warna dasar kain, sedangkan untuk warna oranye digunakan untuk corak dekorasinya perlambang budi pekerti luhur, mementingkan kepentingan bersama, rela menolong, sopan, jujur, bekerja keras, dan berhati mulia. Corak rante memiliki dekorasi warna putih sebagai warna dasar sebagai simbol kepercayaan kepada Sang Pencipta dalam Islam. Corak Ra Atiba memiliki warna merah muda sebagai warna dasar sebagai delapan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dan, corak Pa’a memiliki warna dasar putih yang melambangkan keabadian dan warna biru melambangkan kebenaran.

Muda-mudi Komunitas Ekowisata Te'e Laganda mengenakan tenun Kaledupa. Diman mengenakan tandaki (ikat kepala) dan sarung tenun corak untuk lelaki, yakni Pa'a. Elsafitri mengenakan tenun bercorak leja makuri. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tenun Kaledupa di Desa Balasuna Selatan berada dalam situasi genting untuk diselamatkan, bagai tenun di ujung tanduk. Kini, Elsafitri bersama kawan-kawannya di komunitas ekowisata Te'e La Ganda berupaya menghimpun kembali simbol dan makna dari kekayaan wastra Kaledupa di desanya. Pada akhirnya, upaya pelestarian itu berpulang pada komunitas mereka: Sebelum generasi tua punah, bagaimana anak-anak muda turut melestarikan wastra adikarya leluhur mereka? 

Tradisi Portugis dalam Pasukan Perang Kaledupa?

Suara tambur bertalu-talu. Lima prajurit Tamburu tengah berdiri sigap menyambut kami. Fakhrudin, seorang Alfarisi yang tampak paling tua usianya, membawa bendera sembari berjingkat mengikuti irama tambur bertempo cepat. Dari arah berlawanan, seorang kawannya yang bernama Arjudin, menghunus tombak sembari berjingkat. Kuncir di ikat kepala meraka berayun-ayun. Gerak keduanya berhadap-hadapan seperti gladiator yang hendak berlaga dalam pola lingkaran. 

Ahmad Daulani dalam bukunya bertajuk Kaledupa dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan kepangkatan dalam pasukan Tamburu di Barata Kahedupa. Biasanya mereka terdiri atas seorang Lutnani setara letnan dalam organisasi militer modern, seorang Alfarisi setara letnan muda, seorang Tamburu sebagai penabuh gendang, dan dua orang Saragenti setara sersan yang bertugas sebagai komandan pasaukan Tamburu. Pucuk pimpinan pasukan penjaga keamanan ini adalah Miantu'u Sulujaju.

Baca Juga: Lewat Buku dan Alam, Anak-Anak Wakatobi Belajar Pelestarian Mangrove

Sebutan dalam pangkat militer di negeri kita umumnya dipengaruhi bahasa Belanda—kerena kita pernah menjadi koloninya. Sebagai contoh lutnani dalam pasukan Tamburu, yang tampaknya diadopsi dari sebutan luitenant dalam organisasi militer Belanda.

Namun, pangkat saragenti tampaknya memiliki kemiripan dengan sargento dalam bahasa Portugis. Begitu juga nama sulujaju telah mengingatkan saya pada kata soldado dalam bahasa Portugis yang bermakna serdadu atau prajurit tempur. Tampaknya orang-orang Portugis pernah berjejak di Kepulauan Tukang Besi, atau setidaknya Kerajaan Buton.

Lima prajurit Tamburu itu mengantarkan kami menghadap Lakina Barata Kahedupa, yang kedudukannya setara raja untuk masyarakat adat. Saya begitu terkesan menyaksikan sebuah tarian penyambutan nan agung itu di muka bangunan Kamali, sebutan untuk istana Raja Kaledupa yang sekujur pagarnya ditanami meriam-meriam kuno. 

"Sebenarnya itu bukan tarian," ujar La Saidin selaku Lakina Barata Kahedupa XXIV kepada kami di istananya. "Itu adalah pasukan di mana pasukan ini dipergelarkan setiap ada tamu kehormatan yang ingin masuk ke kerajaan bertemu dengan lakina maupun sara barata kahedupa, yang hanya di kamali untuk menjemput tamu kehormatan."

