Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tenun Kaledupa memiliki beragam corak untuk perempuan—baik corak untuk gadis maupun corak untuk yang sudah menikah—dan corak untuk lelaki. Jadi, berhati-hatilah dalam memilih corak karena corak melambangkan status kita. Bertanya kepada warga sebelum mengenakannya merupakan kiat jitu menghindar malu. 

Saya menemukan sebagian kecil corak Kaledupa di rumah tenun itu. Corak berupa langgam geometris, garis-garis lurus yang saling berpotongan, dan kotak-kotak. Sejatinya terdapat makna di setiap corak wastra, meski hanya segelintir makna yang sampai pada generasi kini.

Sebuah penelitian tentang tenun Kaledupa di desa tetangga pernah dihimpun oleh Evi Ardianti dan timnya dari Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tajuknya, "Pelestarian Sarung Tenun Pada Masyarakat Di Desa Balasuna Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi", yang terbit di Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO pada April 2023.

Ardianti mengungkapkan, "Komposisi garis-garis yang simetris berupa garis lungsi dan garis pakan yang saling menyilang membentuk pola kotak-kotak seperti papan catur. Corak seperti inilah yang membedakan sarung tenun wakatobi dengan sarung yang lain meskipun tidak dapat dipungkiri memiliki kesamaan- kesamaan tertentu yang dapat ditemukan pada corak sarung lain."

Ardiati menghimpun ragam corak tenun Kaledupa, yakni kasopa jupu, posiku, rante, ra atiba dan pa’a. Setiap corak memiliki pesan atau harapan yang hendak disampaikan kepada si pemakainya. Bagi saya, boleh jadi corak-corak dalam wastra itu semacam doa.

Corak kasopa jupu terinspirasi dari keindahan alam Kaledupa, pesan perilaku sesuai ajaran agama dan narasi kehidupan sosial masyarakatnya. Corak posiku berwarna hitam sebagai warna dasar kain, sedangkan untuk warna oranye digunakan untuk corak dekorasinya perlambang budi pekerti luhur, mementingkan kepentingan bersama, rela menolong, sopan, jujur, bekerja keras, dan berhati mulia. Corak rante memiliki dekorasi warna putih sebagai warna dasar sebagai simbol kepercayaan kepada Sang Pencipta dalam Islam. Corak Ra Atiba memiliki warna merah muda sebagai warna dasar sebagai delapan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dan, corak Pa’a memiliki warna dasar putih yang melambangkan keabadian dan warna biru melambangkan kebenaran.

Muda-mudi Komunitas Ekowisata Te'e Laganda mengenakan tenun Kaledupa. Diman mengenakan tandaki (ikat kepala) dan sarung tenun corak untuk lelaki, yakni Pa'a. Elsafitri mengenakan tenun bercorak leja makuri. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tenun Kaledupa di Desa Balasuna Selatan berada dalam situasi genting untuk diselamatkan, bagai tenun di ujung tanduk. Kini, Elsafitri bersama kawan-kawannya di komunitas ekowisata Te'e La Ganda berupaya menghimpun kembali simbol dan makna dari kekayaan wastra Kaledupa di desanya. Pada akhirnya, upaya pelestarian itu berpulang pada komunitas mereka: Sebelum generasi tua punah, bagaimana anak-anak muda turut melestarikan wastra adikarya leluhur mereka? 

Tradisi Portugis dalam Pasukan Perang Kaledupa?

Suara tambur bertalu-talu. Lima prajurit Tamburu tengah berdiri sigap menyambut kami. Fakhrudin, seorang Alfarisi yang tampak paling tua usianya, membawa bendera sembari berjingkat mengikuti irama tambur bertempo cepat. Dari arah berlawanan, seorang kawannya yang bernama Arjudin, menghunus tombak sembari berjingkat. Kuncir di ikat kepala meraka berayun-ayun. Gerak keduanya berhadap-hadapan seperti gladiator yang hendak berlaga dalam pola lingkaran. 

Ahmad Daulani dalam bukunya bertajuk Kaledupa dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan kepangkatan dalam pasukan Tamburu di Barata Kahedupa. Biasanya mereka terdiri atas seorang Lutnani setara letnan dalam organisasi militer modern, seorang Alfarisi setara letnan muda, seorang Tamburu sebagai penabuh gendang, dan dua orang Saragenti setara sersan yang bertugas sebagai komandan pasaukan Tamburu. Pucuk pimpinan pasukan penjaga keamanan ini adalah Miantu'u Sulujaju.

Baca Juga: Lewat Buku dan Alam, Anak-Anak Wakatobi Belajar Pelestarian Mangrove