Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurut hemat Arifudin, nilai-nilai dan kearifan pemerintahan adat memiliki ikatan kuat dengan sumber daya alam tempat mereka menggantungkan hidup.

Tradisi dan etika ekologi di jantung konservasi

Kedatangan kami di Kamali Barata Kahedupa bersamaan dengan acara sosialisasi prosedur operasi standar tentang perlindungan dan pengamanan bersama masyarakat kawasan Taman Nasional Wakatobi pada September silam. Acara ini digelar oleh Balai Taman Nasional Wakatobi, yang didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Tujuan sosialisasi ini demi terwujudnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan berbasis masyarakat.

"Kawasan Taman Nasional Wakatobi ini ada meliputi semua wilayah kabupaten," ujar Saidin. "Satu daerah yang aneh untuk seluruh Indonesia, barangkali, satu kabupaten semuanya wilayah taman nasional. Jadi kalau tidak ada kolaborasi dengan masyarakat hukum adat, maka susah untuk mengawasi mengontrol wilayah ini—saking luasnya." 

Kasoami atau soami, yang menjadi bagian ketahanan pangan warga Kaledupa. Terbuat dari ubi kayu yang diolah dengan uap panas, soami kerap dihidangkan sebagai simbol keakraban. Pulau karang ini lebih cocok ditanami umbi-umbian daripada padi, sehingga soami lebih berdaulat di Kepulauan Wakatobi. Kadang nama pangan ini menjadi kelakar homofon bagi para pendatang, 'Ibu-ibu di sini rela menjual soami mereka.' (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saidin menukil sebuah tradisi masyarakat adat Kaledupa dalam melestarikan sumber daya alam. Menurut penuturan orang-orang tua, di pulau ini terdapat kawasan yang ditandai dengan nama Alo'a. Kawasan ini termasuk salah satu kawasan yang dianggap keramat, sehingga warga tidak berani untuk merusak atau mengambil apapun dari tempat ini atas kesadaran sendiri.

"Tanpa dijaga itu masyarakat itu sadar sendiri, itu tidak bisa," ujarnya. 

Apabila warga memiliki kebutuhan mendesak untuk mengambil sumber daya di kawasan keramat itu pun harus seizin pihak pangalasa—sebutan untuk penjaga hutan—dan talangkera—sebutan penjaga pantai. Mengambil tanpa izin di kawasan keramat itu "berbahaya menurut kebiasaan kita, dan sampai sekarang itu kebiasaan-kebiasaan ini masih lestari," kata Saidin. "Makanya kebiasaan-kebiasaan ini tetap kita gaungkan, kita dengungkan, supaya kearifan lokal ini tidak hilang."

Tanah adat Barata Kahedupa masih terpelihara dan diakui keberadaannya. Namun Saidin tidak menyangkal bahwa ada sebagian warganya telah menghuni tanah milik adat. Namun warga tetap mengakui bahwa mereka  menumpang di tanah milik pemerintahan adat. "Yang penting mereka tidak mengaku-aku bahwa itu adalah hak miliknya," ujarnya. "Silakan ditanami dengan tanaman produktif, tetapi jangan membuka lahan yang masih berupa hutan."

Selain di daratan, terdapat pula tempat keramat di pesisirnya. Sebagai contoh di pesisir timur, terdapat tempat yang dianggap keramat sehingga warga tidak bisa memasukinya atau mengambil mangrove. Saidin menambahkan bahwa keberadaan hutan mangrove, khususnya di Kaledupa, boleh dikatakan aman dari perambah.

Masyarakat adat sejatinya telah meyakini bahwa hutan mangrove di Kepulaun Wakatobi memiliki sederet manfaat, baik bagi lingkungan maupun masyarakat setempat. Hutan mangrove penting dalam menghambat abrasi dan erosi, tempat bernaung biota laut, dan penyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim, dan potensi ekowisata.

Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Gurita Bermigrasi ke Mata Air Panas Laut Dalam?