Kerajaan kecil ini memiliki pasukan perang yang pernah menjadi garis depan pertahanan kerajaan kecil ini. Dahulu mereka merupakan anggota masyarakat yang direkrut karena kemampuan yang telah teruji dalam perang. Dia menambahkan bahwa kini pasukan Tamburu hanya berjumlah sepuluh orang, yang terbagi dalam "dua pasukan, timur dan barat, umbosa dan siofa. Mereka berada di bawah koordinasi Miantu'u Sulujaju atau Panglima."

La Tele dengan tombak dan tongkatnya. Ia bertugas sebagai Dingkisi atau Penjaga Pasukan 2 Umbosa (timur) di Tamburu Barata Kahedupa, Kaledupa. Tenun lurik Buton merah-jambon diyakini sebagai simbol kepemimpinan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saidin, yang berlatar pendidikan guru, duduk bersila didampingi para perangkat adat Barata Kahedupa, yang strukturnya nyaris serupa dengan struktur pemerintahan negara kita. Semua pejabat adat yang hadir tampak bersarung tenun Kaledupa. Mereka telah duduk bersila dalam satu deret sebelum kami tiba di istana ini. Suasananya mirip sidang kabinet dalam pemerintahan negara, kendati tak semua pejabat adat hadir. 

Kami pun merasa sebagai para pelawat dari negeri seberang yang disambut oleh raja dan rakyatnya dengan begitu rancak.

Tahun ini Barata Kahedupa merayakan hari jadinya yang ke-764. Artinya, tiga dekade lebih tua dari Kerajaan Majapahit yang didirikan di hutan Trik, Jawa Timur! 

Sayudin selaku Bonto Paseba, protokoler yang menanganai adat istiadat dalam istana, mengungkap tradisi tutur di Kaledupa secara ringkas. Empat ribu tahun silam, ujarnya, permukiman pertama di Kaledupa adalah Bukit Tapa'a Tombuluruha. Pada awal abad ke-13 datanglah rombongan asal Persia. Mereka menggelar acara sarahungka—yaitu raja-raja lokal di masa itu. "Setelah tahun 1260 Masehi," ujarnya, "kerajaan-kerajaan lokal bergabung menjadi Sara Kahedupa, yang namanya Kerajaan Kahedupa, pemimpinnya disebut Waopu."

Saya tertarik untuk mengetahui hierarki Barata Kahedupa karena kita bisa mengetahui pemimpin adat atau tokoh masyarakat yang memiliki otoritas dalam menetapkan dan menegakkan aturan. Apabila kita memahami siapa selaku pemegang kuasa, informasi itu membantu dalam mengidentifikasi sumber aturan dan cara penerapannya. Menurut hemat saya, struktur masyarakat adat sering kali mencerminkan etika ekologi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Etika ekologi yang mereka miliki biasanya mengandung pengetahuan penting tentang cara-cara efektif menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Baca Juga: Benteng Baadia, Benteng Pertahanan Raksasa Era Sultan Buton XXIX 

"Barata setingkat dengan provinsi karena negaranya Kesultanan Buton," ujar Saidin. Di bawah Barata terdapat pemerintahan setingkat kabupaten yang disebut Kadie. Semuanya terdapat sembilan Kadie: dua Kadie di Kaledupa, empat Kadie di Wangi-wangi, dua Kadie di Tomia, dan satu Kadie di Binongko. Ia menambahkan, "Dua Kadie di kaledupa ini setara Wali Kota, lengkap sampai di struktur bawah." 

Nama-nama jabatan dalam pemerintahan adat Barata Kahedupa sedikit rumit, namun menarik untuk ditelusuri. "Kita ini kayak di suatu negara, dari atas sampai ke bawah itu ada perangkatnya sehingga masing-masing itu bertanggung jawab atas tugasnya," kata Saidin. "Kami punya struktur lengkap dan masing-masing bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, maka pelestarian alam kita bisa terjaga." 

Saidin diapit oleh Imamu Barata Kahedupa selaku imam besar Masjid Agung Barata Kahedupa di sisi kirinya, sedangkan sisi kanannya adalah Bonto To'oge yang kedudukannya setara Ketua DPR: mengatur undang-undang adat istiadat, mengawasi seluruh hasil laut dan darat, bahkan sampai menelusuri silsilah dan perilaku pejabat adat, dan melantik Lakina atau Raja Kaledupa. 

Pejabat adat lainnya adalah Miantu'u Pale selaku kepala keamanan istana dan sekretaris raja, Miantu'u Sulujaju selaku panglima perang, Miantu'u Sabanjara selaku kepala pengawas kelautan dan penjaga kedaulatan laut, Bonto Paseba sebagai asisten dan juru bicara raja, Kapita sebagai kepala staf keamanan Barata. Selain itu hadir pula sederet Bonto Limbo, jabatan setara bupati, yakni pemimpin-pemimpin wilayah yang mengawasi perilaku masyarakat, menjaga pelaksanaan aturan adat sehingga menciptakan ketertiban di wilayah masing-masing.

Barata Kahedupa, sebagai pemerintahan di bawah Kesultanan Buton, pernah memiliki wilayah budaya dari Pulau Wangi-wangi, Pulau Tomia, sampai Pulau Binongko. Bahkan, Laut Flores pernah menjadi bagian kedaulatannya.  

Panji Alfaresi, bendera pejuang Islam dari Barata Kahedupa, yang dibawa oleh pasukan Tamburu. Tradisi lisan setempat mengungkapkan pendatang asal Persia telah memperkenalkan ajaran Islam kepada warga. Nama 'Alfaresi' merujuk pada Salman al-Farisi, sosok muslim berpengaruh di Persia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Namun, Presiden Sukarno mengeluarkan peraturan yang berdampak pada penghapusan kerajaan-kerajaan daerah di Indonesia. Peraturan Presiden No.5 tahun 1963 telah menghapus struktur pemerintahan tradisional seperti keresidenan dan kewedanan, yang digantikan oleh struktur pemerintahan daerah tingkat pertama dan tingkat kedua. Langkah itu sejatinya didahului oleh penghapusan hak-hak feodal dan kolonial atas tanah melalui Undang-Undang Pokok Agraria No.22 tahun 1960. Pupuslah riwayat kerajaan-kerajaan Nusantara, termasuk Kesultanan Buton dan empat kerajaan di bawahnya: Barata Muna, Barata Kulisusu, Barata Tiworo, dan Barata Kahedupa.

Meskipun secara administratif kekuasaan kerajaan-kerajaan Nusantara berkurang atau bahkan hilang, ada saja kerajaan yang tetap mempertahankan peran budaya dan sosialnya. Mereka masih dihormati sebagai simbol budaya dan tradisi lokal. Seperti di Kaledupa, kendati tiada pemerintahan adat, tradisi memuliakan hutan dan lautan tetap berlanjut.

Setelah hampa selama setengah abad, pada 2014 pemerintah Kabupaten Wakatobi merevitalisasi Lembaga Adat Barata Kahedupa sebagai mitra pemerintah dalam pelestarian budaya, adat istiadat, agama, dan sejarah. Dua tahun kemudian, sistem pemerintahan adatnya kembali dihidupkan dan dipulihkan, yang bergulir sampai hari ini. Pulihnya pemerintahan adat ini telah menjadi pilar pelestarian baru yang mendukung kawasan Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara, sekaligus Cagar Biosfer UNESCO.

Masyarakat adat telah berperan besar dalam pencapaian Indonesia sebaga negara megadiversitas. Mereka adalah para pemilik bahasa, agama leluhur, sistem pengetahuan, dan etika ekologi yang bermukim di kawasan warisan leluhur. Mereka menjadi garda terdepan pelestarian alam, baik daratan maupun lautan. Kawasan yang menjadi hak ulayat mereka menjadi penyerap karbon terbesar yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim. 

“Dengan adanya peraturan yang telah dikeluarkan oleh Bupati Wakatobi, semakin mengukuhkan peran dan posisi Sara Adat Barata Kahedupa sebagai salah satu garda terdepan dalam menjaga kelestarian Taman Nasional Wakatobi," ungkap Koordinator Program Wakatobi YKAN La Ode Arifudin dalam rilisnya terkait sosialisasi Pengawasan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat.

Baca Juga: Coral Triangle, Ibu Kota Kehidupan Para Makhluk Laut di Asia

Menurut hemat Arifudin, nilai-nilai dan kearifan pemerintahan adat memiliki ikatan kuat dengan sumber daya alam tempat mereka menggantungkan hidup.

Tradisi dan etika ekologi di jantung konservasi

Kedatangan kami di Kamali Barata Kahedupa bersamaan dengan acara sosialisasi prosedur operasi standar tentang perlindungan dan pengamanan bersama masyarakat kawasan Taman Nasional Wakatobi pada September silam. Acara ini digelar oleh Balai Taman Nasional Wakatobi, yang didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Tujuan sosialisasi ini demi terwujudnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan berbasis masyarakat.

"Kawasan Taman Nasional Wakatobi ini ada meliputi semua wilayah kabupaten," ujar Saidin. "Satu daerah yang aneh untuk seluruh Indonesia, barangkali, satu kabupaten semuanya wilayah taman nasional. Jadi kalau tidak ada kolaborasi dengan masyarakat hukum adat, maka susah untuk mengawasi mengontrol wilayah ini—saking luasnya." 

Kasoami atau soami, yang menjadi bagian ketahanan pangan warga Kaledupa. Terbuat dari ubi kayu yang diolah dengan uap panas, soami kerap dihidangkan sebagai simbol keakraban. Pulau karang ini lebih cocok ditanami umbi-umbian daripada padi, sehingga soami lebih berdaulat di Kepulauan Wakatobi. Kadang nama pangan ini menjadi kelakar homofon bagi para pendatang, 'Ibu-ibu di sini rela menjual soami mereka.' (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saidin menukil sebuah tradisi masyarakat adat Kaledupa dalam melestarikan sumber daya alam. Menurut penuturan orang-orang tua, di pulau ini terdapat kawasan yang ditandai dengan nama Alo'a. Kawasan ini termasuk salah satu kawasan yang dianggap keramat, sehingga warga tidak berani untuk merusak atau mengambil apapun dari tempat ini atas kesadaran sendiri.

"Tanpa dijaga itu masyarakat itu sadar sendiri, itu tidak bisa," ujarnya. 

Apabila warga memiliki kebutuhan mendesak untuk mengambil sumber daya di kawasan keramat itu pun harus seizin pihak pangalasa—sebutan untuk penjaga hutan—dan talangkera—sebutan penjaga pantai. Mengambil tanpa izin di kawasan keramat itu "berbahaya menurut kebiasaan kita, dan sampai sekarang itu kebiasaan-kebiasaan ini masih lestari," kata Saidin. "Makanya kebiasaan-kebiasaan ini tetap kita gaungkan, kita dengungkan, supaya kearifan lokal ini tidak hilang."

Tanah adat Barata Kahedupa masih terpelihara dan diakui keberadaannya. Namun Saidin tidak menyangkal bahwa ada sebagian warganya telah menghuni tanah milik adat. Namun warga tetap mengakui bahwa mereka  menumpang di tanah milik pemerintahan adat. "Yang penting mereka tidak mengaku-aku bahwa itu adalah hak miliknya," ujarnya. "Silakan ditanami dengan tanaman produktif, tetapi jangan membuka lahan yang masih berupa hutan."

Selain di daratan, terdapat pula tempat keramat di pesisirnya. Sebagai contoh di pesisir timur, terdapat tempat yang dianggap keramat sehingga warga tidak bisa memasukinya atau mengambil mangrove. Saidin menambahkan bahwa keberadaan hutan mangrove, khususnya di Kaledupa, boleh dikatakan aman dari perambah.

Masyarakat adat sejatinya telah meyakini bahwa hutan mangrove di Kepulaun Wakatobi memiliki sederet manfaat, baik bagi lingkungan maupun masyarakat setempat. Hutan mangrove penting dalam menghambat abrasi dan erosi, tempat bernaung biota laut, dan penyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim, dan potensi ekowisata.

Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Gurita Bermigrasi ke Mata Air Panas Laut Dalam?

Menurut Saidin, semua pihak memiliki peran dalam pelestarian, baik di hutan maupun pesisir. Kaldeupa memang memiliki sara atau pemerintahan adat yang berkuasa dalam mengatur tradisi pelestarian, tetapi kekuatan mereka hanya beberapa orang. Atas pemikiran itulah ia menekankan bahwa peran kunci pelestarian justru pada masyarakatnya.

Kemitraan konservasi dalam pelestarian gurita

"Kami mencoba menjalin dengan masyarakat adat," kata La Fasa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kaledupa. Saya dan Fasa berbincang jelang makan malam di pekarangan rumah panggung Kepala Desa Balasuna Selatan.

"70 persen kawasan Taman Nasional itu wilayah pemanfaatan masyarakat—zona pemanfaatan tradisional," kata Fasa. Balai Taman Nasional Wakatobi membentuk model desa konservasi, yang kini berkembang menjadi kemitraan konservasi—kerja sama antara taman nasional dan masyarakat adat. Salah satu kesepakatan konservasi adalah ruang akses yang diberikan kepada masyarakat untuk mengelolanya dalam zona pemanfaatan tradisional. 

Fasa mengungkapkan bahwa salah satu keberhasilan masyarakat adat Kaledupa dalam mengelola pesisir adalah budidaya rumput laut. Kendati semua lokasi budidaya itu berada di zona pemanfaatan, mereka sudah memulainya sejak 1990-an secara tradisional, sebelum taman nasional ditetapkan.

"Untuk Wakatobi," ujarnya, "produksi rumput laut yang terbesar itu ya di sini—Kaledupa. Di Wanci ada, di Tomia ada, tapi tidak terlalu banyak. Produksinya lebih banyak di sini karena lebih luas, lebih subur di sini."

Sup ikan dengan bumbu rempah, tomat, kemangi dan bertabur daun bawang ini begitu menggoda untuk disantap di pesisir Kaledupa. Sepanjang terumbu karang terpelihara, lumbung ikan Wakatobi pun kaya. Masyarakat adat menggunakan zona pemanfaatan tradisional untuk memenuhi kebutuhan mereka di Taman Nasional Wakatobi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kendati meraup sukses dalam produksi rumput laut, lumbung ikan Wakatobi pernah mengalami situasi penangkapan ikan yang berlebihan. "Kenapa terumbu bagus tetapi ikannya berkurang? Karena ikannya tidak diberi kesempatan untuk berkembang biak," ujar Fasa.

Penyebabnya, wilayah ini sepanjang tahun menjadi ajang penangkapan ikan, sehingga menarik banyak nelayan luar yang memasuki perairan Wakatobi. Bahkan, bom ikan marak sekitar 1990-an sampai awal 2000. Akibatnya "wilayah tangkapan mereka agak bergeser," kata Fasa. "Tadinya di pesisir, sekarang mulai agak jauh."

Barata Kahedupa memiliki tradisi pelestarian ekologi pesisir melalui namonusara, daerah yang dilindungi namun bisa dimanfaatkan dalam musim-musim tertentu. Tradisi buka-tutup akses pengambilan sumber daya oleh masyarakat ini diawali dengan ritual upacara oleh lembaga adat. Fasa mengungkapkan bahwa aturan adat memang tidak pernah tertulis, tetapi menjadi fatwa atau keputusan lembaga adat. Ia selaku punggawa Taman Nasional Wakatobi berupaya mendorong masyarakat adat untuk menerapkan prinsip-prinsip pelestarian. "Ini semacam revitalisasi, karena masyarakat adat sejatinya sudah memiliki aturan konservasi itu, namun kini dilanjutkan kembali yang diperkuat dengan dukungan taman nasional." 

Atas alasan itu, Fasa menambahkan, belakangan ini ia mendorong perlindungan gurita melalui peranti namonusara. Masyarakat adat pun terlibat dalam melindungi spesies gurita yang bernaung di karang-karang dengan cara menutup akses pengambilan selama tiga bulan. Gurita menjadi salah satu komoditi perikanan yang menjanjikan karena bisa diambil sepanjang tahun. "Secara ekonomi akan mendorong nilai lebih karena habitatnya terjaga, selama tiga bulan tidak boleh dimanfaatkan." 

Baca Juga: School on The Beach, Program untuk Menjaga Ekosistem Pulau Terpencil

Sabanjara, penjaga ekologi pesisir Kaledupa

Bagaimana masyarakat adat mengawasi pesisir mereka? Saya menjumpai Jawarudin, Miantu'u Sabanjara untuk wilayah barat Kaledupa, yang menjabat selama dua tahun belakangan. Sebutan sabanjara tampaknya terdengar lekat dengan syahbandar yang dipengaruhi bahasa Parsi. Saya pikir bukan kebetulan bila kedua jabatan itu berkait soal pengaturan di laut dan pesisir atau pelabuhan.

Pun, ia juga mengungkapkan bahwa tradisi sunat bagi laki-laki untuk pertama kalinya dilakukan oleh Muhammad Umar Muhadar, salah seorang pedagang asal Persia yang singgah di Kaledupa pada abad ke-13. "Yang di sini turunan Ali, yang di Jawa Habaib itu turunan Husein," ujarnya.

Orang-orang Persia memang menjadi bagian sejarah dari perdagangan rempah dunia. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mereka menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk kepulauan kita, melalui jalur rempah. Orang Persia umumnya memandang keturunan Ali sebagai pemimpin spiritual yang sah. Hal inilah yang memperkuat hubungan antara keturunan Ali dan orang Persia dalam penyebaran Islam.

Tugas Miantu'u Sabanjara yang diamanatkan kepada Jawarudin meliputi pengawasan wilayah laut, pesisir atau pantai. Sehari-hari ia dibantu oleh Talangkera yang bertugas di darat dan laut. Ketika dalam pengelolaan itu ditemuklan pelanggaran-pelanggaran oleh masyarakat hukum adat, maka Talangkera akan melaporkan ke Sabanjara.

Pemerintahan adat Barata Kahedupa memiliki etika ekologi sehingga warga tidak diperkenankan melakukan kegiatan perusakan atau pengambilan sumber daya alam. Jawaruddin memberikan contoh secara umum aktivitas yang melanggar etika ekologi pada masa silam seperti merusak karang, mengambil pasir, menebang mangrove, sampai membius ikan di kawasan perairan adat.

Warga setempat memiliki sebutan namo untuk padang lamun di perairan pesisir, yang dipahami sebagai tempat bertelur ikan. Pemerintahan adat pun melindungi padang lamun itu melalui aturan adat namonusara. "Ketika ada pelanggaran-pelanggaran masyarakat adat, maka disitulah dikenakan sanksi adat," ujarnya. 

"Jenis-jenis spesies yang sudah langka itu tetap kita lindungi, misalnya kepiting betina—kepiting bakau betina itu jangan ditangkap," kata Jawarudin. Kepiting betina yang sedang bertelur berperan penting dalam regenerasi populasi kepiting sehingga "tidak bisa berkembang lagi lebih banyak bila betinanya diambil."

Nautilus di rumah warga Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Satwa ini dianggap sebagai fosil hidup karena telah menghuni Bumi selama lebih dari 500 juta tahun, jauh sebelum dinosaurus. Habitatnya di perairan tropis dengan suhu hangat, seperti Asia Tenggara dan Australia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Masyarakat adat di sini menerapkan sanksi-sanksi adat bagi para pelanggar aturan mereka. "Apabila ada pelanggaran itu dikenakan sanksi adat," ujar Jawarudin. "Pertama berupa teguran. Tiga kali berturut-turut  baru itu dikenakan sanksi adat boka." Besarannya tergantung tingkat pelanggaran, yang disesuaikan dengan nilai uang, misal per boka sama dengan Rp60.000. 

Mereka juga memiliki aturan pengambilan ikan, yang diatur dalam periode enam bulan dan lokasinya bisa berpindah-pindah, ungkapnya. Aturan itu disebut banto, yakni menutup akses pengambilan sumber daya laut selama periode tertentu. Sebaliknya, leka, yakni membuka akses pengambilan sumber daya laut dalam waktu tertentu. "Banto itu ditutup sebentar pada bulan-bulan tertentu, sehingga pindah di kawasan lain," ujar Jawarudin. "Wilayah-wilayah itu sudah ada sejak nenek moyang sampai hari ini."

Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya

Lokasi dan periode buka-tutup akses ke sumber daya itu ditentukan majelis adat, yakni Bonto To'oge, yang kedudukannya setara Ketua DPR. "Apabila ada masalah atau pelanggaran di wilayah adat tertentu maka itu pemecahan masalahnya di Sabanjara, ada haknya untuk memediasi masalah itu," ujar Jawarddin. "Ketika tidak bisa diselesaikan di Sabanjara, maka akan didorong di Bonto To'ge, atau pengadilan tinggi." 

Ketika saya bertanya tentang makna dari namanya, Jawarudin tersenyum. Kemudian ia menghubungkannya dengan peristiwa ketika ia lahir pada 49 tahun silam: kakeknya sedang merantau di Jawa—sesederhana itu asal-usulnya. Namun ia menambahkan bahwa semua orang dalam pemerintahan masyarakat adat ini terkait dengan jabatan leluhur mereka, termasuk dirinya. "Jabatan pemerintahan adat dipilih berdasarkan keturunan," ujarnya. "Orang tua yang memilih anaknya, bukan anak yang memilih orang tuanya."

Menghindari kutukan leluhur

Fakhrudin, pembawa bendera pasukan Tamburu, juga memiliki leluhur yang bertugas sebagai pembawa bendera. Kendati usianya kini 71 tahun, ia masih tampak semangat dan gagah dengan busana seragam Tambura yang flamboyan.

Ketika senja di Desa Balasuna Selatan, para ibu menyiapkan kudapan kano senga-senga, semacam keripik talas. Umbi kano diiris tipis-tipis kemudian digoreng. Rasa asin atau bawang bisa ditambahkan dalam minyak goreng. Setiap warga yang hendak merantau atau pergi jauh, biasanya keluarganya akan menyiapkan senga-senga sebagai bekal. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kakek itu berikat kepala tandaki mewah dengan berhias kuncir, berjubah lurik Buton warna jambon, bertali pinggang kuningan, dan bersarung tenun Buton. "Pakaian Tamburu ada waktu khususnya, tidak sembarang bisa dikenakan," ujarnya. Ia juga menjelaskan, "Tamburu ini keturunan, tidak bisa dari warga lain. Kakek-kakek saya juga keturunan Tamburu juga."  

Fakhrudin berkata, "Saya sebagai Alfarisi, pemegang bendera. Ini bendera pejuang Islam di Barata Kahedupa." Kemudian dia menunjukkan bendera merah dengan tepian garis putih di salah satu sisi dalamnya. "Jadi kami meneruskan dari leluhur. Kami mencarinya dari leluhur. Kalau tidak mau [menjabat atau meneruskan] dari leluhurnya bisa kena sumpah. Dari leluhur lanjut terus. 

Masyarakat Kaledupa memiliki kenangan suram tentang masa lalu mereka setelah pemerintahan tradisional dihapuskan. Ketika itu semua barang bukti sejarah dihilangkan, adat dan tarian tidak bisa ditampilkan, istana dibakar, benteng-benteng dibongkar. Mujurnya, peranti pasukan Tambura bisa diselamatkan, seperti bendera Alfarisi. 

Namun, hari ini Fakhrudin tampak bangga menjadi bagian dari sejarah dan pelestarian tradisi, seolah leluhur telah menunjuknya. "Jadi kami ini meneruskan, bukan merekayasa," ujar Fakhrudin. Dan, bendera ini warisan leluhur yang membawanya."

Pusat Bumi sebagai simbol pusat konservasi

Saya menduga-duga apa yang sejatinya ingin disampaikan leluhur Kaledupa kepada kita melalui pohon asam jawa sebagai situs Puo Nu Futa atau Pusat Bumi?

Baca Juga: Kabar Baik dari Sulsel: Terumbu Karang 'Pulih Penuh' dalam Empat Tahun

Basihu selaku Bonto Tombuluruha, pemangku adat yang menaungi situs permukiman awal Kaledupa di Bukit Tapa'a Tombuluruha, menjelaskan makna filosofis pohon yang menjadi Pusat Bumi itu di Kamali Barata Kahedupa. "Pohon itu berada di tengah karena ia memiliki arti sebagai penengah," ujarnya kepada kami. "Apabila ada masalah, ia sebagai penengah, ia mengatur, ia mediasi, supaya masalah ini jangan terlalu jauh."

Kita memang harus belajar dari masyarakat adat tentang teladan hidup berdampingan dengan alam dan memuliakannya. Tugas kita sebagai manusia adalah mencari kebenaran dalam hidup—yang tampaknya semakin semerawut. Kebenaran yang kita cari pun sejatinya bertingkat: Kebenaran paling rendah adalah kebenaran dari kata-kata, sedangkan kebenaran tertinggi adalah kebenaran moral cerita. 

Pertama, Bumi sering dilihat sebagai penengah dalam tradisi masyarakat adat karena mewakili keseimbangan dan keharmonisan. Dalam masa-masa konflik, Bumi dianggap sebagai saksi dan mediator yang netral. Peran Bumi sebagai penengah mengajarkan pentingnya tanggung jawab bersama dan keselarasan.

Masyarakat adat tampaknya berupaya untuk memohon pengampunan dari Bumi dan mencari cara untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu melalui ritual dan praktik spiritual. 

Suatu petang di Pelabuhan Tampara yang senyap di Kaledupa Selatan, Kepulauan Wakatobi. Ketika laut surut, kami harus menggunakan perahu motor untuk mencapai kapal cepat yang mengangkut ke Tomia. (Anindwitya R. Monica)

Kedua, bukit atau gunung sering kali dilihat sebagai tempat-tempat keramat dalam pandangan banyak masyarakat adat karena tempat-tempat itu dianggap sebagai rumah para dewa, roh leluhur, atau entitas spiritual lainnya. Sakralitas ini mencerminkan penghormatan terhadap alam dan peran penting keduanya dalam keseimbangan ekosistem dan budaya masyarakat adat.

Kepercayaan ini selaras dengan etika ekologi yang memuliakan bukit dan gunung sebagai bentuk pemuliaan terhadap bumi. Dalam kepercayaan banyak masyarakat adat, bumi dianggap sebagai leluhur yang harus dihormati dan dilindungi yang mewujud sebagai situs keramat atau larangan adat. Bukit dan gunung memang menjadi sumber kehidupan karena memberikan sumber air, sumber makanan, dan sumber obat bagi manusia.

Kita pun meyakini bahwa ketika hutan habis dijamah dan mata air tercemari, bencana ekologi pun datang menghampiri—dari krisis air, krisis iklim, dan kepunahan spesies kita.  

Pusat Bumi pun telah melahirkan peradaban lintas zaman di masyarakat adat Kaledupa, dari permukiman awal di perbukitan sampai permukiman yang menggelayuti pesisirnya. Menurut hemat saya, Pusat Bumi lebih dari sekadar filosofi; ia adalah perlambang cara hidup para leluhur Kaledupa yang memuliakan alam.

Ketiga, air menjadi simbol kehidupan yang suci yang diberikan Bumi kepada kita. Saya tertarik dengan teladan dari situs permandian Te'e La Ganda—yang menjadi inspirasi nama kelompok ekowisata di Desa Balasuna Selatan. Situs yang diyakini sebagai tempat pertukaran ekonomi pada masa silam itu menunjukkan bahwa air mampu membentuk peradaban yang merekatkan masyarakat dari penjuru Kaledupa untuk datang dan berdagang.

Esok hari, Elsafitri bersiap meninggalkan pulau kelahirannya sejenak untuk mengikuti upacara wisuda sebagai sarjana terapan pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta. Dari Kaledupa, selama seharian ia menggunakan kapal cepat ke Pulau Buton. Kemudian ia berpindah moda transportasi ke kapal penyeberang khusus yang menempuh pelayaran selama tiga hari menuju Surabaya. Berangkat dari kota itu perjalanannya berlanjut dengan transportasi darat selama beberapa jam menuju Surakarta. "Butuh lima hari perjalanan untuk sampai di sana!" ujarnya.  

Baca Juga: Walacea, Percampuran Genetik di Indonesia dan Ledakan Budaya di Seluruh Pasifik

Ada tradisi bagi masyarakat Kaledupa yang hendak bepergian jauh, yakni selalu membawa bekal senga-senga—keripik umbi kano, semacam talas—yang menjadi salah satu simbol ketahanan pangan Kaledupa. Selain mengingatkan pada tanah kelahiran, "ini dibuat supaya tidak kelaparan di tengah jalan," ujarnya. "Kita bawa bekal, sejauh manapun bawa ini pasti ada."

"Keinginan saya setelah wisuda, berhubung di Desa Balasuna Selatan itu memiliki potensi wisata yang tinggi—wisata kuliner, budaya, maupun sejarah—semoga kelompok wisata Te'e Laganda ini dapat mengelola dan mengembangkan lagi wisatanya untuk jangka panjang yang lama dan tidak terputus-putus—berkelanjutan," kata Elsafitri. "Dan, saya berharap semoga kami sebagai pengelola juga dapat konsisten dan tidak patah semangat atau putus asa di tengah jalan."

Setibanya di kepulauan kampung halamannya sebagai seorang sarjana kelak, Elsa berniat menghimpun kembali rupa-rupa informasi yang mendukung paket ekowisata berbasis narasi yang sedang dirintisnya. Sejatinya, pengembangan ekowisata yang berkelanjutan mampu berpeluang melestarikan kekayaan budaya yang nyaris punah demi generasi dan alam yang lebih baik. Jikalau peluang ini hilang, bukan tidak mungkin tradisi di desa mereka akan hilang pada tiga dekade mendatang.

Takdir Elsafitri untuk tetap bermukim di kampung halamannya, alih-alih merantau ke pulau seberang. Semoga para leluhur Kaledupa merestui cita-citanya untuk berbenah dan menyempurnakan rencana wisata berkelanjutan yang menjadi degup baru di Pusat Bumi Negeri Tukang Besi. 

Tampaknya ia dituntun oleh pesan permintaan leluhur "Kahedupa" yang memberi inspirasi untuk selalu berbenah dan menyempurnakan diri demi keberlanjutan pulau ini—"Ini saya, tolong perbaiki saya lagi."